SESUDAH pembangunan wilayah ~Indonesia Bagian Timur dicanangkan awal tahun ini, pejabat tinggi dari Jakarta meninjau ke sana silih berganti. Ada perhatian luar biasa, yang dulu tak akan terpikir oleh siapa pun. Pekan lalu, misalnya, Menaker Cosmas Batubara berkunjung ke wilayah IBT selama dua hari penuh. Dalam rombongannya ikut serta Dubes Mesir dan Dubes Brasil untuk Indonesia. Cosmas mengunjungi beberapa pabrik milik Djajanti Group seperti pabrik kayu di Manokwari, Ir-Ja, industri perikanan di Aru, Maluku Tenggara, serta industri kayu terpadu di Pulau Seram. Kawasan yang sangat tertinggal dalam sarana dan prasarana itu kini menghadapi banyak persoalan lain, di antaranya pengangguran dan masalah yang timbul karena penerapan kebijaksanaan Pemerintah. Industri kayu, yang selama ini merupakan tulang punggung ekonomi di IBT, justru berubah jadi sumber masalah. Semua ini gara-gara pajak ekspor kayu gergajian dan kayu olahan (KGKO) yang oleh Pemerintah dinaikkan 1.000% lebih. Maka, setiap pengusaha kayu harus membayar pajak ekspor 250 dolar-1.000 dolar per meter kubik. Otomatis, peluang ekspor untuk KGKO tertutup sama sekali. Memang itulah sasaran kebijaksanaan Pemerintah. Akibatnya menurut sebuah sumber di ISA (asosiasi KGKO), sekitar 2.300 perusahaan gulung tikar, plus 36 ribuan tenaga kerja terkena PHK. Namun, dalam kondisi kembang kempis, sampai saat ini masih berdiri sekitar 300 pabrik. "Kami hanya berproduksi setengah dari kapasitas," kata Zain Masyhur, Direktur Pemasaran Djajanti Group. Zain dan pengusaha lainnya mungkin masih berharap bahwa Pemerintahi akan mengubah kebijaksanaan yang tegar itu, kelak. Siapa tahu. Yang pasti, selain sejumlah besar tenaga kerja yang sudah dikontrak, mereka juga harus menanggung beban investasi. PT Agoda Rimba Irian, contohnya. Anak perusahaan Djajanti yang bermodal 12 juta dolar ini mencoba bertahan dengan 400-an tenaga kerja. Padahal, sejak awal tahun ini, Agoda tak lagi mengekspor. Di halaman pabriknya, di Kecamatan Babo-Manokwari. tertumpuk tak kurang dari 21 ribu meter kubik kayu gergajian senilai delapan juta dolar lebih. Lantas, mau diapakan kayu yang menumpuk selama sepuluh bulan itu? "Entahlah, masih kami pikirkan," kata Burhan Uray, pemilik Djajanti. Selain tak laku di pasar dalam negeri, kayu merbau, yang dihasilkan hutan Irian, hanya bisa digunakan untuk membuat kusen, atap, dan pintu. Jadi, tidak cocok untuk bahan baku plywood karena sifatnya yang terlalu keras. Kebetulan, grup ini tidak hanya berbinis KGKO. Di Irian dan Seram, Djajanti membuka pabrik kayu lapis, pabrik lem kayu, dua industri ikan terpadu (termasuk pengolahan tepung ikan), pabrik sagu, dan sebuah hotel berkapasitas 200 kamar di Sorong. Total di IBT, konglomerat dengan 40 perusahaan ini telah menanamkan sekitar Rp 544 milyar. Kendati perusahaannya banyak, Djajanti ternyata tidak mampu menyalurkan semua pekerja yang terpaksa menganggur di pabrik KGKO. Akibatnya, ancaman PHK selalu membayangi. Ini membuat Menaker Cosmas prihatin. "Saya juga melihat produk di pabrik ini tak bisa dijual. Tapi, saya juga tak ingin melihat Anda sekalian menganggur," katanya di hadapan para buruh pabrik KGKO milik Djajanti. Selain Cosmas, yang juga dirundung cemas adalah Esau Sesa, Bupati Manokwari. Menjelang Natal, kata Esau, penduduk Manokwari membutuhkan banyak uang. Nah, kalau mereka terkena PHK, atau pendapatannya berkurang, bisa timbul gejolak sosial. "Dan sebentar lagi mau pemilu," cetus Esau. Bupati Manokwari ini bersama aparat Pemda Irian lainnya sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar kebijaksanaan ekspor KGKO ditinjau kembali. Namun, usul itu tidak digubris. Budi Kusum~ah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini