Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, tim Suryo berubah menjadi Tim Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Targetnya: perubahan status Batam dari kawasan berikat menjadi kawasan perdagangan bebas (free trade area). Tim yang beranggotakan semua lapisan masyarakat ini sedang mengadakan penelitian tentang peluang Batam menjadi kawasan perdagangan bebas. "Sebelum Agustus, kajian itu akan selesai dan bisa langsung dibahas di DPR," kata Suryo.
Masyarakat Batam mengemukakan sejumlah argumen bahwa pengenaan pajak hanya membuat investor lari. "Sudah ada tiga investor yang meninggalkan Batam: satu Singapura, yang dua ke Riau daratan," kata Asman Abnur, Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Batam. Lobi mereka ke DPR juga rapi. Pekan lalu, PT Pengusahaan Industri Pulau Batam diterima oleh Komisi V DPR-RI. Keluhan mereka, antara lain, pengusaha akan kehilangan 45 persen pelanggan jika pajak diterapkan di Batam.
Namun, sejauh yang menyangkut status Batam, pemerintah tampaknya tak akan mengubah kebijakan. Direktur Jenderal Pajak Machfud Sidik mengatakan bahwa pemerintah sudah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) yang akan mengatur penerapan PPN dan PPn-BM di Batam per Januari 2001. "Tinggal menunggu tanda tangan Presiden Abdurrahman Wahid," katanya. Ini berarti Batam akan dikembalikan ke status semula sebagai kawasan berikat. Implikasinya, barang impor dan barang konsumsi akan dikenai PPN dan juga PPn-BM. "Sekarang kan seolah-olah Batam itu bukan wilayah perpajakan di Indonesia," ujarnya.
Praktek bebas pajak yang selama ini terjadi di Batam, tampaknya, tidak akan ditolerir lagi. Perlakuan istimewa inimembedakan Batam dengan semua wilayah lain di Indonesiatelah membiakkan penyelundupan. Dengan selisih harga 25-35 persen akibat bebas pajak, penyelundup berpeluang membawa barang-barang dari Batam ke Riau daratan, Medan, atau bahkan Jakarta. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) menghitung, dalam setahun, penerimaan negara yang hilang akibat pembebasan pajak ini mencapai Rp 350 miliar.
Selain penyelundup, pihak yang diuntungkan gara-gara Batam bebas pajak adalah Singapura. Menurut Asman Abnur, sekitar 80 persen barang impor yang masuk Batam berasal dari Singapura, sedangkan sisanya dari Malaysia dan Jepang. Dari pengamatan TEMPO yang dilakukan di Batam, bisa dipastikan betapa barang-barang Singapura membanjir masuk ke pulau itu. Kesibukan bongkar barang di Pelabuhan Sekupang, Batuampar, dan dua pelabuhan lainnya tak pernah mengendur. Begitu pula di Bandara Hang Nadim. Kontainer demi kontainer dibongkar. Isinya aneka rupa: parfum, barang elektronik, dan mobil bekas.
Padahal, sejak krisis melanda, akhir 1997, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 14 persen, sementara Batam mencatat pertumbuhan 1,7 persen (1998). Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Batam sebelum krisis, yang mencapai 15 persen, Batam pascakrisis memang payah. Omzet perdagangan di pulau ini terpangkas sampai 50 persen.
Kelesuan itu terlihat nyata di pusat-pusat perdagangan elektronik di Nagoya dan Marina. Biasanya, di kedua pusat bisnis itu, mobil diparkir berderet-deret. Sekarang, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kalaupun ada pembeli datang, mereka lebih banyak melihat ketimbang membeli barang merek Sony, Panasonic, atau Aiwa. "Omzet perdagangan elektronik jatuh sampai separuhnya. Sekarang bisa mendapat Rp 10 juta sehari sudah bagus," kata Pedro, Manajer Toko Batam Elektronik, yang cukup besar, di Nagoya, Batam.
Kalau animo kurang, mengapa barang terus membanjir? Mudah saja, barang-barang yang tiap hari dikeluarkan dari puluhan kontainer cuma singgah di Batam untuk kemudian "diekspor" ke daerah lain. Seorang pejabat mengakui, penyelundupan barang di Batam bukanlah hal yang sulit. Sebagai wilayah kepulauan, terlalu banyak jalan keluar dari Batam. "Celakanya, penyelundupan ini seperti dilegalkan karena aparat keamanan membiarkannya," ujarnya kesal. Pemerintah tentu saja dirugikan karena barang yang mestinya dikenai pajak lolos begitu saja. Sementara itu, pengusaha elektronik Indonesia menjerit karena nyaris mustahil bersaing dengan produk eks Batam.
Agaknya, itulah yang membuat pemerintahan Gus Dur bertekad mengakhiri kondisi tersebut. Sebetulnya, upaya memajaki Batam sudah dilakukan sejak zaman Soeharto. Pada Maret 1998, pemerintah menerbitkan PP No. 39/1998 tentang pemberlakuan pajak di Batam. Entah mengapa, peraturan itu tak segera diterapkan. Ketika Habibie menjadi presiden, peraturan itu juga tak dilaksanakan. Barulah di bawah Abrurrahman Wahid, PPN dan PPn-BM akan diterapkan per 1 April lalu.
Namun, upaya mengibarkan panji-panji perpajakan ini ditentang habis-habisan oleh masyarakat Batam. Mereka all-out, dari buruh sampai pengusaha, dari swasta sampai birokrat. Demonstrasi dan pemogokan dilakukan di mana-mana, bahkan sampai jatuh korban. Pemerintah akhirnya menerima penolakan itu dan menunda pengembalian status Batam sebagai kawasan berikat sampai akhir tahun ini. Kabarnya, penundaan itu dilakukan berkat kuatnya lobi Singapura di Jakarta belakangan ini. Ketika Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong ke Jakarta, Januari lalu, ia bahkan meminta agar Batam, Bintan, dan Karimun dijadikan kawasan perdagangan bebas.
Ketua Otorita Batam, Ismeth Abdullah, tampaknya berdiri di belakang masyarakat Batam. Alasannya, dengan posisi bebas pajak, Batam memiliki daya tarik yang besar bagi investor asing. Menurut Ismeth, di Batam sekarang sudah ada ratusan perusahaan dan 417 di antaranya milik asing. Kehadiran mereka otomatis meningkatkan penerimaan pajak dan tentu saja membuka lapangan kerja yang banyak. Tahun lalu, pajak yang disetor Batam ke pemerintah pusat mencapai Rp 900 miliar, sementara duit yang dikirim ke luar Batam diperkirakan Rp 250-300 miliar setahun. "Dalam empat tahun ke depan, penerimaan pajak bisa digenjot sampai Rp 3 triliun," katanya.
Bisa dimaklumi mengapa ketua otorita itu tak menyalahkan masyarakat yang menginginkan Batam dan sekitarnya menjadi kawasan perdagangan bebas. "Kalau Sabang saja bisa dijadikan kawasan perdagangan bebas, mengapa Batam tidak? Apalagi, alasan untuk Sabang jelas bernuansa politis, sementara Batam secara ekonomis sudah menunjukkan keunggulannya," ujar Ismeth. Dukungan untuk masyarakat Batam juga datang dari Ketua Komisi V DPR-RI, Bachtiar Chamsyah. "Pemerintah jangan terlalu cepat menerapkan pajak di sana. Harus dikaji lebih dulu. Kalau pemerintah ngotot menerapkannya, bisa-bisa mematikan investasi di sana dan pendapatan pemerintah dari Batam malah berkurang," kata Bachtiar.
Jadi, adakah jalan tengah? Apakah pemerintah harus adil dulumenyamakan Batam dengan daerah lain dalam arti tak bebas pajakdan makmur soal belakangan? Dalam kajiannya, LPEM FEUI menyodorkan berbagai kemungkinan. Jika kawasan perdagangan bebas diterapkan di Batam, memang akan ada akselerasi di berbagai bidang, seperti investasi, penyerapan tenaga kerja, sampai upah. Tapi ada sisi negatif yang patut diwaspadai, yakni gap antara Batam dan wilayah lain di Riau, yang bisa menimbulkan masalah dan kecemburuan sosial dan regional. "Batam juga dapat menjadi pengalihan industri yang polutan dan sunset (tak punya prospek di masa depan) dari Singapura," demikian kajian LPEM FEUI.
Kekhawatiran tentang gap mungkin agak berlebihan. Kalau mau jujur, mengapa Jakarta yang menjadi tumpuan 80 persen dari volume uang beredar di Indonesia tidak dianggap sebagai biang dari segala kesenjangan? Tentu, Jakarta tidak bebas pajak, tapi yang namanya gap kan tidak semata-mata terkait dengan pajak? Lagi pula, dari segi penghasilan, Batam bukan apa-apa dibandingkan dengan Riau daratan yang sungguh kaya-raya (minyak bumi, kelapa sawit, dan mineral lainnya). Justru sukses Batam diharapkan dapat mengangkat kemakmuran penduduk di pulau-pulau sekitarnya. Dalam hal ini, Jembatan Balerangmenghubungkan Batam dengan dua pulau lainnyadapat berperan optimal.
Bahwa Batam menampung barang-barang eks Singapura, agaknya ini bukan masalah pajak, tapi lebih merupakan soal pemberantasan penyelundupan. LPEM FEUI agaknya perlu juga memantau data tentang aktivitas Bea Cukai dan Angkatan Laut RI di kawasan itu. Singkat kata, kasus Batam tak akan selesai hanya dengan mengatasinya lewat sisi pajak. Dan pemerintah sebaiknya hati-hati karena investasi yang dibenamkan di sini sudah telanjur besar. Berbagai fasilitas modern di pulau itu akan idle apabila terjadi perubahan mendadak seperti yang diusulkan LPEM FEUI itu.
Memang, kalau mau konsisten, Batam dikembalikan saja menjadi kawasan berikat, tapi persiapannya harus matang. Tengoklah Singapura, yang diam-diam memantapkan diri menjadi pusat hi-tech di Asia Tenggara, lewat kerja sama dengan Amerika Serikat. Batam semestinya juga mampu, misalnya dengan memproduksi apa yang diperlukan Singapura, atau langsung memosisikan diri sebagai penghasil barang-barang yang tidak diproduksi oleh Singapura ataupun Malaysia. Singkat kata, jauhi hi-tech dan elektronik.
M. Taufiqurohman, Setiyardi, Hani Pudjiarti, Dwi Arjanto (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo