Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tekor Biaya Angkutan Udara

Sejumlah maskapai akhirnya menurunkan harga tiket yang dikeluhkan konsumen. Komisi Pengawas Persaingan Usaha mulai menelisik kemungkinan pelanggaran.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Antrean calon penumpang di Bandar Udara Internasional Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin pekan lalu. /ANTARA/Septianda Perdana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keriuhan warganet mengeluhkan mahalnya harga tiket pesawat domestik mendorong Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memanggil para petinggi perusahaan penerbangan. Ahad siang dua pekan lalu, ia meminta maskapai menurunkan biaya tiket burung besi. “Pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat, termasuk netizen yang bersuara melalui media sosial,” kata Budi saat ditemui di rumah dinasnya di kawasan Widya Chandra, Jakarta, Kamis pekan lalu.   

Sejumlah maskapai yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) akhirnya memutuskan menurunkan tarif penerbangan domestik pada sore hari. Ketua Umum INACA Ari Askhara mengatakan keputusan itu merupakan kebijakan setiap maskapai. “Kami mendengar keluhan masyarakat dan berkomitmen menurunkan tarif,” ujarnya dalam keterangan pers.

Keluhan itu muncul dalam petisi di situs Change.org. Petisi “Turunkan harga tiket pesawat domestik Indonesia” yang ramai diperbincangkan di jagat maya tersebut dibuat oleh Iskandar Zulkarnain pada 20 Desember 2018. Ia mengeluhkan harga tiket penerbangan domestik yang naik sampai batas atas. Hingga Jumat pekan lalu pukul 18.00 WIB, sebanyak 234.700 tanda tangan mendukung tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo itu.

Iskandar menyatakan kenaikan tarif penerbangan telah mencekik masyarakat. Sebab, kebanyakan orang Indonesia adalah perantau. Ia menilai kebijakan ini ironis di tengah gerakan promosi wisata “Wonderful Indonesia” yang sedang digalakkan pemerintah. Kenaikan harga tiket domestik yang tidak wajar ini juga bertolak belakang dengan maraknya promosi tiket ke luar negeri dari maskapai asing, sehingga masyarakat memilih berlibur ke luar negeri ketimbang berwisata domestik. Keriuhan warganet menyoal harga tiket pesawat juga diungkapkan dengan membuat tanda pagar #tiketpesawatmahal.

Menteri Budi menjelaskan, sudah menjadi kebiasaan maskapai memberlakukan tarif mahal pada masa libur panjang Natal dan tahun baru, yakni dari pertengahan November hingga awal tahun. Rencana kenaikan harga itu telah disampaikan kepada Kementerian Perhubungan. Budi tak berkeberatan. Toh, harga akan normal kembali seusai musim liburan. Ia juga berpesan: “Lakukan dengan wajar supaya masyarakat tidak terbebani.”

Persoalannya, Budi menambahkan, maskapai penerbangan meneruskan pemberlakuan tarif mahal peak season meski periode itu telah berakhir. Padahal, pada saat yang sama, Lion Air—kemudian diikuti- Citilink—menerapkan kebijakan bagasi berbayar. Menurut dia, kebijakan bagasi berbayar tidak melanggar aturan dan biasa diberlakukan pada penerbangan berbiaya rendah di seluruh dunia.

Penerapan dua kebijakan pada waktu berimpitan itulah yang dinilai kurang bijak, meski tarif mahal tak melampaui batas atas yang ditetapkan pemerintah. Karena itu, Budi meminta maskapai mengoreksi harga tiket pesawat.

Menurut INACA, komponen harga yang diturunkan hanya yang menjadi kewenangan maskapai. Komponen biaya lain, seperti pajak, passenger service charge atau airport tax, safety charge, dan asuransi, tak ikut diturunkan.

Ari Askhara menyebutkan maskapai mulai menurunkan harga tiket pesawat pada Jumat, 11 Januari 2019. Koreksi harga antara lain diberlakukan untuk rute Jakarta-Denpasar, Jakarta-Yogyakarta, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Padang, dan Jakarta-Pontianak. “Penurunan berkisar 20-60 persen,” tutur Ari, yang juga menjabat Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.


Kenaikan tarif penerbangan telah mencekik masyarakat. Sebab, kebanyakan orang Indonesia adalah perantau. Kebijakan ini dinilai ironis di tengah gerakan promosi wisata “Wonderful Indonesia” yang sedang digalakkan pemerintah.


INACA mencatat Garuda Indonesia Airlines- menurunkan tarif tiket enam rute penerbangan. Adapun Citilink memberlakukan penurunan di 33 rute, sementara Lion Group menerapkannya di 40 rute. Ari memastikan penurunan tarif itu sesuai dengan regulasi dan aturan tata kelola industri penerbangan nasional, termasuk mengutamakan keselamatan penerbangan melalui pengawasan dan perawatan pesawat.

Menurut Sekretaris Perusahaan Garuda Ikhsan Rosan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan harga tiket penerbangan domestik lebih mahal. Salah satunya pajak pertambahan nilai, yang tidak dipungut untuk penerbangan internasional.

Komponen lain pembentuk harga adalah bahan bakar (avtur), yang porsinya 30-40 persen dari total biaya sekali terbang. INACA telah meminta bantuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta PT Pertamina (Persero) agar bisa menekan harga.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, menurut Ikhsan, juga berperan mengerek kenaikan struktur harga. Pelemahan kurs rupiah akan membuat maskapai “babak-belur” karena mayoritas pengeluaran perusahaan dalam bentuk dolar Amerika. Biaya leasing pesawat, yang juga menggunakan mata uang dolar, punya porsi 20-26 persen dari total komponen tiket. “Sejak 2016, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 170 persen. Bahan bakar lebih dari 125 persen,” tutur Ari. “Adapun besaran gaji untuk satu-tiga bulan sudah naik 350 persen.”

Ihwal avtur, juru bicara Pertamina, Arya Paramita, menjelaskan bahwa bahan bakar ini dibeli maskapai reguler nasional dengan harga yang disepakati dalam kontrak. Harga mengacu pada Mean of Platts Singapore. Ketika harga minyak mentah dunia turun, harga avtur akan disesuaikan. Begitu pula sebaliknya. Adapun untuk penerbangan nonreguler Pertamina memberlakukan harga berbeda sesuai dengan kondisi pasar. “Prinsipnya, harga kami kompetitif,” ujar Arya.

Sejumlah faktor turut mempengaruhi harga avtur selain harga minyak dunia. Di antaranya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, biaya distribusi, dan rantai pasokan. Atas dasar itulah, kata Arya, harga avtur di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan di Singapura. Sebab, wilayah Indonesia yang berupa kepulauan memerlukan ongkos distribusi lebih mahal. “Bandingkan dengan Singapura. Deponya di situ, bandaranya juga di situ.”

Ribut-ribut kenaikan dan penurunan tiket pesawat mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai bergerak. Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih mengatakan kondisi struktur oligopoli industri penerbangan memiliki potensi pelanggaran. “Kami sedang melakukan penelitian mengenai hal ini. Sebab, kami tidak bisa hanya berpijak pada informasi umum dan media,” ucap Guntur kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Menurut Guntur, KPPU telah menyurati maskapai untuk meminta keterangan dan informasi pada Rabu pekan lalu. “Beberapa surat sudah kami kirim, tapi kami belum bisa memberikan detailnya.”

Ari Askhara membantah dugaan praktik oligopoli. Dia juga menepis kabar bahwa ada kesepakatan antarmaskapai untuk menaikkan harga bersama. “Yang sepakat itu justru saat menurunkan harga,” ucapnya.

Ia menduga maskapai lain ikut menaikkan tarif setelah Garuda mengerek harga tiket. “Mereka selama ini enggak naik-naik karena kami tidak menaikkan tarif,” ujarnya. Karena harus menyehatkan kondisi keuangan Garuda, Ari menaikkan harga. Rupanya, Ari menambahkan, maskapai lain juga sudah kebelet.

Menteri Budi juga memastikan tak ada praktik kartel dalam industri penerbangan Tanah Air. Ia yakin pasar penerbangan masih sehat. “Bukan kartel yang dilakukan. Justru fight terus di antara mereka,” katanya.

RETNO SULISTYOWATI, DIAS PRASONGKO, CAESAR AKBAR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus