Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kemana dividen ?

Pt astra international terus melaju dan melebarkan sayap bisnisnya. keuntungan yang diperoleh akan di bagikan sebagai dividen dan dipakai untuk modal. status pemilikan saham pribadi menjadi perusahaan.

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak hanya menggebu laju, tapi PT Astra International terus melebar dan haus modal. Saham keluarga William Soeryadjaya berubah. SEHABIS Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Astra International (AI) di Hotel Borobudur pekan lalu, para pemegang saham PT Astra International (AI) tampak menenteng tas besar. Apa gerangan isinya? Ternyata, bukan setumpuk dividen uang tunai atau saham bonus, tapi brosur mobil-mobil produk Astra. Tak heran kalau banyak yang kecele. RUPS pertama Astra itu, ternyata, tidak segera membagi-bagi keuntungan. Baru Juni nanti, pemegang saham AI akan menerima Rp l50 per lembar saham. Tahun lalu dividen interim AI adalah Rp 100 per lembar. Dengan demikian, mereka yang telah membeli saham AI di pasar perdana (Maret 1990) dengan harga Rp 14.850, praktis meraih yield (bunga) hanya 1,68% atau sama dengan bunga deposito sebulan di bank swasta. Namun, tak ada yang kecewa. Justru pekan lalu, banyak yang berani membeli saham AI pada harga Rp 22.000 per lembar. Padahal, nilai buku saham-saham AI (242.198.000 lembar pada akhir tahun 1990), tercatat hanya sekitar Rp 4.370,24 per lembar. Bandingkan misalnya dengan saham PT Inco, yang pekan lalu kurang lebih sama dengan nilai bukunya yang juga sekitar Rp 4.200. Itu menunjukkan bahwa kepercayaan investor pada manajemen AI masih cukup tinggi. Penampilan AI pada tahun silam memang jauh lebih baik dibandingkan dengan Inco. Ketika Inco beberapa kali ditimpa musibah jatuhnya harga nikel, Astra justru mengalami pertumbuhan luar biasa. Omset penjualan mencapai Rp 3 trilyun, atau meningkat 160% dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih bahkan meningkat 178% mencapai Rp 237,5 milyar. Menggelembungnya laba diakui karena boom penjualan mobil di tahun lalu. Namun, menurut Presdir, Theodore Permadi Rachmat (biasa dipanggil Teddy), peran pemegang saham baru juga tidak kecil. "Setelah modal Astra ditingkatkan dan saham dicatatkan ke Bursa Efek pada bulan April 1990, biaya pendanaan perseroan telah banyak dapat dikurangi," begitu laporannya di depan pemegang saham. Dalam kesempatan itu juga, ia berharap agar pemegang saham tidak segera meminta pembagian dividen besar. Dari laba besar tadi, direksi mengusulkan 25% saja (Rp 60 milyar) yang dibagikan sebagai dividen. Jadi, sekitar Rp 176 milyar akan ditahan untuk modal. Usul tersebut, yang telah disetujui keluarga William Soeryadjaya (pemegang saham 68,25%), tentu saja gol. Mengapa Om Willem setuju? "Ini kan bagian dari financial policy perusahaan yang masih akan terus melakukan investasi," ujar si Om kepada TEMPO. Padahal belakangan ini terdengar berita bahwa William membutuhkan banyak uang untuk membantu salah seorang anaknya yang konon dilanda kesulitan keuangan. Untuk menyelamatkan bisnis sang anak, Astra terpaksa meminjam uang dari luar negeri dengan menggadaikan saham-saham Om Willem. Direksi Astra International (Teddy, Wakil Presdir Edwin Soeryadjaya, Direktur Keuangan Rini Mariani Soemarno Soewandi, dan Vice President Tatit Palgunadi) sewaktu berkunjung ke TEMPO awal April silam, membantah hal itu. "Pokoknya, manajemen Astra tidak bisa dicampuradukkan dengan perusahaan keluarga Om Willem," kata Teddy. Keterangan ini diperkuat oleh Rini yang mengatakan, banyaknya pinjaman Astra belakangan ini adalah untuk menunjang kegiatan Astra Group yang sedang boom. "Jika omset meningkat, kan diperlukan juga modal yang lebih besar. Misalnya untuk membeli komponen-komponen bahan baku," tutur Rini, yang sejak dua tahun lalu meninggalkan Citibank dan langsung menjabat Direktur Keuangan Astra itu. Menurut Rini, Astra juga terus berekspansi. Hal itu terlihat dalam buku laporan Astra. Pada tahun 1989, Astra Group baru memiliki 40 perusahaan. Tahun 1990, sudah melonjak sampai 55 perusahaan. Kapal induk itu, tampaknya, masih terus melebarkan sayap-sayap bisnisnya. Tahun lalu, misalnya, Astra masuk ke bisnis bumbu masak melalui patungan dengan PT Cheil Samsung Astra. Kini, Astra berani menanam modal di luar negeri. Tahun lalu AI membeli 40% saham Virginia Corporation di Kanada seharga sekitar US$ 1,5 juta. "Ini adalah perusahaan komponen otomotif," kata Rini. "Status pemilikan saham keluarga Om Willem juga belum berubah," kata Tatit Palgunadi waktu itu. Tapi dalam RUPS lalu, nama-nama anak Om Willem sudah hilang. Nama Edward, Edwin, Joice, dan Judith, yang tadinya masing-masing menguasai 6,58% (15.932.000 lembar), sudah diganti nama lima perusahaan. "Perubahan status pemilik saham pribadi menjadi atas nama perusahaan adalah sesuai anjuran Om Willem supaya langgeng," kata Tatit Palgunadi kepada TEMPO. Saham-saham Om Willem di AI tercatat atas nama PT Surya Satiyasakti Jaya. Saham Edwin kini atas nama PT Saratoga, saham Joice atas nama PT Suryaraya Pertiwi, saham Yudith atas nama PT Credo Sejahtera International. Masing-masing masih memegang 6,58% utuh. Namun, saham Edward ternyata sudah dipecah dua atas nama PT Watek Bahagia dan Sangga Minamas Inti. Apakah kedua perusahaan ini masih 100% milik Edward? Pertanyaan ini tak terjawab karena ketika RUPS, Edward kebetulan sedang berada di luar negeri. Sementara itu, Om Willem sudah melepaskan 1,04% sahamnya kepada koperasi. Sebaliknya, pemegang saham lama belum tergerak untuk melepaskan saham mereka di bursa. Dewasa ini baru 30 juta lembar saham AI yang go public kendati yang tercatat di bursa berjumlah 54 juta lembar. Meski melaju lewat berbagai ekspansi, manajemen Astra tak begitu optimistis bahwa sukses AI tahun lalu akan berulang tahun ini. Rini memperkirakan, laju kenaikan penjualan tahun ini hanya sekitar 15%. Alasannya, kebijaksanaan uang ketat yang tengah dilancarkan Pemerintah. "Bukan hanya kami. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi tahun ini tak akan seperti tahun lalu," katanya datar. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus