Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Salamun dan bebannya: target & citra

Sikap masyarakat tentang peraturan & aparat pajak berdasarkan hasil angket tempo. antara lain tentang pemahaman sistem perpajakan baru, kesan positif & negatif terhadap petugas, jumlah pajak yang dibayar, dll.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PEMBAYAR pajak adalah pahlawan pembangunan", begitu tertulis pada sebuah stiker di pintu masuk Kantor Wilayah Pajak Sumatera Utara. Suatu kehormatan bagi para wajib pajak yang patuh. Tapi tak semua orang ingin menyandang sebutan mulia tersebut. Sayang. Tidak sedikit yang lebih suka main serong. Tidak sedikit pula yang ketahuan menyulap pendapatan perusahaannya agar kecil pajak yang harus dibayar. Lantas, apa biasanya kata mereka, bila kepergok? "Tolong, Pak, diselesaikan di sini saja. Tidak usah dibesar-besarkan," tutur Soejono Sontodimerto, Kepala Kantor Wilayah Pajak Jawa Timur, mengingat kembali ucapan seorang pengusaha yang kecurangannya diketahui dalam suatu inspeksi mendadak. Pejabat itu juga hafal betul sikap apa yang biasa ditampilkan pengusaha yang terjebak oleh utak-atik pembukuannya sendiri. Mereka tidak ingin urusan bertele-tele dan, sekaligus, tetap mau membayar pajak sekecil mungkin. Kalau sudah begitu, muncul "ujian jabatan" bagi sang petugas pajak: diiming-imingi hadiah atau uang pelicin. "Sikap seperti itu harus disikat habis-habisan," kata Soejono, tandas, sambil tetap mengingat bahwa sikap tak terpuji jua bisa dimiliki aparat pajak. Begitu sikap pejabat pajak -- anggap saja mewakili sikap jajaran direktorat jenderalnya Salamun A.T. Sikap masyarakat, dalam menanggapi peraturan dan aparat pajak, sedikit banyak tercermin dari jawaban angket yang diedarkan TEMPO. Dari situ sebagian masyarakat mengemukakan beberapa pendapat, misalnya, mengapa, sih, mau-maunya membayar pajak. Siapa tahu, ada di antara pembayar patuh yang, ternyata, tidak mengerti untuk apa uang yang dikutip dari mereka. Sesuai dengan tarif atau tidak, tentang jumlah yang dibayarkan, sikap wajib pajak juga berbeda dalam hal menganggap berat ringannya beban yang harus ditanggung. Juga perbedaan pengalaman selama berhubungan dengan petugas pajak: ada yang bisa menerima dan ada yang menganggap tak cocok dengan cara memungutnya. Angket yang diedarkan antara lain di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Medan, Pontianak, dan Ujungpandang, hasilnya -- secara umum -- menunlukkan sikap posltif: lebih dari separuh (52,07%) responden, dari 991 angket yang masuk, memandang bahwa membayar pajak merupakan salah satu kewajiban kepada negara. Bahkan hampir seluruhnya (96,67%)mengaku membayar pajak -- setidaknya pajak penghasilan yang sudah dibayarkan oleh kantor tempat mereka bekerja. Kalau sedikit dirinci, diketahui bahwa yang membayar pajak penghasilan kurang dari Rp 50.000, ada 34,41%. Lebih dari 10% membayar lebih dari Rp 300.000. Selebihnya membayar Rp 50.000 sampai Rp 300.000. Memang ada yang merasa risi menyatakan berapa mereka menyetorkan pajak penghasilan pribadinya (hampir 7%). Sedangkan lapisan responden yang membayar pajak jenis itu sebagian besar, 71,25%, adalah pengusaha, wiraswasta, tenaga profesional, pegawai swasta, dan pegawai badan usaha milik negara. Responden pegawai negeri, yang juga membayar pajak jenis yang sama, berjumlah 143 orang -- tidak termasuk 74 orang yang merangkap sebagai wiraswasta. Menggali sikap dan pendapat pribadi tentang pajak memang tidak gampang. Masih banyak yang menganggap "pajak" sebagai "aurat" yang harus ditutup rapi. Baru melihat judul di halaman pertama daftar pertanyaan TEMPO saja, "Angket Perpajakan", ada calon responden yang langsung menolak mengisi. Masih lumayan, kalau ada yang hanya ikut memberi pendapat, tapi enggan menampilkan data pribadi secara lengkap -- padahal kerahasiaan dijamin sebagaimana mestinya. Apa boleh buat: dari 1.150 angket yang diedarkan hanya bisa diolah 991 -- tidak termasuk beberapa angket yang isiannya tidak sah. Yang mengemukakan pendapat sebagian besar, 793 orang, laki-laki. Lebih dari separuh (56,21%) berumur antara 20 dan 40 tahun yang setidaknya tamat SLTA. Selebihnya berusia di atas 40 dan tidak sampai 1,5% di bawah 20. Hasil angket yang tak kurang menariknya adalah bahwa sistem perpajakan baru, yang sudah berlaku kurang lebih tiga tahun, masih kurang dipahami. Sistem yang baru itu memang "menuntut" WP harus aktif. Mulai dari mengambil formulir pajak -- yang lazim disebut SPT -- mengisi, sampai dengan mengembalikan dan menyetorkan uangnya. Tahun pertama kantor pajak masih berbaik hati mengirimkan SPT ke alamat WP via pos. Tahun berikutnya WP masih diimbau, melalui surat, agar mengambil SPT. Untuk masamasa selanjutnya, "prinsip menilai sendiri" akan berlaku penuh, ya termasuk kesadaran (baca: kewajiban) mengambil SPT itu. Sebagian orang (671 responden TEMPO mengaku punya Nomor Pokok Wajib Pajak alias NPWP), sebenarnya, lebih suka kalau SPT dikirim saja per pos (371 orang) atau diantar langsung oleh petugas pajak (339 orang). Sebagian besar yang minta dilayani begitu kalangan pegawai BUMN dan... petani. Hanya 83 orang yang mau meringankan langkah mengambil SPT sendiri ke kantor pajak. Kebanyakan (39,96%) menganggap bahwa SPT model seperti yang sekarang ini rumit: susah mengisinya. Hanya sekitar seperempat responden (26,14%) menganggap gampang menglsinya. Sisanya antara menganggap formulir yang ada itu kurang bisa dimengerti dan tidak tahu sama sekali mengisinya. Ada 284 orang pemilik NPWP mengaku mengisi sendiri SPT-nya. Seorang pengusaha di Lampung, yang enggan disebut namanya, punya alasan mengapa lebih suka mengisi sendiri. Katanya, karena masih melihat konsistensi pemerintah menjalankan undang-undang. Soalnya, tidak sedikit pengusaha yang tawar-menawar dengan petugas mengenai jumlah pajak yang harus dibayarkan. Hal itu terjadi, biasanya, kalau si petugas paiak tidak yakin akan kejujuran WP. Tampaknya hal-hal seperti itu sulit dihindari: perbedaan pendapat toh, akhirnya, dengan berbagai cara dapat dipertemukan memang tidak selalu di kolong meja. Sedang pengusaha yang jujur pun sering kali tak betah menjawab pertanyaan-pertanyaan petugas pajak. Sumpek juga, seperti dikatakan seorang pengusaha di Surabaya, kalau semua keterangan dianggap salah. "Lebih baik mengalah saja, Cak, kalau berhubungan sama petugas pajak," katanya, dingin, tanpa nada mengejek. Yang tak mau banyak urusan juga ada. Sebagian dari mereka minta bantuan konsultan pajak (8,58%) atau siapa saja yang dianggap mampu (15,14%) untuk mengisi SPT. Ada lagi yang lebih bersedia-sedia payung sebelum kena pemeriksaan: langsung saja minta bantuan petugas pajak (17,76%) salah atau benar cara mengisinya akan diterima juga, begitu perhitungannya. Nah, perihal citra petugas pajak di mata rcsponden, maaf, tak begitu enak digambarkan. Hanya 7,89% yang menjawab baik semua. Lebih dari separuh (50,86%), lumayan, menyatakan bahwa sebagian besar petugas dinilai baik. Seperempat menjawab hanya sedikit pertugas pajak yang baik. Dan kurang dari 1%, syukur, yang menyatakan bahwa tidak ada petugas pajak yang baik di mata mereka. Kesan positif masyarakat terhadap petugas pajak tentu harus dikemukakan juga. Umumnya menyatakan bahwa petugas bersikap ramah dan suka membantu bila diminta menjelaskan seluk-beluk pajak. Sebut saja hal itu sebagai pertanda kemajuan. Sebab, sebelum muncul undang-undang perpajakan yang baru, pembayar pajak bisa berkeringat dingin, gemetaran, menghadapi petugas pajak. Mereka tidak saja dipojokkan dengan berbagai pertanyaan. Tetapi juga dibentak-bentak, diancam, dan ditodong tarif yang jauh melebihi aturan. Tugas berat Dirjen Salamun, di samping sekuat-kuatnya menggaet penerimaan untuk kolom sebelah kiri APBN, agaknya mengubah citra aparatnya di mata masyarakat. Meringkas pegawai seperti apa yang terjadi di Bea dan Cukai? Bisa saja, tetapi itu tidak dilakukan. Jalan yang diambil, antara lain, dengan percepatan mutasi seorang pejabat maksimum tiga tahun duduk di suatu kursi. Setiap tahun sekitar 400 karyawan harus maklum bila jabatannya digantikan orang lain. Tahun ini pun ada 400 pejabat eselon II sampai dengan IV di Jakarta yang dimutasikan. Tapi, sebagai imbangan, karyawan pajak dibuat supaya betah dan bekerja dengan baik. Rupanya, banyak di antara karyawan yang sayang bila sampai dipecat dari pegawai negeri. Sementara itu, karyawan yang dianggap bersih, jujur, dan berprestasi benar-benar dihargai. Pembenahan memang makan waktu -- dan barangkali tak akan pernah menjangkau sampai meja demi meja. Tapi, ada gunanya juga, untuk memandang melalui mata sekian banyak orang. Misalnya meminjam pandangan 239 orang yang menjawab pertanyaan TEMPO. Terus terang dikatakan bahwa petugas mau disuap. Sedangkan 320 orang -- tampaknya tak mau sembarangan berkomentar -- merasa lebih baik tidak usah menjawab pertanyaan yang mengusik itu. Jawaban yang sedang-sedang saja tajamnya menyatakan bahwa petugas pajak memang menjengkelkan dan sering mengancam. Yang bilang begitu tak kurang dari 260 orang. Pendapat para pembayar pajak penghasilan di bawah Rp 100.000 umumnya tidak negatif terhadap petugas pajak. Tetapi pada skala pembayar PPh Rp 101.000 sampai lebih besar dari Rp 300.000, kebanyakan memberi kesan jelek sekali: petugas pajak itu mau disuap. Berbagai faktor -- mulai lingkungan sampai pengalaman yang kadang-kadang sangat pribadi sifatnya -- harus diakui sangat mempengaruhi berbagai pendapat negatif itu. Kelapangan dada baik yang mengkritik maupun yang dikritik juga merupakan faktor bermanfaat atau tidaknya teknik "meminjam mata" untuk bercermin. Bagaimanapun tajamnya mata, pandangan bisa saja keliru, maka bantahan perlu juga, seperti dikemukakan Usman Nitikusuma, seorang pejabat teras Inspeksi Pajak di Lampung. Pejabat ini menyanggah bahwa banyak anak buahnya yang mau menerima suap. Apalagi sampai disebut ada yang jual mahal, tak mau menjelaskan bila dimintai keterangan, atau sampai menjengkelkan si WP. Sebab, ujarnya, sistem perpajakan yang berlaku sudah berbeda dengan dulu. Petugas pajak sekarang dalam posisi tidak aktif -- dalam arti wajib pajak yang menentukan pajaknya sendiri. "Sekarang semuanya yang berkuasa adalah pengusaha. Dan, kami siap memberi penjelasan-penjelasan," katanya, lapang dada. Di kantor Inspeksi Pajak Telukbetung, ujarnya lebih lanjut, malah sudah disediakan ruangan khusus bagi wajib pajak yang hendak minta penjelasan. Kurang apa lagi, sih ? Nasib petugas pajak barangkali serba salah. Sikap tegas, gampang disalahtafsirkan jadi kasar. Maunya ramah, bisa-bisa seperti seorang guru wanita yang diganggu murid-muridnya. Karena sang guru tidak ingin kelihatan gampang marah, saking jengkelnya, ia menangis di hadapan murid-muridnya itu. Kalau di negara lain, mungkin, para murid terus kasihan dan menuruti saja perintah-perintah sang guru itu. "Tetapi di sini, kalau kita merengek-rengk malah ditertawakan," kata Salamun, dalam wawancara khusus TEMPO. Menurut Aries Gunawan, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, sikap paling baik buat aparat pajak adalah jangan hanya mengejar target tanpa mau tahu kondisi suatu perusahaan. Tahu sedikit, lah, kalau orang lagi rugi misalnya. Jangan malah, "mempersulit atau mengada-ada," katanya. Namun, masyarakat juga harus memiliki kesadaran menyisihkan sebagian penghasilan maupun keuntungannya untuk membayar pajak itu. Sebab, katanya, kelancaran pembangunan negara ini bisa berlangsung sehat bila ditopang pembiayaan yang asalnya dari dalam negeri, antara lain dari sektor pajak. Kesadaran tampaknya sudah tumbuh. Itu terlihat dari pernyataan 515 orang kepada TEMPO bahwa membayar pajak itu merupakan kewajiban. Rata-rata mereka membayar berbagai jenis pajak. Terutama pajak penghasilan pribadi dan pajak bumi & bangunan. Sebagian kecil menyatakan dirinya sebagai pembayar empat jenis pajak sekaligus. Dilihat dari jawaban atas pertanyaan "mengapa mau bayar pajak" dan "untuk apa pajak yang dibayarkan itu", ternyata, terjadi penggumpalan. Yakni mereka yang memandang pajak sebagai kewajiban dan juga menjawab pajaknya itu untuk pembangunan ada 301 orang. Sedangkan yang menjawab "terserah pemerintah saja penggunaannya" ada 117 responden. Ketika ditanya bagaimana jumlah pajak yang dibayar itu, hanya 4,44% responden yang menjawab bahwa jumlah pajak itu besar sekali. Mereka yang merasa membayar "besar" terdapat 31,62%, "sedang" 51,52%, "kecil" 8,89%, dan selebihnya menjawab tidak tahu apakah jumlah pajak yang mereka bayarkan termasuk besar atau kecil. Responden yang merasa membayar pajak "sedang" itu ternyata merata dan di atas 50%, bila ditinjau dari tiap pekerjaan utamanya. Sedangkan dari jumlah pajak yang dibayar itu, separuh responden (50,71 %) tidak merasa terbebani. Tetapi responden yang "merasa dibebani" pajak yang harus dibayar itu ternyata cukup besar juga, yakni 46,16%. Tak heran bila cukup besar yang merasa terbebani pajak, karena aturan perpajakan baru memang dibuat lebih sederhana. Untuk pajak mobil, misalnya, kata Menteri Keuangan Radius Prawiro, tidak dipakai stratifikasi yang njlimet. "Kalau dibuat terlalu banyak tingkat pajaknya, nanti malah banyak kemungkinan untuk memanipulasikan, karena jumlahnya tak beda jauh,"katanya. Namun, strata yang tidak banyak itu bukan berarti pemerintah tidak adil. Masyarakat bisa memilih kendaraan yang pajaknya murah. Tetapi, kalau suka mobil mewah yang harganya puluhan juta rupiah, "Silakan bayar pajak mahal," tuturnya. Soal memanipulasikan pajak, betapapun sistem dibentuk, banyak saja yang pandai mencari dan menemukan lubang. Juga dalam hal peraturan perpajakan baru yang sudah cukup menjauhkan kontak antara petugas pajak dan wajib pajak. Sebab, seperti dikatakan seorang konsultan pajak di Yogyakarta, Slamat Aminy, kesempatan kontak ditemukan juga dalam pemeriksaan pajak. Dalam kasus semacam itu, katanya, peluang untuk tawar-menawar seperti dulu akan terjadi lagi: dengan "sedikit" memberi tip kepada petugas, seorang WP dapat "menghemat" pajak, dan negara -- seperti yang sudah-sudah -- dirugikan. Kemungkinan adanya penyimpangan seperti itu dianggap besar oleh 30,38% responden. Sedangkan 34,61% menganggap kemungkinannya sedang-sedang saja, lalu 6,56% menganggap kecil kemungkinannya, dan hanya 0,81% yang menganggap tidak ada penyimpangan. Selebihnya menjawab tldak tahu ada penyimpangan. Pelaksanaan pemungutan pajak selama ini dinilai macam-macam. Cuma 8,17% responden yang percaya bahwa semua wajib pajak telah membayar sesuai dengan tarif. Sebagian besar yakin masih banyak wajib pajak yang lolos (30,58%), banyak yang membayar kurang dari kewajibannya (18,87%), dan masih banyak masyarakat yang belum terjaring sebagai wajib pajak (26,03%). Kalau dari data di atas boleh disimpulkan benar juga anggapan bahwa banyak orang yang masih enggan dan sulit membayar pajak. Hal itu, menurut Salamun, terasa tidak terbatas di kalangan ckonomi menengah. Golongan ekonomi lemah, yang rata-rata di pedesaan, "Malah lebih disiplin, lebih taat, membayar pajak dibandingkan dengan yang ada di kota," ujarnya. Lapisan ini pun menyatakan diri berkewajiban membayar pajak untuk kepentingan negara. Adapun wajib pajak yang belum terjaring, kendati penelitiannya belum ada, diperkirakan memang masih banyak. Contohnya, dalam transaksi jual-beli tanah dan rumah, yang nilainya secara kasar saja bisa diduga ratusan juta. "Saya tidak yakin sudah dibayarkan pajaknya, misalnya yang terjadi di desa-desa," kata Salamun. Tapi tahun ini, tampaknya, aparat pajak belum akan mengejar mereka. Selain memang sulit dilacak tenaga dan peralatan, misalnya dukungan komputerisasi total yang bersifat nasional, belum memadai. Dirjen Pajak itu juga menyadari bahwa masih ada wajib pajak yang membayar terlalu kecil. Maksudnya, setoran wajib pajak itu kurang dari tarif yang harus dibayar. "Ini terbukti dengan penemuan-penemuan setelah diadakan pemeriksaan," katanya, tanpa merinci hasil pemeriksaan itu. Sengaja atau tidak sengaja, sanksi akan dijatuhkan kepada WP, entah berbentuk sekadar denda atau hukuman penjara. Langkah pencegahan, sebelum urusan jadi serius, sudah dipikirkan. Wajib pajak, nanti nanti, perlu menempelkan NPWP di depan pintu rumahnya -- jika memang sudah cukup syarat punya NPWP. Biar malu sendiri, kalau disebut orang bukan pembayar pajak. Dan, tanpa NPWP terpampang di depan rumah, jangan kaget kalau didatangi petugas pajak menanyakan soal pendapatan atau kekayaan. Yang sulit ditertibkan dalam waktu singkat, memang, wajib pajak yang tidak membayar sesuai dengan tarif. Di Jepang konon gampang sekali menerapkan sistem perpajakan baru. Sikap disiplin masyarakat yang sudah mengakar sejak kecil, dari dulu, membuat penyesuaiannya cepat. Meskipun pada awalnya masyarakat terguncang juga, pandangan hidup masyarakat -- yang menganggap pajak sebagai kewajiban nomor satu -- bisa bikin reda sendiri. Aparat pajak di Jepang memang dikenal tangguh juga. Yang mungkin belum diperhitungkan, barangkali, apa yang seharusnya dirasakan oleh pembayar pajak di Jepang: rasa bangga karena dihargai sebagai pembayar pajak yang patuh. Buktinya, dari poll TEMPO hanya 3,13% responden yang menjawab sudah dihargai lebih dari cukup. Sedangkan 46,12% menjawab cukup, 32,09% kurang dihargai, dan 6,56% amat kurang dihargai. Selebihnya menjawab "tidak tahu". Tidak seperti penerima Kalpataru, memang, mengingat undang-undang perpajakan belum lama berlaku, sehingga, barangkali, belum terpikir untuk membangkitkan semangat berpajak-pajak. Paling banter, dengan cara lomba laporan keuangan tahunan, dan yang dipandang "pantas" oleh Ditjen Pajak bebas dari pemeriksaan paling lama tiga tahun. Tetapi jangan dikira bakal dijauhi pemajak. Sebab, sedikit saja tercium bau tak sedap, masih dalam waktu tiga tahun itu pun buku kembali akan dibongkar petugas. Barangkali, pembayar pajak harus sudah cukup merasa puas disambut stiker di kantor pajak: "Pembayar pajak adalah pahlawan pembangunan". Suhardjo Hs.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus