APBN 1982/1983 perlu direvisi? Ternyata tidak. Sekalipun
produksi minyak mulai awal April ini secara resmi diturunkan
menjadi rata-rata 1,3 juta barrel sehari, para pengelola ekonomi
Indonesia merasa bahwa porsi pembangunan dan belanja negara
untuk periode '82/'83 itu bisa tetap dipertahankan sebesar Rp
15,6 triliun. APBN tersebut, yang baru saja disahkan menjadi
undang-undang, naik sebesar 12,3% dari APBN 1981/1982, dan
didasarkan pada proyeksi produksi minyak rata-rata 1,64 juta
barrel sehari, dengan harga rata-rata US$ 35 per barrel.
Diakui oleh pemerintah bahwa di sana-sini akan terjadi
penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan prinsip "ikat pinggang
yang lebih ketat". Misalnya saja seperti dikatakan Menteri
Pertambangar dan Energi Prof. Subroto sekembali dari sidang
darurat OPEC di Wina, pemerintah akan melakukan penghematan di
sektor pengeluaran rutin, seperti belanja barang, belanja
pegawai, subsidi daerah otonom dan menghemat penggunaan BBM di
dalam negeri.
Adapun pos pengeluaran rutin yang tercatat dalam APBN '82/'83
adalah sebesar Rp 7 triliun. Sedang subsidi BBM diperkirakan
akan menelan Rp 924 milyar--turun 38,9% dari subsidi BBM tahun
anggaran sebelumnya. Pemerintah juga akan menggunakan dana dari
cadangan devisanya. Tak diketahui berapa besarnya cadangan
devisa yang sebagian besar datang dari hasil ekspor minyak itu.
Ada yang menduga pernah mencapai US$ 10 milyar, ada pula yang
memperkirakan sekitar US$ 8 milyar.
Kalau perlu, seperti dikatakan seorang ekonom pemerintah, akan
dilakukan. pinjaman-pinjaman baru dari pasar uang internasional.
Ekonom itu menunjuk pada pinjaman baru pemerintah dari sindikat
bank di Eropa sebesar US$ 300 juta, konon untuk membiayai
pembangunan beberapa proyek petrokimia.
Pinjaman seperti itu, biasanya selama 5 tahun dengan tingkat
bunga sekitar 8% setahun, pernah dilakukan Bank Indonesia dari
konsorsium bank yang dipimpin Morgan Guarantee Trust yang
bermarkas di London dan New York, juga dari konsorsium perbankan
yang dipimpin Bank of Tokyo, untuk menambal kekurangan cadangan
devisa yang bocor tak lama setelah pecahnya krisis Pertamina di
tahun 1975.
Masa Kritis
Pemerintah sendiri ketika menyiapkan RAPBN '82/'83
memproyeksikan defisit pada transaksi yang sedang berjalan
sebesar US$ 4,57 milyar. "Kini, dengan produksi minyak yang
menurun dan harga minyak yang belum stabil benar, pemerintah
akan menjalankan suatu teknik penyediaan dana-dana dan timing
dari penggunaan dana-dana itu--sebisa mungkin tanpa harus
menambah defisit itu," kata seorang pejabat yang lain.
Belum dikemukakan teknik dan timing yang bagaimana akan mereka
jdlankan. Tapi selain upaya penghematan, penggunaan cadangan
devisa, tambahan utang dari luar, ada disebut-sebut mengenai
yenjadwalan dana-dana itu sendiri. "Ya, yang bisa kita undurkan
pembiayaannya akan kita lihat," kata pejabat itu.
Juga diperkirakan dana dari sisa anggaran pembangunan (SIAP)
yang selalu ada pada setiap akhir masa anggaran, akan
dimanfaatkan. Administrasi dari pelaksanaan proyek-proyek juga
akan lebih disempurnakan. Seperti daftar isian proyek-proyek
(DIP) yang minggu ini mulai disampaikan ke daerah-daerah 'kini
akan disertai dengan pelaksanaa operasinya (PO)."
Bisa dipastikan banyak pejabat ekonomi pemerintah yang terpaksa
harus kerja lembur lagi di saat-saat sulit seperti ini. Pos
penerimaan dari pajak perseroan minyak yang tercatat Rp 9,1
triliun lebih itu-- naik 6,4% dari PBN 1981/ 1982--diduga akan
berkurang. Beberapa koran asing, antara lain Asian Wall Street
Journal menduga defisit itu akan mencapai US$ 10 milyar.
Sedangkan buletin Business News dalam tajuknya 23 Maret,
memperkirakan penerimaan negara akan berkurang US$ 4,3 milyar,
dengan berkurangnya produksi minyak sebanyak 340.000 barrel
sehari.
Perhitungan-perhitungan secara sederhana itu, seperti dikatakan
seorang ckmom pemerintah, belum tentu benar. Seperti kata
Menteri Subroto setelah melaporkan hasil sidang di Wina kepada
Presiden, dunia industri akan butuh minyak lebih banyak lagi,
"setelah mas yang kritis kita lewati," katanya. Ada pun
masa-masa yang gawat, menurut bekas Ketua OPEC itu, jatuh pada
bulan bulan April, Mei dan Juni -- selama kuartal kedua tahun
ini. Suasana luber minyak (glut) masih akan terasa selama tiga
bulan itu, antara lain disebabkan beberapa negara industri
dengan sengaja melepaskan stock minyak mereka lebih banyak ke
pasaran, untuk meneka OPEC agar menurunkan harga patokannya
dalam sidang darurat di Wina baru-baru ini.
Ternyata OPEC tetap bersatu, mempertahankan harga patokan
minyaknya. Bahkan mereka siap membantu Nigeria yang menderita
defisit besar akibat rekanan-tekanan pembelinya. Tarik tambang
antara OPEC melawan kelompok negara industri (Barat) memang
masih berlangsung Kalau mereka menambah persediaannya sesudah
"masa kritis" tadi, itu akan membuat banyak negara OPEC,
termasuk Indonesia, mempunyai peluang untuk mengerem laju
defisitnya. Insya Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini