Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ketika Wartawan Berlagak Pialang

Dewan Pers menilai wartawan peliput bursa saham melanggar kode etik jika terlibat jual-beli saham. Kasus saham Krakatau Steel menguak praktek tercela yang sudah begitu lama terjadi di bursa.

29 November 2010 | 00.00 WIB

Ketika Wartawan Berlagak Pialang
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

RUANG rapat di lantai tujuh gedung Dewan Pers di kawasan Kebon Sirih, Jakarta, yang berpenyejuk udara itu terasa lebih panas pada Rabu pekan lalu. Kasus yang dibahas Dewan Pers hari itu memang membuat banyak orang gerah: tuduhan pembelian tak wajar saham perdana Krakatau Steel oleh sejumlah wartawan yang meliput Bursa Efek Indonesia.

Reinhard Nainggolan, wartawan harian Kompas yang dianggap banyak mengetahui urusan ini, duduk berhadapan dengan Henny Lestari, Direktur Utama Kitacomm, yang melaporkan kasus ini ke Dewan Pers, dalam jarak hanya tiga meter. Dewan Pers siang itu memperhadapkan pelapor dan wartawan yang dilaporkan perkara pembelian saham ”abnormal” 1.500 lot dengan nilai lebih dari Rp 600 juta ini. Rei—begitu nama Reinhard biasa disingkat—hari itu didampingi Redaktur Pelaksana Budiman Tanuredjo dan wartawan senior Ninok Leksono.

Kitacomm adalah perusahaan yang disewa Krakatau Steel untuk menangani kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat menjelang penawaran saham perdana (initial public offering, IPO) perusahaan baja milik negara itu pada 10 November lalu. Tugas Kitacomm antara lain memonitor tulisan-tulisan media menjelang IPO, termasuk oleh wartawan yang biasa ”mangkal” di Bursa. Menjelang IPO, sejumlah media meramaikan harga saham Krakatau yang dianggap terlalu murah, juga tuduhan bahwa partai politik ikut kebagian jatah saham.

Sebagai ujung tombak yang berhubungan dengan wartawan, Henny pun berkomunikasi intensif dengan para pemburu berita. Usahanya tak banyak membuahkan hasil. Malah muncul masalah baru, dia ditekan wartawan untuk memberikan jatah saham Krakatau. Menurut sumber Tempo di media yang wartawannya mangkal di Bursa, terjadi percakapan lewat BlackBerry antara Reinhard dan Henny—yang bila dicetak panjangnya empat lembar kertas fotokopi. Di situ jelas ada permintaan jatah membeli 1.500 lot saham Krakatau—satu lot sama dengan 500 lembar. Merasa terdesak lantaran penjatahan saham bukan wilayah kerjanya, bos Kitacomm ini melapor ke Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen, dua pekan lalu.

Ketika Tempo menanyakan hasil pertemuan dengan Dewan Pers dan Henny Lestari, Reinhard mengatakan, ”Aku mengajukan 15 pertanyaan dan minta laporan resmi bermeterai Henny ke Dewan Pers.” Rei juga minta Dewan Pers mengumumkan laporan tertulis pelapor. Sedangkan Henny, karena merasa beberapa pertanyaan Rei tak relevan dengan urusan Krakatau, misalnya tentang jumlah kartu kreditnya, meninggalkan ruang rapat sebelum acara berakhir. Kepada wartawan, Henny berkata singkat, ”Aku sudah menjelaskan semuanya ke Dewan Pers. Semua sudah begitu jelas.”

Sepanjang pekan lalu Dewan Pers mengundang sejumlah pihak yang dianggap mengetahui dan berkaitan dengan tekanan wartawan dalam pembelian saham ini. Dewan mengundang Pemimpin Redaksi Detik.com dan Metro TV, serta direksi Mandiri Sekuritas—perusahaan yang menjadi penjamin atau underwriter Krakatau Steel.

Direktur Pemberitaan Metro TV Suryopratomo berjanji memecat wartawannya bila terbukti terlibat jual-beli saham. ”Policy kami tegas,” ujarnya. Wartawan Metro TV yang disebut-sebut terlibat sudah dipanggil dan dimintai keterangan tertulis. ”Hasilnya, wartawan Metro TV tidak terlibat pemerasan, juga tidak terlibat dalam jual-beli saham Krakatau Steel,” katanya. Tapi Suryopratomo memastikan pihaknya akan menunggu hasil penyelidikan Dewan Pers.

Pemimpin Redaksi Harian Kompas Rikard Bagun menjelaskan bahwa ia telah melakukan klarifikasi terhadap Reinhard. ”Dia mengatakan tidak mendapatkan dan tidak ikut dalam proses jual-beli itu. Dia sebelumnya memang membeli, tapi melalui prosedur normal,” tutur Rikard. Adapun tentang kabar bahwa dirinya dibebastugaskan untuk sementara waktu, Reinhard, yang baru beberapa tahun bertugas di Jakarta, hanya menjawab pendek, ”Itu urusan internal kami.”

Jadi, benarkah Rei tak ikut bermain dan membeli saham Krakatau? Kisah Indro Bagus Satrio sedikit-banyak bisa menguak ”misteri” ini. Indro, wartawan Detik.com yang mengundurkan diri setelah kasus ini diperiksa para petinggi Detik.com, mengaku pada akhir Oktober berniat membeli 200 lot saham Krakatau Steel secara pribadi. Wartawan yang sudah tiga tahun meliput di Bursa Efek Indonesia ini pun mulai mencari tahu pihak mana saja yang bisa membantu.

Indro mengontak Mandiri Sekuritas—salah satu penjamin emisi—tapi tak membuahkan hasil. Kemudian Indro menghubungi seorang senior di bursa, Komarudin Muchtar atau biasa dipanggil Komar. Mantan fotografer harian Neraca, yang keluar pada 2003, itu berjanji mencarikan kenalan yang bisa membantu. ”Komar memang termasuk paling senior di bursa dan punya banyak link. Kami menyebutnya Bang Komar,” kata Indro, yang di akun jejaring sosialnya menulis: ”Saya adalah wartawan yang berdagang saham.”

Selain itu, Indro terus menghubungi Mandiri Sekuritas dan juga Kitacomm. Reinhard pernah minta Indro tak menghubungi pihak-pihak tadi. Tapi sebuah sumber menjelaskan Rei juga membuka jalur dengan Mandiri Sekuritas dan Kitacomm. Tentu saja ia menjelaskan bahwa saham itu bukan untuk dirinya seorang, tapi untuk sekelompok wartawan bursa. Agaknya karena ”lobi” intensif inilah akhirnya Mandiri Sekuritas bersedia memberikan jatah 1.500 lot—walaupun ketika itu proses book building untuk menentukan pembeli saham sudah ditutup. Para wartawan ini juga menikmati privilese berkat identitas wartawannya, yakni tak perlu ikut antre seperti pemain kecil saham yang lain.

Menurut cerita Indro, Rei mengaku hanya mendapat jatah saham 1.000 lot. Ke mana yang 500 lot? ”Itu urusanku,” ujar Rei, seperti ditirukan Indro. Itulah yang memicu perselisihan di antara keduanya. Puncaknya, saat akan menghadiri acara Bank Indonesia, di Bandara Ngurah Rai, Bali, mereka nyaris saling lempar BlackBerry. Toh, pertentangan ini tak berlanjut. Sumber Tempo memang menyatakan bahwa grup wartawan itu hanya kebagian 1.150 lot.

Jatah itu diberikan oleh Mandiri Sekuritas. Di depan Dewan Pers, Mandiri Sekuritas jelas menyatakan bahwa janji saham itu sudah dilaksanakan. Artinya, jatah saham itu benar-benar dibeli wartawan lewat ”pintu belakang”. ”Mandiri Sekuritas mengatakan telah membuka sebuah akun untuk membeli saham tersebut atas nama satu orang,” kata anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho, kepada wartawan. Keterangan ini memperkuat keterangan Sekretaris Perusahaan Krakatau Steel Wawan Hermawan bahwa ia pernah ditelepon wartawan yang bertanya apakah ia bisa membantu membeli saham Krakatau Steel.

Wartawan bursa ikut bermain saham memang bukan hal baru. Bahkan pada 1999 sempat terjadi keributan karena ada wartawan yang mengklaim mewakili juru berita meminta hak khusus membeli saham yang akan diluncurkan. ”Ini memang seperti lingkaran mafia, wartawan masuk lingkaran itu,” ujar sumber Tempo yang dulu pernah memprotes praktek wartawan membeli saham. Menurut sumber ini, 99 persen saham dalam penawaran perdana menguntungkan. ”Jurnalis biasanya mendapat dana dari pihak lain,” ujarnya.

Ada istilah pooling, yaitu seorang wartawan bursa bertindak sebagai koordinator dengan menawarkan kepada rekan-rekan seprofesi yang berminat membeli saham. Setelah terkumpul, koordinator itu menghubungi perusahaan penjamin atau pihak lain yang biasa berhubungan dengan juru warta. ”Mereka menganggap wajar, toh mereka bukan meminta jatah, tapi membeli,” kata seorang jurnalis bursa.  

Komarudin Muchtar, mantan fotografer Neraca, juga menganggap wartawan bursa membeli saham tak jadi masalah asalkan melalui prosedur resmi. Mantan wartawan yang berusia 40 tahun itu mengaku sudah 13 tahun bermain saham. ”Saya sudah mengalami jatuh-bangun di lantai bursa,” ujar Komar, yang memulai ”karier” sebagai pialang ketika ia masih bekerja di harian Neraca.

Pada 2007, misalnya, Komar membeli saham Wijaya Karya dan Jasa Marga. Ia juga memegang saham Aneka Tambang dan Bukit Asam. Komar mengakui pernah menikmati kenaikan portofolionya dari Rp 50 juta menjadi Rp 250 juta dalam jangka kurang dari setahun. ”Tapi, sewaktu krisis pada 2008, saya menjual mobil dan dua rumah untuk menambah modal,” katanya.

Untuk memantau pergerakan saham, Komar selalu online dengan Bursa Efek. Sampai sekarang hampir setiap hari ia datang ke ruang pers pasar saham itu. ”Sekadar berbagi informasi dengan rekan-rekan wartawan,” katanya. Sesekali ia juga mewawancarai praktisi bursa dan mengunggah tulisan ke situs yang ia buat bersama beberapa temannya. ”Kami menyajikan informasi untuk masyarakat tentang bursa,” ujar sarjana komunikasi ini.

Ikut bermain saham Krakatau Steel? Komar mengaku tidak memiliki saham pabrik baja itu. ”Tidak. Bagi saya KS tidak menarik,” ujarnya. Menurut Komar, kinerja perusahaan itu tidak menjanjikan, dan produksi bajanya kalah bersaing dengan buatan Cina. Ihwal namanya yang disebut-sebut membantu wartawan untuk membeli saham Krakatau Steel, Komar hanya menjawab: ”No comment. Suasananya lagi enggak enak,” katanya.

Komar membenarkan kerap terjadi penawaran saham kepada wartawan. ”Tujuannya agar wartawan membuat berita baik,” ujarnya. Namun, menurut dia, naik-turunnya harga saham di bursa bukan dipengaruhi pemberitaan media, melainkan rumor. Dewan Pers pekan depan berencana mengundang Komar untuk menjelaskan urusan saham Krakatau Steel ini.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan kepada Ririn Agustia dari Tempo menegaskan seorang jurnalis tidak boleh menggunakan status yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. ”Itu tidak etis. Selain itu, bisa timbul masalah hukum karena mereka bisa dianggap bagian internal pasar saham dan dianggap insider trading,” kata Bagir, Kamis pekan lalu.

Pekan depan Dewan Pers akan meneruskan pemeriksaan kasus ini dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Demi menyelamatkan reputasi, sumber Tempo berharap sebaiknya media segera menindak wartawannya yang terlibat, seperti yang dilakukan Detik.com. Membiarkan wartawan melanggar etika, menekan sumber berita, memanfaatkan profesi untuk keuntungan pribadi hanya akan meruntuhkan kredibilitas yang sudah susah payah dibangun.

Ahmad Taufik, Adek Media Roza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus