KAMPANYE mempopulerkan kopi Indonesia lewat acara coffee
evening di Kairo, Ankara, dan Istambul selama sepekan
(pertengahan Maret) yang diselenggarakan misi Menperdagkop
Radius Prawiro di luar dugaan memperoleh sambutan. Enam menteri
Turki telah mencicipi kopi Robusta dalam gaya Turkis Coffee
--kopi dan gula diacu dalam air dingin baru kemudian dimasak.
Ternyata kopi Indonesia tidak kalah rasanya dengan kopi
Brazilia," kata seorang menteri Turki seperti diceritakan Zainul
Yasni, Ketua Tim Koordinasi Kegiatan Ekspor Timur Tengah itu,
yang menyertai Menteri Radius, menganggap pasar di Mesir, Turki,
dan sejumlah negara di Timur Tengah menjanjikan "harapan yang
baik".
Untuk Maret lalu, Turki telah meminta pengiriman 900 ton kopi
Robusta, dan akan ditambah 700 ton lagi bulan berikutnya. Jika
lancar semuanya, Indonesia mengharapkan bisa memasarkan sekitar
5.000 ton kopi tahun ini ke negara itu -- sedang Brazilia
mensuplai sekitar 8.000 ton setiap tahunnya.
Tapi di Mesir kopi Indonesia ternyata masih perlu diuji
kualitasnya. Menurut Yasni, ada sepuluh jenis kopi--diantaranya
Robusta yang sudah dimasukkan ke dalam standar internasional
oleh Mesir -- yang kini sedang diuji di laboratorium.
Pasar di dekat kawasan itu, yang juga diincar oleh Indonesia,
adalah Aljazair. Kenegara ini para eksportir Indonesia sudah
menyalurkan sekitar 3.000 ton kopi setiap tahunnya.
Negara-negara Eropa Timur, seperti Rumania, dan Hongaria,
tampaknya juga akan dijadikan wilayah pemasaran. Di
negara-negara nonkuota itu, menurut Dharyono Kertosasto, 43
tahun, Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), "kopi
Indonesia akan mudah terjual."
Kampanye mempopulerkan kopi Indonesia ke negara-negara nonkuota
-bukan anggota Organisasi Kopi Internasional (ICO --memang
sedang digalakkan pemerintah, terutama sejak pasaran minyak
goyah. Pemerintah merasa ikut terpukul sesudah ICO memutuskan
penurunan kuota ekspor kopi Indonesia dari 192 ribu ton
(1980-1981) menjadi 138 ribu ton untuk periode 1981-1982 yang
berlaku mulai Oktober tahun lalu hingga September tahun ini.
Pemotongan sebesar 54 ribu ton itu, menyebabkan eksportir
Indonesia menjerit.
Tapi Ketua AEKI Dharyono optimistis jika kelak jumlah kuota yang
dikurangi itu bisa dilempar ke negara nonkuota, sekalipun harus
melalui Singapura. Produksi kopi Indonesia setahun rata-rata
mencapai 322 ribu ton.
Dan jika benar konsumsi dalam negeri mencapai 75 ribu ton, maka
pada periode tahun ini para eksportir setidaknya harus
memikirkan pemasaran 100 ribu ton kopi. Kalau jumlah itu tetap
sulit dijual ke luar negeri, pasar di dalam negeri niscaya akan
berlebih, dan bisa menyebabkan harga jatuh serta memukul petani.
Brazilia yang memasarkan Arabica, tentu tidak akan tinggal diam.
Justru di kawasan yang sedang diincar Indonesia, kopi negeri itu
sudah lama dikenal dan punya nama. Sulitnya lagi, menurut
Dharyono, kualitas kopi Robusta Indonesia (meliputi 90% dari
seluruh ekspor) sering diragukan negara konsumen.
Di bursa kopi New York, harga Robusta hanya naik sedikit,
dibandingkan Arabica eks Brazilia. Awal Juni tahun lalu, Robusta
masih US$ 0,36 per kg, sedang Februari tahun ini mencapai US$
0,53 per kg (47%). Arabica pada periode yang sama naik dari US$
0,42 menjadi US$0,68 per kg (62%).
Mungkin karena situasi harga yang tidak sehat itulah, ekspor
kopi Indonesia yang di tahun 1980 mencapai 239 ribu ton (dengan
nilai US$655 juta), menjadi 224 ribu ton tahun lalu (dengan
nilai US$ 371 juta) merosot sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini