Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuntutan Bobdisampaikan lewat Abdul Majid, orang kepercayaannya di PT Nusambamembuat Pertamina naik pitam. Bak dalam permainan poker, call tinggi itu langsung dibanting Ainun Na'im, Direktur Keuangan Pertamina. Ainun balik menawar saham Bob dengan harga nol rupiah. Alasannya, Bob dulu ditengarai bisa berbisnis di TPI karena kedekatannya dengan penguasa Orde Baru. ''Ya, KKN-lah," ujar seorang pejabat Pertamina.
Jurus-jurus korupsi, kolusi, dan nepotisme memang dulu tak terpisahkan dari praktek bisnis TPI. Bersandar pada kekuasaan, TPI memonopoli semua pertanggungan asuransi di lingkungan bisnis Pertamina dan kontraktor asing rekanannya. Tak mengherankan, perusahaan asuransi yang didirikan pada 1981 itu cepat melesat. Dalam tempo hampir 20 tahun, asetnya menggelembung hingga triliunan rupiah. Sebagai perusahaan asuransi migas, nama TPI pun berkibar di seantero Asia Tenggara.
Sejauh yang menyangkut sahamnya di TPI, Bob tampaknya punya kartu truf. Menurut catatan, TPI dulu didirikan dengan modal awal Rp 1,5 miliar. Dari jumlah itu, Bob menyetor Rp 525 juta dengan cek BCA. Artinya, andil TPI yang dimilikinya bukanlah saham kosong. Karena itulah, secara hukum, posisi pengusaha yang dikenal akrab dengan bekas presiden Soeharto itu kuat dan tak tergoyahkan. Pertamina tak bisa membawa-bawa tuduhan KKN, apalagi mengambil saham Bob secara paksa. Kalaupun masih berminat, perusahaan minyak negara ini harus melalui prosedur jual-beli yang biasa.
Namun, dari mana harga Rp 1 triliun itu? Kabarnya, Bob menghitung nilai TPI kini sudah mencapai Rp 3 triliun. Dengan saham 35 persen, keluarlah angka Rp 1 triliun. Tapi nilai setinggi itu diragukan Dirut TPI, Sofian Pulungan. ''Saat ini," ujar Sofian, ''total aset perusahaan hanya Rp 2 triliun." Lagipula, hitung-hitungan harga saham TPI mestinya diambil dari jumlah modal disetor. Nah, jumlah modal TPI yang Rp 1,5 miliar tahun 1981, saat ini telah membengkak menjadi Rp 165 miliar. Dengan demikian, nilai wajar saham Bob di TPI cuma Rp 58 miliar. Jumlah sekitar itu sempat disebut juga oleh Dirut Pertamina, Baihaki Hakim, di DPR.
Dan menurut Ainun, dalam sebuah perundingan, angka itu sebetulnya pernah disetujui Bob Hasan. Namun, ketika hendak ditindaklanjuti, Bob mengajukan persyaratan tambahan: Pertamina diminta sekalian melunasi utang PT Kemgastama, perusahaan tabung gas miliknya yang kini berada di bawah BPPN. Pertamina tentu menolak permintaan yang tak masuk akal itu. Alhasil, perundingan kembali buntu.
Kini tawar-menawar malah semakin alot. Akibat kerewelan Bob, Pertamina terpaksa memasang sikap keras. ''Kami tetap menawar nol rupiah," ujar Ainun. Apalagi, selama di TPI Bob pernah menerima dividen Rp 87 miliar. Jadi, ibarat orang investasi, ''Dia sudah menerima return yang wajar," Ainun menambahkan. Lagipula, berbeda dengan dulu, kesaktian Bob kini sudah memudar. Sebaliknya, hidup mati TPI kini bergantung pada Pertamina. ''Kalau Pertamina tidak menaruh premi di situ," ujar Ainun, "TPI itu tak ada nilainya."
Bila tak juga ada kata putus, Ainun tak menutup kemungkinan menempuh jalur hukum. Tampaknya, ia mengincar celah transaksi penyetoran modal yang dulu dilakukan Bob. Di buku perusahaan memang ada kopi cek BCA, sebagai bukti Bob menyetor modal. Tapi bukti bahwa cek tersebut diuangkan dan disetorkan ke bank belum ditemukan. Nah, bila terbukti ada setoran fiktif, ''Kejaksaan Agung bisa melakukan enforcement," ujarnya.
Lalu mengapa Pertamina bersikeras merangkul TPI? Perusahaan minyak negara itu ternyata punya rencana besar. Mereka ingin segera mencatatkan TPI ke pasar modal, karena dari situ bisa diperoleh dana murah. Tentu saja agar program tersebut bisa terlaksana tanpa ganjalan, urusan saham Bob Hasan harus cepat diselesaikan. Itulah sebabnya Ainun tak sabar, dan mungkin karena itu pula Bob mencoba jual mahal.
Nugroho Dewanto dan Dwi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo