Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat tata kota Nirwono Yoga menilai langkah pemerintah menyerahkan proyek pembangunan infrastruktur kepada pihak swasta dapat menjadi kesempatan berharga bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Karya untuk memperbaiki kondisi keuangannya. Setelah bertahun-tahun terbebani oleh proyek-proyek besar pemerintah, kini BUMN Karya bisa fokus menyelesaikan kewajiban yang belum tuntas tanpa harus menambah beban baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"BUMN Karya selama ini menjalankan proyek-proyek besar seperti jalan tol, bendungan, hingga proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan tekanan luar biasa, bahkan berdarah-darah. Karena merupakan bagian dari pemerintah, mereka tidak punya pilihan selain menjalankan instruksi," ujar Nirwono saat dihubungi, Selasa, 21 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dengan adanya kebijakan ini, BUMN Karya akhirnya bisa bernapas. Mereka bisa fokus pada restrukturisasi dan menyehatkan keuangan,” kata dia.
Meski jadi kabar baik untuk BUMN, Nirwono mengatakan ada pihak yang mungkin dirugikan dan dibuat pusing dari kebijakan tersebut, yakni pihak swasta. Dia menjelaskan setidaknya ada tiga kendala utama yang akan dihadapi swasta jika mengambil alih proyek infrastruktur. Pertama, proses pembebasan lahan yang selama ini ditangani pemerintah. Dalam proyek era Presiden Joko Widodo, pembebasan lahan dilakukan pemerintah sebelum diserahkan kepada BUMN Karya untuk pelaksanaan. Namun, jika diserahkan ke swasta, mereka harus menangani masalah ini sendiri.
“Kendalanya bukan hanya pada pembebasan lahan, tetapi juga dukungan pemerintah dalam mempercepat administrasi. Selama ini, pemerintah membantu menyelesaikan aspek administratif. Kalau itu hilang, swasta harus bekerja ekstra,” kata dia.
Kedua, durasi proyek infrastruktur yang panjang menjadi tantangan. Swasta harus menghadapi risiko perubahan kebijakan pemerintah dalam siklus lima tahunan. “Misalnya, kontrak jalan tol 20 tahun. Bagaimana jika lima tahun kemudian kebijakan pemerintah berubah? Itu menjadi risiko besar yang harus dihitung swasta,” ujarnya.
Ketiga, kemampuan pembiayaan swasta juga diragukan. Proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah memaksa swasta bergantung pada pinjaman asing. Hal ini menambah beban utang jangka panjang yang belum tentu sesuai dengan pola pendapatan mereka.
Nirwono juga mengkritisi euforia pelaku usaha yang menyambut kebijakan ini. Menurutnya, sambutan tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman atas konsekuensi besar yang akan mereka tanggung. “Kemarin saya lihat banyak yang tepuk tangan, senang karena diberi kesempatan. Padahal, kalau dipikir ulang, ini bukan peluang, tapi beban,” kata Nirwono.
Lebih lanjut, Nirwono juga meragukan minat swasta setelah menyadari ada beban yang begitu besar setelah mereka menerima tawaran pemerintah Prabowo untuk membangun infrastruktur. Dia memberi contoh seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan jalan tol di Sumatera yang hingga kini masih terseok-seok dalam pengerjaannya. “Saya pesimis. Jalan tol Sumatera saja banyak yang terputus. Belum lagi proyek-proyek lain seperti bendungan atau bandara baru. Siapa yang mau ambil risiko itu?” ujarnya.