Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kemiskinan dan Ketimpangan di Yogyakarta Tinggi, Ekonom Ungkap Penyebabnya

Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Yogyakarta tertinggi di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Apa penyebabnya?

22 Januari 2023 | 15.50 WIB

Warga menjemur pakaian di bantaran rel kereta api, Lempuyangan, Yogyakarta, Rabu, 18 Januari 2023. Selain menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa, Yogyakarta juga merupakan daerah dengan besaran upah minimum provinsi (UMP) terkecil kedua setelah Provinsi Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Perbesar
Warga menjemur pakaian di bantaran rel kereta api, Lempuyangan, Yogyakarta, Rabu, 18 Januari 2023. Selain menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa, Yogyakarta juga merupakan daerah dengan besaran upah minimum provinsi (UMP) terkecil kedua setelah Provinsi Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diukur dengan rasio Gini menjadi yang tertinggi di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Apa penyebabnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Berdasarkan data BPS, pada Maret 2022 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di DIY mencapai 0,439. Angka ini paling tinggi di antara semua provinsi di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkap penyebabnya. Menurutnya, Yogyakarta adalah kota pelajar dengan banyak universitas yang menjadi jujugan para mahasiswa.

"Artinya banyak pendatang baru sehingga terjadi gap yang cukup lebar. Apalagi sekarang banyak perguruan tinggi yang memasang tarif semakin tinggi, jumlah beasiswa orang yang tidak mampu di perguruan tinggi juga porsinya tidak terlalu besar," kata Bhima kepada Tempo, Minggu, 22 Januari 2023.

Dia melanjutkan, para pendatang baru memiliki kondisi ekonomi yang lebih mapan daripada rata-rata orang Yogyakarta yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. "Sebagian besar rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian adalah rumah tangga miskin. Selain miskin, profil usianya juga banyak diisi oleh usia non produktif di sektor pertanian," tutur Bhima. 

Ini mengakibatkan pendatang dengan uang relatif banyak dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, bersekolah ke Yogyakarta. Menurutnya, kondisi itu akan memperlihatkan ketimpangan. 

"Nah, ada tren juga di Yogyakarta dimana mereka yang sudah pensiun dari kota-kota besar itu ingin menikmati hidup di Yogyakarta. Jadi, bayangkan ya pensiunan dari perusahaan besar, dari profesional, dari BUMN, nah dengan uang pensiun yang cukup besar mereka membeli properti di Yogya. Jadi apa akibatnya? Ketimpangannya tinggi," beber Bhima.

Mengapa Kemiskinan Tinggi tapi Kebahagiaan juga Tinggi

Lebih lanjut, Bhima mengungkap mengapa meskipun Yogyakarta memiliki ketimpangan dan kemiskinan yang tinggi, tapi harapan hidup dan kebahagiaannya juga tinggi. Menurutnya, itu karena budaya lokal nrimo (menerima).

"Ya itu karena budaya lokal yang disebut nrimo, nrimo ing pandum. Jadi, artinya dia itu cenderung menerima apa adanya. Jadi, ada budaya yang sebetulnya sifatnya permisif terhadap kemiskinan bahwa ini adalah pemberian atau harus ikhlas menerima," kata dia.

Budaya semacam ini juga ada di luar negeri, seperti Nepal yang memiliki dimensi kehidupan bagi warga lokal agar tidak hanya mengejar keuntungan materialistis.

"Tapi, sebenarnya kalau dipandang dari sudut pandang ekonomi itu salah. Harusnya ada korelasi antara kebahagiaan dan kesuksesan," tuturnya.

Sebab negara-negara dengan indek bahagia tinggi di dunia adalah negara yang memiliki tingkat ekonomi tinggi dan pemerataan yang baik. Seperti Skandinavia dengan ekonomi dan tingkat pemerataan yang bagus, serta dari sisi pendapatan per kapita masuk ke negara maju. 

"Ini (permisif terhadap kemiskinan) perlu intervensi. Salah satu intervensi yang harus dilakukan itu sebenarnya upah minimum. Jadi, kalau upah minimum warga lokalnya juga naik maka gap ketimpangan dengan para pendatang itu semakin menyempit," ungkap Bhima.  

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Amelia Rahima Sari

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus