Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Implementasi Kamar Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan paling lambat dilakukan pada 30 Juni 2025.
Salah satu standar yang dibuat pemerintah adalah membatasi empat tempat tidur dalam satu ruang rawat inap.
Kenaikan iuran peserta kelas III berpotensi meningkatkan jumlah tunggakan.
Pemerintah menargetkan ruang rawat inap untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan di semua rumah sakit akan mempunyai standar yang sama paling lambat pada 30 Juni 2025. Kementerian Kesehatan mengklaim persiapan untuk implementasi ketentuan tersebut hampir rampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, sebagian besar rumah sakit sudah memenuhi kriteria Kamar Rawat Inap Standar atau KRIS. Berdasarkan survei Kementerian Kesehatan, lebih dari 2.000 rumah sakit telah memenuhi kriteria itu. “Masih ada 208 rumah sakit yang sama sekali belum sesuai dengan kriteria KRIS,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 14 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan, terdapat 12 indikator kriteria yang harus dipenuhi rumah sakit. Dalam perpres tersebut, pemerintah mengatur berbagai standar, dari dinding, lantai, tempat tidur, ventilasi, tirai, hingga tempat penyimpanan barang pasien.
Baca juga infografiknya:
Rincian kriteria yang harus dipenuhi itu diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan tentang Petunjuk Teknis Kesiapan Sarana Prasarana Rumah Sakit dalam Penerapan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional yang terbit pada 24 Mei 2022.
Salah satu standar yang dibuat pemerintah adalah membatasi empat tempat tidur dalam satu ruang rawat inap. Saat ini jumlah tempat tidur di ruang pelayanan peserta BPJS Kesehatan, khususnya kelas III, bervariasi dari 6 hingga 10 tempat tidur. Sementara itu, ruang rawat kelas I umumnya berkapasitas 2-4 tempat tidur.
Kapasitas Layanan Berkurang
Seorang perawat memeriksa pasien yang sedang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Yarsi di Pontianak, Kalimantan Barat, 14 Mei 2024. ANTARA/Jessica Wuysang
Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai ruang ekstra, ketentuan ini bisa mengurangi tempat tidur buat peserta BPJS Kesehatan. Namun, Nadia memastikan, kapasitas layanan tak akan banyak berkurang. "Kami sudah melakukan uji coba di 14 rumah sakit dan pengurangan tempat tidur diperkirakan kurang dari 5 persen."
Nadia mengungkapkan rumah sakit swasta tetap memiliki kewajiban menyediakan minimal 40 persen dari kapasitas tempat tidur bagi peserta BPJS Kesehatan. Sementara itu, rumah sakit pemerintah wajib mengalokasikan 60 persen kapasitas tempat tidurnya.
Klaim soal kesiapan fasilitas standar ini juga datang dari Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI). Menurut Ketua Umum ARSSI Iing Ichsan Hanafi, sebagian besar anggotanya sudah siap menerapkan KRIS. Pasalnya, pemerintah memberi waktu tambahan buat memenuhi kriteria standar kamar inap tersebut.
KRIS seharusnya mulai berlaku pada semester kedua 2024. Namun, pada 2022, Asosiasi meminta kelonggaran waktu. Persiapan untuk memenuhi 12 kriteria pemerintah membutuhkan dana. Ichsan mengingat saat itu banyak perusahaan yang keuangannya tak sehat lantaran terpukul dampak penyebaran virus Covid-19. "Untuk memenuhi kriteria ini, investasinya cukup besar, terutama bagi rumah sakit yang harus merombak besar-besaran," katanya.
Kriteria yang mungkin membuat rumah sakit harus merombak ruangan besar-besaran adalah kamar mandi. Pemerintah mewajibkan ada satu kamar mandi di dalam ruang rawat inap. Belum lagi pemerintah mengatur jarak minimal antarkasur yang mengharuskan rumah sakit menyesuaikan luas ruangan rawat inapnya.
Keadilan bagi Peserta
Warga menunggu panggilan untuk membayar biaya administrasi rumah sakit di loket pembayaran RS Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia
Ichsan menyebutkan anggotanya tengah menanti ketentuan pemerintah soal tarif pelayanan di kamar rawat inap tersebut. Pasalnya, saat ini terdapat tiga kelas peserta BPJS Kesehatan dengan tarif pelayanan untuk rumah sakit yang berbeda. Belum lagi dari sisi peserta yang membayar iuran berbeda.
"Peserta yang membayar iuran Rp 150 ribu, misalnya, akan bertanya ketika mendapat fasilitas yang sama dengan mereka yang membayar iuran Rp 50 ribu. Ini perlu sosialisasi," katanya.
Merujuk pada Perpres Nomor 59 Tahun 2024, pemerintah mengizinkan rumah sakit menerapkan KRIS jika sudah siap. Tapi ketentuan soal tarif layanan ke rumah sakit hingga iuran peserta belum berubah. Pasal 103B ayat 8 Perpres Nomor 59/2024 menyebutkan pemerintah menentukan manfaat, tarif, dan iuran paling lambat pada 1 Juli 2025.
Sekretaris Jenderal ARSSI Noor Arida Sofiana berharap pemerintah bisa memberi kejelasan sebelum implementasi serentak KRIS. Tujuannya agar ada keadilan bagi peserta, mengingat sistem kelas masih berlaku. Di sisi lain, rumah sakit juga sudah mengeluarkan investasi besar untuk melakukan renovasi. "Agar adil dengan fasilitas sekarang yang lebih baik," ujarnya.
ARSSI memastikan komitmen layanan untuk peserta BJPS Kesehatan tak akan berkurang dengan ketentuan KRIS. Sebab, peserta Jaminan Kesehatan Nasional makin banyak. Di beberapa rumah sakit, jumlahnya bahkan melebihi 50 persen kapasitas. Namun ARSSI tak menampik risiko berkurangnya kapasitas tempat tidur dengan ketentuan KRIS. "Itu pekerjaan rumah kami (untuk memastikan tidak ada pengurangan tempat tidur)," ujar Arida.
Ancaman Defisit BPJS Kesehatan
Anggota BPJS Watch, Timboel Siregar, menyuarakan kekhawatiran yang sama soal belum adanya ketentuan baru mengenai iuran BPJS Kesehatan. Peserta kelas I bisa saja merasa menerima perlakuan tak adil dan memilih beralih menjadi peserta kelas III. "Karena sama ruang perawatannya," katanya
Implikasinya adalah penurunan penerimaan buat BJPS Kesehatan. Dengan KRIS, dia mengasumsikan pemerintah bakal menerapkan satu tarif layanan. Timboel memperkirakan jumlah yang harus dibayar peserta berkisar antara iuran kelas I dan kelas III atau Rp 42-100 ribu per orang. Jika ditetapkan Rp 75 ribu, iuran kelas I yang sekarang Rp 150 ribu berkurang setengahnya.
Sebaliknya, peserta kelas III harus membayar lebih mahal daripada iuran saat ini yang sebesar Rp 50 ribu. Timboel menuturkan kondisi tersebut bisa meningkatkan tunggakan bayar peserta. Padahal penerimaan BPJS Kesehatan didominasi oleh iuran peserta. "Kalau pendapatan iuran berkurang, sementara pembiayaan terus membengkak, defisit pembiayaan bisa terjadi lagi nanti," katanya.
Di sisi lain, implementasi KRIS berisiko mengurangi akses peserta terhadap ruang perawatan. Timboel mengingatkan, rumah sakit berhak menyediakan ruang perawatan untuk masyarakat umum. Mereka hanya diwajibkan menyediakan minimal 40 persen dari kapasitas tempat tidur buat peserta BPJS Kesehatan.
Menurut Timboel, ketersediaan tempat tidur juga akan makin berkurang kalau rumah sakit tidak sanggup memenuhi target minimal tersebut. Akibatnya, kondisi rumah sakit menjadi kontraproduktif dengan tujuan JKN.
Saat ini peserta JKN boleh mengisi fasilitas di atas kelasnya selama maksimal tiga hari sambil menunggu tempat tidur yang sesuai dengan kelasnya tersedia. Sementara itu, dengan KRIS, belum ada ketentuan soal itu. Perpres Nomor 59 Tahun 2024 hanya mengatur kemungkinan peserta menggunakan kamar selain KRIS dengan membayar selisih biaya sendiri.
Saat jumlah tempat tidur terbatas, dia mengimbuhkan, peserta bisa saja meninggalkan BPJS Kesehatan dan memilih skema pembayaran lain. "Artinya, JKN akan percuma karena tidak terpakai," ucap Timboel.
Sistem Kelas Belum Akan Berubah
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah belum akan menghapus kelas BPJS Kesehatan dan menerapkan satu tarif untuk layanan rawat inap. Hingga saat ini, belum ada rancangan ketentuan untuk itu. Dia menegaskan, ketentuan ihwal KRIS bukan bertujuan menghapus kelas BPJS Kesehatan, melainkan memperbaiki kualitas layanan. "Jadi sekarang ada kelas III. Semua naik ke kelas II dan kelas I," tuturnya. Pengaturan ini membuat layanan lebih sederhana dan bagus.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN Agus Suprapto pun menjelaskan, KRIS awalnya dirancang untuk memastikan tiap peserta menikmati layanan yang sama. Perpres Nomor 59 Tahun 2024 hanya mengatur supaya standar fasilitas kesehatan selaras di seluruh Indonesia. Selama ini, dia menyebutkan, ada ketidakadilan lantaran peserta di suatu daerah bisa menikmati layanan rawat inap lebih baik dibanding peserta di wilayah lain, padahal membayar iuran yang sama.
Soal tarif dan iuran dari kelas standar ini, Agus menyatakan pemerintah masih harus berembuk untuk menentukan angkanya. "Perpres Nomor 59 menugasi Kementerian Kesehatan, DJSN, dan BPJS Kesehatan menata yang nanti disebut kelas itu seperti apa, iurannya bagaimana," ujar Agus. Dia menargetkan sebelum 1 Juli 2025 pemerintah sudah menyelesaikan pembahasannya.
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo