Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMPAT dibicarakan tahun lalu, kini wacana penghapusan larangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terlibat maupun intervensi bisnis kembali bergulir. Rencana itu mencuat lagi seiring dibahasnya rancangan undang-undang (RUU) perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau RUU TNI di Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad menyebut penghapusan larangan tersebut menjadi dalih agar segelintir elite TNI bisa kembali berbisnis seperti saat era Orde Baru. Menurut dia, proses revisi UU TNI kali ini merupakan aji mumpung bagi para elite TNI. Terlebih, katanya, Presiden Prabowo Subianto juga berasal dari latar belakang militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini hanya dalih daripada keinginan segelintir orang di elite TNI untuk kembali seperti masa Orde Baru di mana TNI bisa berbisnis,” kata Hussein saat konferensi pers menyikapi RUU TNI di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Kamis, 6 Maret 2025.
Larangan TNI berbisnis diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal itu menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.
Alasan TNI dilarang terlibat maupun intervensi bisnis
Dikutip dari laman resmi KontraS Surabaya, larangan TNI berbisnis dilatarbelakangi oleh peran dan fungsi instansi tersebut sebagai alat negara. Apabila prajurit TNI melakukan aktivitas bisnis dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik kepentingan yang berdampak pada profesionalitas prajurit TNI.
“Pelarangan bisnis bagi prajurit dalam UU No. 34 Th. 2004 sendiri merupakan salah satu upaya dari reformasi sektor keamanan (RSK), yang bertujuan untuk menciptakan prajurit TNI yang profesional, dan akuntabel,” kata Koordinator badan Pekerja KontraS Surabaya, Faisal.
Selain soal profesionalitas, masyarakat sipil juga akan merasakan efek buruk dari bisnis militer. Contohnya adalah ketika gurita bisnis tentara lewat yayasan dan koperasinya belum sepenuhnya diambil alih oleh negara, seperti terungkap dalam laporan studi Human Rights Watch pada 2006.
Menurut studi tersebut, kontrol dari pemerintah dan masyarakat sipil akan kian tipis ketika militer memiliki kewenangan finansial yang tak terbatas dalam berbisnis. Banyak masalah yang akan muncul ketika tentara tak lagi terkendali. Dari korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, hingga eksploitasi sumber daya alam tanpa batas.
Mudaratnya bukan hanya itu. Diizinkannya anggota TNI terlibat dalam bisnis bakal memicu kecemburuan di dalam tubuh militer. Para perwira bakal makin makmur, sedangkan bintara dan tamtama hanya mendapat tambahan penghasilan yang tak seberapa. Keterlibatan militer dalam bisnis pada era Orde Baru telah membuktikan hal tersebut.
Baca juga artikel Tempo: Tentara Kembali ke Barak, Bukan ke Lapak
Kilas balik TNI intervensi bisnis era sebelum reformasi
Sebelum dilarang berdasarkan UU TNI, militer Indonesia memang sempat memiliki dwifungsi, penjaga pertahanan negara dan menjalankan usaha. Keterlibatan militer dalam bisnis sebelum dilarang ini sudah terjadi sejak awal kemerdekaan. Termasuk pada era 1945-1949, di mana militer berbisnis untuk perjuangan meraih kemerdekaan. Saat itu, salah satu alasan utamanya adalah guna mendapatkan dana tambahan bagi ketentaraan.
Berdasarkan studi Jaleswari Pramodhawardani dan Lex Rieffel pada 2007 bertajuk Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, di era awal kemerdekaan itu, setiap unit perlawanan Indonesia kudu menemukan sumber pendapatan mandiri untuk membiayai operasi militer melawan Belanda. Fenomena ini berlanjut hingga akhir 1950-an.
Indria Samego dalam buku Bila ABRI Berbisnis (1998) mengungkapkan, bisnis di lingkungan militer awalnya memang hanya untuk memenuhi kebutuhan logistik dan operasional yang tidak terdukung secara layak oleh pemerintah. Namun dalam perjalanannya, keterlibatan militer dalam bisnis kian berkembang.
Bahkan pada masa Orde Baru, hubungan tentara dan bisnis makin terimplementasi secara lebih luas. Nyaris tak satu pun sektor produksi dan usaha nasional penting yang tidak tersentuh jaringan bisnis tentara, baik secara individual maupun institusional. Lewat slogan dwifungsi ABRI, tentara melirik lahan-lahan basah guna mencengkeram ekonomi Indonesia.
Tidak mengherankan, pada masa Presiden Soeharto itu, tentara aktif maupun pensiunan tersebar menduduki posisi strategis di berbagai perusahaan swasta hingga BUMN. Bukan rahasia lagi bahwa perusahaan milik negara seperti PT Berdikari, Badan Urusan Logistik hingga Pertamina, dimanfaatkan sebagai lumbung duit pendanaan militer.
Tak hanya itu, muncul pula berbagai yayasan maupun koperasi yang dikelola secara langsung maupun tak langsung oleh militer. Hampir tiap kesatuan yang ada dipastikan memiliki induk koperasi yang menguasai berbagai lahan bisnis. Sebut saja Koperasi Baret Merah (Kobame) milik Kopassus, Induk Koperasi Angkatan Darat, dan Induk Koperasi Angkatan Laut.
Potret dampak negatif TNI terlibat bisnis
Namun, di sisi lain, bisnis TNI era Orde Baru juga membesarkan pengusaha hitam yang berlindung di balik ketiak tentara. Laporan KontraS pada 2024 bertajuk Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga mengungkapkan, selain bersumber dari pendapatan legal, pembiayaan militer ketika itu juga berasal dari bisnis kriminal (crime economy), berupa bisnis backing dan pemerasan serta kejahatan berupa penyelundupan, illegal logging, maupun narkoba.
Selain itu keleluasaan menggalang dana dari berbagai sumber membuat militer saat itu menjadi instansi yang tak terkontrol dalam hal sumber dan penggunaan dana mereka di luar dana yang disediakan APBN. Dengan sendirinya hampir seluruh kegiatan militer menjadi tidak terkontrol, baik oleh lembaga negara lainnya maupun oleh publik. Di sinilah ruang penyalahgunaan wewenang menjadi erat dalam diri militer yang dibuktikan melalui kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM.
“Meskipun tindakan-tindakan tersebut tidak melulu dilatarbelakangi kepentingan militer, namun militer selalu dapat dimanfaatkan sebagai alat bagi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang menganut pembenaran terhadap praktek-praktek kekerasan dan pelanggaran HAM,” tulis penelitian KontraS.
Menariknya, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota militer tidak pernah diakui sebagai kegiatan ‘institusional’, atau seandainya diakui selalu disebut sebagai tingkah laku “oknum” militer. Kasus penculikan aktivis pada dekade 1997-1998 dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay misalnya, adalah dua contoh kasus kejahatan negara melalui tangan-tangan militer.
Awalnya militer membela diri dengan menolak mengakui perbuatan itu. Belakangan saat bukti-bukti yang disampaikan publik sulit untuk dibantah, militer berkelit dengan menyatakan bahwa operasi tersebut merupakan insiatif pribadi dari prajurit-prajurit yang bersangkutan karena kecintaannya pada Tanah Air, bukan kehendak institusi.
Seiring berembusnya angin perubahan menjelang Reformasi 1998, bisnis-bisnis milik tentara semakin berkurang. Kejayaan TNI dalam dunia bisnis pun mulai surut. Setelah larangan berbisnis diteken dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI dipaksa harus menyerahkan lahan bisnisnya kepada pemerintah. Sejak itu, haram bagi TNI berurusan dengan bisnis.
Wacana penghapusan larangan TNI berbisnis mencuat lagi
Baru-baru ini, wacana penghapusan larangan TNI berbisnis disinggung dalam rapat dengar pendapat seputar RUU TNI antara Komisi I dengan sejumlah pakar. Mayor Jenderal TNI AD (Purn.) Rodon Pedrason, yang menjadi penasihat di Defense Diplomacy Strategic Forum, membela hak prajurit untuk berbisnis.
Rodon mengatakan uang pensiunan yang diterima bintara dan tamtama hanya 70 persen dari gaji pokok, dan mereka tidak punya kerjaan sampingan selagi berkarier di TNI. Uang pensiunan bagi jenderal juga disebut tak seberapa jumlahnya, yakni hanya Rp 5,2 juta bagi jenderal bintang 4.
“Prajurit, terutama prajurit bintara atau tamtama jangan dilarang berbisnis,” kata dia dalam rapat yang berlangsung pada 3 Maret 2025 di gedung parlemen. Ia mencontohkan mantan rekannya, seorang sersan, yang berjualan bakso usai pensiun. “Sementara gajinya pada saat dia pensiun tinggal 70 persen dari gaji pokok.”
Sementara itu, menanggapi pernyataan Rodon, Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengkritik alasan yang digunakan TNI untuk mendukung penghapusan larangan berbisnis, yaitu rasa kasihan pada prajurit yang kekurangan pendapatan. Ia menilai hal tersebut sebagai cara pandang yang keliru. Seharusnya Panglima TNI menjamin kesejahteraan para prajuritnya sehingga tidak perlu berbisnis dan hanya fokus menjadi alat pertahanan negara.
“Kalau prajurit di lapangan sampe harus Gojek, sampe harus jual sayur, berarti ada masalah soal kesejahteraan. Siapa yang bertanggung jawab soal kesejahteraan prajurit? Ya Panglima TNI,” kata dia.
Bahkan, ia waswas akan banyak prajurit TNI yang berbisnis di bidang tambang jika larangan berbisnis bagi tentara dihapus. Ia meminta elite TNI tidak menggunakan narasi rasa kasihan terhadap prajurit sebagai dalih ingin berbisnis tambang.
“Saya kira kalau kemudian ini dihapuskan, kita akan lihat banyak perwira-perwira ini main tambang, main smelter, dan lain sebagainya,” kata dia.
TNI telah mendorong dihapusnya larangan berbisnis sejak tahun lalu. Kepala Staf TNI Angkatan Darat atau KSAD, Jenderal Maruli Simanjuntak, pernah mengatakan ada sejumlah anggota TNI yang membutuhkan pendapatan sampingan. Bahkan, katanya, ada prajurit yang mencari pemasukan dengan menjadi sopir ojek online.
“Dua tiga jam ngojek, kan, lumayan,” ujarnya di Mabes TNI, Senin, 22 Juli 2024 seperti dilansir dari Antara.
Karena faktor ekonomi dan kebutuhan itu, Maruli menilai larangan berbisnis bagi prajurit TNI semestinya dihapuskan. Namun, ia mengimbau agar prajurit TNI tetap wajib mengikuti apel pagi dan apel petang secara rutin. “Yang penting hadir (bertugas),” katanya.
Nabiila Azzahra, Eiben Heizier, Titis Setianingtyas, Bobby Chandra, dan Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.