Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketika Tim Cacuk Berguguran

Lima belas petinggi BPPN sudah dan akan mundur. Tidak cocok dengan Cacuk Sudarijanto atau ada sebab lain?

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELOMBANG mundurnya para petinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ternyata makin besar. Serombongan pejabat BPPN ini mengikuti jejak Kepala Divisi Public Relations, Christovita Wiloto, dan Deputi Kepala BPPN Bidang Asset Management Credit (AMC), Eko Santoso Budianto, yang sudah lebih dulu mundur. Sampai pekan lalu, sudah ada sembilan orang yang menarik diri dan tak lama lagi akan ada enam pejabat lagi yang pergi. Bisa jadi, deretan yang akan mundur semakin panjang.

Nah, ada apa? Bukankah bekerja di BPPN sangat menjanjikan karena gaji yang tinggi? Untuk pertanyaan itu, ada bermacam-macam alasan. Ada yang mundur karena pindah kerja di tempat lain, seperti Andreas Bunanta (Group Head Loan Work Out and Collection AMC), Mardi Sutanto (Kepala Divisi di Asset Management Investment/AMI), dan Imelda Arismundar (Group Head AMI). Tapi, sumber TEMPO di BPPN mengungkapkan bahwa itu semua hanya alasan formal. ''Sesungguhnya, banyak di antara mereka yang merasa tidak mungkin bekerja sama lagi dengan Cacuk," katanya. Dia menambahkan, banyak kebijakan Cacuk yang justru seperti menggunting keputusan rapat internal BPPN.

Diajukannya contoh dua kasus, yakni restrukturisasi utang Grup Djajanti milik konglomerat Burhan Uray dan restrukturisasi utang kelompok usaha Raja Garuda Mas punya Sukanto Tanoto. Sumber TEMPO itu mengungkapkan, mereka yang terlibat dalam penyelesaian kasus itu dan mundur adalah Eko Budianto, Andreas Bunanta, dan Agustus Sani Nugroho (Kepala Divisi Legal AMC).

Selanjutnya, seperti dikatakan sumber yang sama, ada delapan perusahaan milik Burhan Uray yang tersangkut urusan utang macet di BPPN sebesar Rp 5 triliun, di antaranya PT Artika Optima Inti, PT Nusantara Plywood, dan PT Agoda Rimba Irian. ''Sebagian besar perusahaan itu masuk kategori nonkooperatif," katanya. Kasus ini kemudian diserahkan kepada Divisi Legal untuk ditindaklanjuti. Nah, Divisi Legal kemudian mengusulkan kepada Cacuk agar Djajanti membayar 20 persen, sedangkan Cacuk memotongnya menjadi 19 persen.

Namun, Djajanti tak mau menerima keputusan itu dan hanya bersedia membayar 10 persen. Divisi Legal tak menanggapi dan mengajukan surat peringatan kepada Grup Djajanti. Bahkan, kata sumber TEMPO tadi, ''Divisi Legal sudah mengirim surat paksa kepada Cacuk agar ditandatangani. Surat paksa itu kan keputusannya sama dengan keputusan pengadilan. Tapi sampai kini surat itu masih di meja Cacuk". Tiba-tiba saja salah seorang staf ahli Kepala BPPN yang baru diangkat Cacuk meminta agar Divisi Legal menerima saja permintaan Djajanti itu. Tentu Divisi Legal AMC marah besar. Dan akhirnya, berkat lobi Dirut Djajanti, Soejono Varinata, kelompok usaha ini pun bisa keluar dari jerat hukum BPPN.

Kasus Raja Garuda Mas sedikit berbeda. Ada dua negosiasi yang dilakukan BPPN berkaitan dengan perusahaan tersebut. Negosiasi pertama menyangkut tiga perusahaan yang tergabung dalam Riau Complex dengan total utang US$ 1,3 miliar. Adapun kelompok kedua adalah non-Riau Complex (US$ 59 juta). Semula BPPN menghendaki agar penyelesaian kedua kredit tersebut dilakukan bersama-sama. Sebab, jika terpisah, BPPN yang akan rugi karena tujuh perusahaan yang tergabung dalam non-Riau Complex kondisinya parah. Entah dengan alasan apa, Cacuk kemudian menyetujui restrukturisasi Riau Complex bersama BNI dan Mandiri, dalam bentuk penundaan pembayaran bunga utang US$ 165 juta selama 18 bulan.

Yang membuat tim negosiator BPPN marah adalah penandatanganan kesepakatan tersebut tidak dilakukan di BPPN, melainkan di kantor Bank Mandiri. Padahal, porsi utang Riau Complex di BPPN lumayan besar, yakni sekitar US$ 241 juta (18 persen). Yang lebih menyakitkan, tim negosiator BPPN sudah memberikan disposisi agar BPPN tidak menyetujui penundaan pembayaran bunga. ''Raja Garuda Mas punya banyak aset yang bisa segera dijual untuk melunasi utangnya, salah satunya di Cina," kata sumber TEMPO, geram.

Kedua kasus ini dengan jelas menunjukkan betapa Cacuk lebih memilih jalannya sendiri ketimbang mempertimbangkan hasil rapat internal di BPPN. Meskipun rapat-rapat itu dilakukan ketika Cacuk belum menjadi Kepala BPPN, keputusan tersebut mestinya tetap mengikat. Tapi, Hasyim Wahid, yang pernah menjadi staf ahli Cacuk, mengatakan bahwa cara-cara yang serba cepat harus dilakukan untuk mempercepat proses restrukturisasi utang perusahaan swasta. Cacuk sendiri mengatakan, ''Kita maunya cepat. Kalau ada yang bisa diselesaikan segera, ya, kita percepat."

Tapi, semua itu mestinya tak jadi masalah jika Cacuk mengajak bicara anah buahnya. Yang selama ini terjadi, Cacuk tiba-tiba menyodorkan memo agar suatu kasus segera diselesaikan, tanpa memberi tahu prosesnya. Celakanya, berbarengan dengan berbagai kasus tadi, Cacuk banyak mengangkat staf ahli dan tidak dilakukan secara terbuka. Bahkan, banyak karyawan BPPN yang tidak tahu keberadaan mereka. Beberapa nama di antaranya adalah adik Presiden Abdurrahman Wahid, Hasyim Wahid, yang kini sudah mundur, bekas tokoh Golkar Jawa Barat Tato S. Pradjamanggala, pengusaha Amir Sambodo, dan Laksamana Muda (Purn.) Wibisono.

Menurut beberapa pejabat BPPN, mereka sering kali menyulitkan proses penyelesaian suatu masalah di BPPN. ''Mereka sering mencampuri atau memosisikan diri sebagai perantara antara pejabat BPPN dan Cacuk," kata seorang sumber TEMPO. Bahkan, dalam banyak kasus, Cacuk lebih sering mendengarkan suara mereka ketimbang mengikuti hasil rapat-rapat resmi BPPN. ''Tapi, Anda harus melihat hasilnya. Siapa yang membawa Bambang Trihatmodjo, Hutomo Mandala Putra, atau Tomy Winata ke meja perundingan di BPPN. Berbulan-bulan BPPN tak berhasil membawa mereka ke sini," kata Gus Im—sapaan akrab Hasyim Wahid.

Di luar berbagai ketidakcocokan dan kekisruhan tadi, ternyata ada masalah lain yang membuat sejumlah karyawan BPPN tidak betah. Masalah itu menyangkut kesejahteraan yang dinilai tidak memadai, terutama yang berkaitan dengan tunjangan kesehatan. ''Di meja Anda dilempar kasus Rp 10 triliun yang harus segera diselesaikan. Tapi, ketika sakit, Anda cuma dapat rumah sakit kelas III. Ya, bagaimana bisa tahan," katanya mengeluh.

Ada yang menilai, mundurnya sejumlah petinggi BPPN itu mungkin sekali tidak membawa dampak berarti bagi kinerja BPPN sendiri. ''Apalah artinya lima orang dibandingkan dengan 1.200 karyawan BPPN," kata Kepala Divisi PR BPPN, Danang Kemayan Jati. Hanya, mundurnya tokoh-tokoh kunci dalam penyelesaian utang macet dan juga mereka yang mengurus penjualan aset di BPPN bisa-bisa menyebabkan kinerja BPPN melambat secara drastis. Tak bisa dimungkiri, kinerja BPPN di bawah Cacuk tak jauh beda dengan kinerja BPPN di bawah pimpinan Glenn M.S. Yusuf. Soal penyelesaian utang swasta, misalnya. Dari total utang macet yang diserahkan ke BPPN per 17 Mei 2000 sebesar Rp 265 triliun, yang sudah dibayar baru Rp 700 miliar, sedangkan yang restrukturisasinya selesai Rp 4,8 triliun.

Celakanya lagi, intervensi politik terhadap BPPN tak surut, bahkan di zaman Cacuk. Ada dua kasus yang dengan jelas menunjukkan betapa Cacuk tak bisa menghindari campur tangan pihak luar, yakni kasus restrukturisasi utang Chandra Asri dan Texmaco. Pada kasus Chandra Asri, BPPN malah menyerahkan kasus itu ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang kemudian juga tak mampu menyelesaikannya. Akhirnya, kasus ini diputuskan sendiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

Malangnya, pola penyelesaian yang diambil sama sekali berkebalikan dengan yang diusulkan BPPN. Presiden setuju seluruh utang Chandra Asri ke bank-bank dalam negeri sebesar US$ 300 juta dikonversi menjadi saham, sedangkan utang ke konsorsium Jepang sebesar US$ 700 juta, hanya US$ 100 juta yang dialihkan menjadi saham. Ini sama saja artinya dengan mengoper kewajiban pembayaran utang dari pemegang saham lama Chandra Asri ke pemerintah.

Kasus serupa terjadi di Texmaco. Ketika BPPN sedang melakukan due diligence (uji tuntas) atas utang Grup Texmaco senilai Rp 16,5 triliun, Presiden Abdurrahman Wahid sudah membagi saham antara pemerintah dan pemegang saham lamanya, Marimutu Sinivasan. Pemerintah mendapat 52 persen, sisanya tetap dikuasai Sinivasan. Pembagian ini membawa konsekuensi berat bagi BPPN karena Texmaco masih berutang kepada kreditor asing sebesar US$ 1,5 miliar.

Berbagai soal tadi itulah yang menyulut para petinggi BPPN untuk memilih mundur. Tapi ekonom Umar Juoro melihat gejala mundur itu sebagai hal biasa. ''Jika ada bos baru, pasti ada yang cocok, ada yang tidak. Buktinya, Slamet Sumantri (salah seorang Deputi Kepala BPPN) masih bekerja di sana. Artinya, dia enggak punya masalah dengan Cacuk," katanya. Pandangan yang sama juga dilontarkan ekonom Danareksa, Rino Agung Effendi. ''Kalau BPPN mau membenahi, ya, harus dimulai dari dalam. BPPN jelas butuh tim yang solid. Kalau yang ada merasa tidak cocok, ya, itu biasa," Rino berkomentar dengan datar.

Kepiawaian Cacuk mungkin tidak terletak pada tim, tapi pada daya tembus yang sudah diperagakannya. Hanya, daya tembus itu malah membuahkan kemunduran bagi BPPN. Kasus Djajanti dan Raja Garuda Mas membuktikan hal itu. Andaikata Cacuk masih ingin menyelamatkan uang negara, daya tembus itu mesti diperkuat dengan keuletan bertarung di meja negosiasi. Untuk itu, Cacuk memerlukan tim yang tangguh. Kalau bisa, jauh lebih tangguh dari orang-orang yang baru saja mengundurkan diri itu. Kekalahan dalam empat kasus besar (Chandra Asri, Djajanti, Texmaco, dan Raja Garuda Mas) hendaknya tidak bertambah dengan kekalahan di berbagai kasus lain. Yang dipertaruhkan adalah uang negara dan itu bisa panjang urusannya.

M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Agus S. Riyanto, Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus