Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 10 proyek bendungan akan dituntaskan pada tahun ini.
Isu sosial, seperti penolakan masyarakat, masih menjadi ganjalan utama.
Butuh waktu minimal enam bulan untuk menggenangi waduk.
JAKARTA – Ancaman kemarau memacu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyelesaikan pembangunan sisa proyek bendungan yang sudah dirancang sejak awal masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dari program pembangunan 61 bendungan, masih tersisa 25 proyek yang harus dirampungkan sebelum pengujung 2024. Direktur Bendungan dan Danau Kementerian Pekerjaan Umum, Adenan Rasyid, mengatakan ada 10 proyek bendungan yang akan dituntaskan lebih dulu pada tahun ini.
“Intinya, kami terus menambah tampungan air sejak peringatan kemarau muncul,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Lampu kuning gangguan ketahanan pangan hingga awal September 2023 sebelumnya sudah didengungkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Lembaga peneliti anomali cuaca tersebut mengingatkan publik soal ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan akibat beberapa fenomena cuaca, salah satunya El Nino.
BMKG memperkirakan kondisi itu bisa menyebabkan puso alias gagal panen karena kurangnya pasokan air. El Nino yang diperkuat Indian Ocean Dipole (IOD) positif—perbedaan suhu permukaan laut di dua area berbeda—memicu kemarau yang lebih kering dibanding pada beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Kelaparan Tersebab El Nino di Papua
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan Kementerian Pekerjaan Umum sudah mendata adanya 223 bendungan yang daya tampung totalnya mencapai 6,73 miliar meter kubik. Volume tampung air itu masih diperkuat ribuan embung, situ, serta danau. Dari 13 waduk terbesar di Indonesia saja—termasuk Waduk Jatiluhur di Purwakarta serta Waduk Karangkates di Malang—pemerintah bisa menjaga ketersediaan air hingga 3,37 miliar meter kubik atau setara dengan pengairan ke area seluas 568.074 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan Bendungan Leuwikeris di Gardu Pandang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Juli 2023. ANTARA/Adeng Bustomi
Di tengah potensi kemarau yang tidak tertebak, Adenan membenarkan bahwa penyelesaian sisa proyek bendungan semakin urgen dikejar untuk peningkatan daya tampung air. Dari target besar 61 bendungan, Kementerian Pekerjaan Umum sudah merampungkan 36 proyek berkapasitas total 1.900 juta meter kubik—membuat cakupan sawah nasional yang diairi oleh bendungan melonjak dari 11 persen menjadi 19 persen.
Rencananya, setelah merampungkan 10 proyek baru pada tahun ini, pemerintah bakal menyelesaikan enam proyek berikutnya pada paruh pertama 2024. Sisanya, yakni sembilan bendungan lainnya, akan dipacu penyelesaiannya sebelum akhir tahun tersebut. “Untuk proyek berjalan, kami memperbanyak material, peralatan kerja, jumlah pekerja, bahkan jam kerjanya,” tutur dia.
Hambatan Pekerjaan Konstruksi
Adenan tak menampik soal munculnya hambatan pekerjaan konstruksi di lokasi proyek. Isu sosial, seperti penolakan masyarakat, masih menjadi ganjalan utama. “Pro dan kontra pasti ada. Tapi kami selalu sampaikan sosialisasi soal manfaat proyek.” Salah satu konflik sosial ihwal bendungan yang sempat diangkat Koran Tempo adalah penolakan warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, terhadap penambangan terbuka andesit atau quarry yang menjadi sumber material Bendungan Bener.
Waduk yang biaya pembangunannya Rp 2,06 triliun itu dianggap sebagai biang keladi banjir lumpur di permukiman Wadas. Warga menyebutkan pembuatan jalan ke area tambang andesit telah memicu banjir lumpur. Isu sosial itu juga yang berpotensi menunda penyelesaian Bendungan Bener dari seharusnya awal tahun depan menjadi semester kedua 2024.
Baca juga: Advokasi Warga Berbalas Aksi Teror Molotov
Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 2020. Dok. purworejokab.go.id
Koordinator Sektor Sumber Daya Air dan Pelaporan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Kementerian Koordinator Perekonomian, Dandy Wirustyastuko, menyebutkan proyek bendungan yang selesai pun membutuhkan waktu untuk penggenangan. Biasanya, butuh sekitar enam bulan hingga setahun sampai ketinggian air bendungan mencapai level yang sesuai dengan desain optimalnya. Kecepatan pengisian ini juga bergantung pada curah hujan.
“Fungsi efektif (untuk mengantisipasi kemarau) menunggu ketinggian air tertentu. Tapi setidaknya bendungan yang sudah jadi bisa dipakai untuk pengendalian banjir.”
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Jarot Widyoko, memastikan antisipasi kekeringan tak semata-mata mengacu pada peningkatan kapasitas bendungan dan fasilitas penampung air lainnya. Menurut dia, Kementerian juga menggarap beberapa proyek, salah satunya rehabilitasi jaringan irigasi seluas 412.541 hektare. Sejauh ini, lahan yang rawan terkena dampak kekurangan air cenderung berupa sawah tadah hujan serta sawah yang mengandalkan irigasi dari bendungan.
"Jangan sampai sudah terjadi kekeringan, kami baru bergerak. Saya sudah meminta tolong kepada kepala-kepala balai untuk peka terhadap daerahnya,” ucap Jarot dalam keterangan tertulis pada 7 Agustus lalu.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, masih mempertanyakan skema alih kelola bendungan yang sudah dibangun pemerintah pusat. Meski hampir semua proyek bendungan prioritas dibangun dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengelolaan selanjutnya akan bergantung pada kas daerah. Tata kelola bendungan oleh regulator atau badan usaha di daerah, menurut dia, menentukan optimal atau tidaknya proyek untuk ketahanan air dan pangan.
“Status bendungan setelah dibangun juga menjadi tantangan tersendiri. Jangan sampai terlewat,” tuturnya.
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo