Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mendadak berubah sikap. Ia tiba-tiba memanggil para petinggi perusahaan penerbangan, Ahad siang dua pekan lalu, meminta mereka menurunkan harga tiket pesawat. Padahal, sehari sebelumnya, Budi meminta masyarakat maklum akan mahalnya tarif penerbangan. Ia meyakinkan bahwa tarif masih sesuai dengan ketentuan. Pemerintah juga harus melindungi industri penerbangan agar bisa bertahan.
Menurut Budi, tarif pesawat selama ini adalah hasil “perang” antarmaskapai. Begitu tarif kembali normal, seolah-olah terjadi kenaikan. “Hal ini berbahaya karena di beberapa negara banyak perusahaan penerbangan bangkrut lantaran perang harga demi menyedot konsumen,” ujar Budi kepada Retno Sulistyowati, Khairul Anam, Ali Nur Yasin, Andi Ibnu, dan Hussein Abri dari Tempo di kompleks Widya Chandra, Jakarta, Kamis malam pekan lalu.
Mengapa Anda tiba-tiba berubah sikap?
Kami ingin masyarakat mendapat tarif yang baik dan terjangkau, tapi juga harus melihat keberlangsungan maskapai. Satu keseimbangan harus ditentukan di tengah persaingan, dinamika, dan kenaikan biaya.
Bagaimana dinamika rapat bersama para petinggi maskapai, Ahad lalu (13 Januari)?
Kami sudah bicara sebelumnya, tidak tiba-tiba. Dalam diskusi sebelumnya, ada struktur biaya yang mereka komplain: avtur dan service charge.
Dari mana penetapan angka penurunan 20-60 persen dalam pertemuan Ahad itu?
Tentu maskapai sudah hitung, terus dilaporkan ke kami. Kalau memang itu batas yang mereka masih bisa, silakan. Tidak mungkin saya intervensi.
Benarkah terjadi penurunan tajam jumlah penerbangan gara-gara melambungnya harga tiket?
Ya, ada. Tapi penurunan itu biasa saat low season. Masih dalam batas. Sekitar 30 persen.
Pertamina bilang harga avtur mereka kompetitif. Kurs rupiah membaik. Tapi harga tiket malah naik. Mengapa?
Tentang avtur harus dibahas bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lain adalah mereka bukan kepulauan, sehingga biaya pengangkutan tidak mahal. Apalagi Singapura, deponya di situ, mengisinya juga dekat situ.
Seberapa besar perbedaan harganya?
Kira-kira 23-30 persen. Kalau masih 10-15 persen, semestinya masih oke. Sebab, Pertamina harus mengangkut avtur ke Kalimantan, Sulawesi, dalam skala yang tidak banyak sehingga keekonomiannya tidak terlalu tercapai. Kalau solid, di Jawa saja, misalnya, akan lebih efisien.
Bagaimana struktur biaya di bandar udara dari pesawat mendarat hingga bongkar-muat?
Yang mahal bukan landing fee, melainkan service charge. Di Amerika mahal sekali.
Bagaimana dengan biaya parkir?
Untuk penerbangan internasional: Bandara Ngurah Rai Rp 225 ribu, Soekarno-Hatta Rp 230 ribu, Kuala Lumpur International Airport Rp 236 ribu, Changi Rp 340 ribu. Jadi kita relatif di bawah. Penerbangan domestik lebih murah. Bandara Soekarno-Hatta, yang saya hafal, Rp 130 ribu.
Apakah industri penerbangan sangat berdarah sehingga saat low season tetap menaikkan tarif?
Saya akan minta mereka menghitung ulang. Kami juga mau menata jurusan-jurusan tertentu apakah kelebihan pasok atau tidak? Jakarta-Makassar, misalnya, tiap maskapai sembilan-sepuluh flight. Akan kami lihat berapa okupansinya.
Ada dugaan praktik kartel mengingat ada dua grup besar yang menguasai pasar....
Ini terbalik. Bukan kartel, tapi justru perang. Makanya slot tidak kami tambahkan, malah bisa kami kurangi supaya okupansi naik. Nanti slot ditambah lagi saat high season. Keberlangsungan mereka bergantung pada okupansi.
Namun Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Dewan Perwakilan Rakyat mencium ada indikasi kartel oleh dua pemain besar?
Tugas KPPU dan DPR memang demikian. Kami berusaha memaksimalkan pengawasan dengan rambu-rambu yang berlaku secara internasional. Kami tidak bisa mengintervensi tanpa landasan. Justru kami takut kalau ada yang kolaps lagi, tinggal satu, monopoli. Kami tidak ingin itu terjadi. Kami berterima kasih kalau KPPU menemukan sesuatu. Industri ini harus dibina, bukan dibinasakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo