Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketika Tak Bisa Memilih

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di saat industri tekstil nasional berjaya sebagai primadona ekspor, para buruh inilah yang disebut-sebut para ekonom atau pemerintah sebagai sang pencipta daya saing. Sayangnya, yang dijual sebagai keunggulan adalah upah mereka yang murah, bukan keahlian mereka. Ketika Vietnam dan Cina menawarkan upah yang lebih murah, Indonesia langsung tercecer di belakang. Tak aneh jika banyak perusahaan tekstil di Indonesia yang pindah ke Vietnam atau Myanmar. Sebagian lagi tutup karena tak kuat menanggung upah yang terus meningkat.

Maka cerita hidup pas-pasan yang biasa dilakoni buruh tekstil semakin terdengar menyedihkan. Tengok saja apa yang dialami Iswandi, buruh sebuah pabrik tekstil yang sudah masuk bursa Jakarta. Sejak Juni silam, Iswandi dan sekitar 50 temannya diskors tanpa batas dari pabrik itu gara-gara menolak dirumahkan. Iswandi menolak karena dia melihat perusahaan itu masih kebanjiran order sehingga tak layak memangkas pegawai. Dan lagi, pesangon yang ditawarkan cuma Rp 3,5 juta. "Saya sudah bekerja 20 tahun," katanya.

Maka mengadulah Iswandi dan teman-temannya ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Tapi, sebelum vonis diketuk, mereka sudah harus membayar biaya di muka, yang jumlahnya tidak kecil. Praktis, gaji bulanan sebesar Rp 840 ribu ludes tanpa bekas. Jadilah Iswandi sebagai penjaga kantor sekretariat Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit (SPTSK) Tangerang. Nasib yang lebih apes dialami Suherdi, rekan Iswandi yang ikut diskors. Pria asal Serang ini terpaksa menjadi kuli bangunan untuk menanggung hidup dirinya bersama istri dan dua anak.

Cerita ini bukanlah semata-mata kisah hidup keduanya. Bagi kebanyakan buruh pabrik tekstil, hidup pas-pasan dan malah tekor adalah hal biasa. Asih, buruh Apac Inti Corpora, Semarang, mengisahkan gajinya yang Rp 500 ribu per bulan hanya cukup untuk menutup biaya keseharian dan kontrak "rumah"—tempat kos yang sempit. Bahkan, agar bisa memberikan kado untuk temannya yang menikah pun, Asih mesti membeli gelas kreditan dengan tiga kali bayar. "Untung, masih ada poliklinik di pabrik kalau sakit," katanya.

Sialnya, kehidupan seperti itu tak mungkin dihindari banyak penduduk usia kerja di Indonesia. Kesempatan kerja belakangan ini memang jauh berkurang dibandingkan dengan sebelum krisis. Kini setiap tahun ada tambahan penganggur sekitar 800 ribu orang. Sampai akhir 2003, tingkat pengangguran di Indonesia sudah di atas 10 persen (sekitar 10 juta orang). Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut sampai 2-3 tahun mendatang. Iswandi, Asih, dan jutaan buruh lainnya memang tak bisa memilih.

THW, Sohirin Irin (Semarang), Ayu Sukma, Rana Akbari Fitriawan (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus