Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lama Adhi termangu. Ia masih setengah tidak percaya, benarkah penelepon tadi Presiden RI Abdurrahman Wahid? Maklum, selama tiga puluh tahun terakhir, baru inilah pertama kalinya seorang presiden langsung memberi instruksi kepada Dirut PLN. Di masa Orde Baru, instruksi, katebelece, atau tekanan biasanya disampaikan lewat pejabat yang levelnya di bawah presiden.
Namun, setelah dicek ulang, Adhi pun dapat memastikan bahwa penelepon yang garang itu sungguh-sungguh Presiden Abdurrahman Wahid. Hanya, ia belum menyadari kontrak apa yang dimaksud sang Presiden. Belakangan baru ia tahu, yang dimaksud adalah kontrak jaringan transmisi listrik tegangan tinggi Klaten-Tasikmalaya yang ditenderkan pada Desember 1998 dan dimenangi PT Bukaka Teknik Utama. Tapi Gus Dur salah menyebut angka. Nilai pembangunan jaringan keseluruhan memang US$ 200 juta. Namun, lot yang dimenangi konsorsium Bukaka-Mega Eltra-Wijaya Karya harganya cuma US$ 75 juta.
Dalam catatan PLN, tender yang dimenangi konsorsium tersebut sebetulnya bersih. Harga yang ditawarkan lebih rendah ketimbang pesaingnya, Hyundai-Marubeni dan ABB-Mitsui, yang menempati posisi kedua dan ketiga. Waktu itu, pemeriksaan PLN dan Irjen Deptamben juga menyatakan Bukaka layak mengerjakan proyek tersebut. Namun, karena telepon Presiden, Adhi tak berani menandatangani kontrak pelaksanaan proyek. Sebagai bawahan, seperti diceritakan orang dekatnya, Adhi memilih patuh kepada perintah atasan.
Terkatung-katungnya kontrak berlanjut sampai Kuntoro Mangkusubroto masuk menggantikan Adhi. Melihat kontrak itu bersih, Kuntoro, seperti Adhi, melayangkan surat kepada Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono. Isinya mengusulkan agar Mentamben segera menandatanganinya. Namun, Yudhoyono menolak. Hal tersebut sempat dipertanyakan Jusuf Kalla, pemilik Bukaka yang waktu itu menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan. ''Gus Dur tetap ngotot, enggak mau," kilah Yudhoyono seperti ditirukan Jusuf.
Di meja Gus Dur, palu rupanya sudah diketuk. Presiden menjatuhkan vonis ada KKN dalam proyek listrik tegangan tinggi tersebut. Akibatnya tragis. Jusuf Kalla harus kehilangan kursinya sebagai Menperindag. Tak berselang lama, kontrak proyek listrik tegangan tinggi itu juga resmi dibatalkan. Hantaman beruntun tersebut membuat pihak Bukaka-Jusuf Kalla meradang. Mereka menganggap tuduhan tersebut tak beralasan. Karenanya, mereka menolak pembatalan kontrak dan menggugat PLN ke PTUN.
Hari-hari berikutnya, masyarakat bisa menyaksikan betapa seru perang pernyataan antara Gus Dur dan Jusuf Kalla. Tapi, tanpa proses peradilan, kasus tersebut tinggal menjadi teka-teki. Masyarakat hanya bisa menebak-nebak siapa yang salah dan siapa yang benar. Sampai akhirnya muncul tulisan menyentak dalam harian terbitan Hong Kong, The Asian Wall Street Journal (AWSJ). Penelusuran AWSJ menunjukkan ada faktor lain yang membuat kontrak Bukaka dibatalkan.
Semua kericuhan pembatalan kontrak Bukaka ternyata berkaitan dengan lobi Asea Brown Boveri (ABB)bekas pesaing Bukakakepada Presiden Abdurrahman. Tangan yang dipakai ABB adalah Harold Jensen, pemilik Industrial Development Corp Amerika yang dikenal sebagai sohib lama Gus Dur. Kabarnya, pengusaha Amerika itu pula yang membiayai dua kali operasi mata Gus Dur di Moran Eye Center, Universitas Utah, Amerika, pada 1998 dan 1999. Di Indonesia, Jensen dulu dikenal punya bisnis perkapalan di Pertamina.
Sebelumnya, Jensen mencoba langsung menemui Dirut PLN Kuntoro Mangku-subroto. Waktu itu ia ditemani Daniel Tay. Pengusaha keturunan Cina berusia 70-an tahun yang juga dikenal sebagai karib Abdurrahman. Daniel sebetulnya baru dua tahun kembali ke Indonesia, setelah puluhan tahun bermukim di luar negeri. Begitu kembali, ia berdagang batu bara kecil-kecilan, sementara seorang anaknya menyuplai suku cadang helikopter milik Angkatan Darat. Nah, mereka berdua minta agar kontrak Bukaka dibatalkan dan ABB diberi kesempatan lagi. Namun, usahanya gagal. Alih-alih setuju, Kuntoro justru marah dan meminta mereka tidak mencampuri urusan pemenang tender.
Gagal mendekati Kuntoro, Jensen meloncat menemui kawan lamanya yang tak lain adalah Abdurrahman Wahid. Bersama Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, mereka bertiga membicarakan kontrak listrik tegangan tinggi tersebut selama 45 menit di Hotel Hilton, Mexico, pada 11 April 2000. Pembicaraan itu mencapai kata mufakat: tender harus diulang. Sampai di sini, terasa ada yang aneh. Bagaimana mungkin seorang pengusaha bisa mendesak dan mempengaruhi presiden dan Menlu dalam urusan tender? Nyatanya memang mungkin, bahkan dalam era pasca-Orde Baru, yang sering disebut era reformasi.
Informasi mendalam dan panjang lebar yang dimuat dalam AWSJ jelas mempersempit ruang gerak Presiden Abdurrahman dan Menteri Alwi Shihab. Lebih dari itu, tudingan KKN Gus Dur kepada Bukaka kini begitu saja berbalik menyerang dirinya sendiri. Tapi, bukan Gus Dur kalau tak lihai berkelit. Ia menyangkal pembatalan kontrak Bukaka lantaran permintaan Jensen. Ia juga tak lagi menyebut KKN sebagai alasan menyetop Bukaka. ''Bukaka pernah tak melaksanakan tender," ujarnya kepada wartawan di Mesir. Kecurigaan atas pertemuan Hotel Hilton juga ditepis Menteri Alwi Shihab. Menurut dia, dalam pertemuan tersebut Jensen hanya memberi informasi mengapa Bukaka harus didiskualifikasi. ''Ia memberi masukan sebagai kawan dekat," ujar Alwi.
Namun, tuduhan Gus Dur lagi-lagi meleset. Bukaka menunjukkan bukti bahwa mereka tak pernah menelantarkan proyek. ''Ada enam proyek listrik tegangan tinggi PLN yang kami menangi," ujar Dirut Bukaka, Ahmad Kalla, ''Semua sudah dikerjakan." Alasan bahwa tender ulang merupakan permintaan pihak Japan Bank of International Cooperation (JBIC) sebagai penyandang dana juga dinilai sebagai suatu kebohongan. Ahmad memperlihatkan bukti JBIC tidak meminta tender ulang. ''Mereka," ujarnya, ''hanya menyetujui usulan yang diajukan PLN."
Belakangan, Irjen Deptamben, yang pernah menyatakan tender Bukaka bersih, mengajukan alasan lain. Kali ini kelemahan Bukaka yang dibidik adalah karena tidak pernah menyerahkan Standard Operation Certificate atawa SOC. Bukaka, menurut Irjen Deptamben Muzani Syukur, hanya pernah menyerahkan Take-over Operation Certificate atau TOC. Karena itu, ''Kemenangan tender Bukaka dahulu itu salah prosedur," kata Muzani.
Alasan itu dianggap Ahmad Kalla mengada-ada. Pasalnya, SOC biasanya hanya diperuntukkan bagi kontraktor asing. Jadi, meminta Bukaka menyerahkan SOC merupakan ''hil yang mustahal". ''Mereka minta sesuatu," ujar Ahmad geram, ''yang mereka tahu tak dimiliki Bukaka." Ia sendiri merasa hanya berkewajiban memenuhi persyaratan seperti tertera dalam buku tender. Soal kelayakan? PLN menurut dia memiliki bukti-bukti bahwa Bukaka layak mengerjakan proyek semacam itu.
Lelah dituduh tanpa bukti, akhirnya Bukaka menyerang balik. Ahmad mengaku tidak terlalu heran dengan lobi Jensen untuk memenangkan ABB. ''Sejak awal," ujarnya, ''tender proyek tersebut memang sudah dipenuhi lobi-lobi kelas tinggi." Dulu, Gus Dur juga pernah didekati seorang broker Jepang bernama Koike yang membawa katebelece dari seorang anggota parlemen Jepang. Intinya, ia minta agar pemerintah Indonesia memenangkan Marubeni. Tapi, belakangan Koike terpental karena komisi yang dimintanya dinilai terlalu tinggi oleh Marubeni.
Semua lobi itu, menurut Ahmad, ujung-ujungnya memang tak jauh dari urusan fulus. Soalnya, ia sendiri mengaku pernah ''ditekan" memberi uang pelicin agar kontraknya mulus. Tapi, ia menolak memberi ''uang damai" sebesar US$ 1,5 juta yang diminta oleh calo itu. Siapa calo itu? ''Dia orang Istana yang dekat dengan Gus Dur," ujarnya.
Kalau begitu, tampaknya pengadilan harus cepat digelar. Mudah-mudahan di sana bisa diketahui, dari mana aroma busuk KKN itu merebak.
Nugroho Dewanto, Tomi Lebang, Purwani Dyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo