Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Gerakan antipolitikus</font><br />Aksi Menangkal Si Busuk

Gerakan antipolitikus bermasalah dilakukan dengan cara lunak. Gagal pada Pemilihan Umum 2004.

2 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan-pekan ini para pengurus partai politik akan sangat sibuk. Mereka menyusun daftar calon anggota badan legislatif untuk pemilihan umum April tahun depan. Di kutub lain, para aktivis antikorupsi pun tak kalah repot. Mereka riweh menyiapkan strategi membendung politikus bermasalah.

Dengan bendera Gerakan Nasional Antipolitikus Busuk, deklarasi dilakukan di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu dua pekan lalu. Gerakan ini didukung 12 organisasi nonpemerintah tingkat nasional dan 20 tingkat daerah. Tujuannya menyadarkan pemilih agar tidak mendukung politikus yang dianggap tak beres.

Menurut seorang aktivisnya, Adnan Topo Husodo, gerakan kali ini berbeda dengan kampanye serupa menjelang Pemilihan Umum 2004. Mereka tak akan menyebarkan daftar politikus bermasalah. Dulu mereka menerbitkan 50 ribu eksemplar Sosok, tabloid khusus empat halaman. ”Kali ini lebih menampilkan track record para calon yang bermasalah,” katanya.

Cara itu ditempuh agar tidak membuahkan somasi dari mereka yang masuk daftar. Lima kriteria politikus bermasalah ditetapkan: terlibat korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, pencemaran lingkungan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pemakaian obat-obatan terlarang. Datanya diambil dari media massa dan sumber resmi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, polisi, pengadilan, notulen rapat parlemen, dan audit Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan masyarakat akan dipakai jika dilampiri data yang kuat. Kotak pengaduan publik pun akan dibuka.

Fokus pendataan akan dilakukan kepada anggota Dewan yang mencalonkan diri kembali. Terutama politikus dari tujuh partai terbesar: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Mereka yang masuk ”nomor topi” alias lima teratas daftar urut lebih diawasi. ”Sekitar 60-70 persen anggota Dewan saat ini diperkirakan akan mencalonkan diri lagi,” kata Adnan.

Beberapa anggota Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga menerima suap dari sejumlah pemerintah daerah, menurut Ibrahim Fahmi Badoh, aktivis lainnya, besar kemungkinan akan masuk daftar. Begitu juga anggota Dewan yang dituduh menerima aliran dana Bank Indonesia serta duit Departemen Kelautan dan Perikanan.

Para aktivis gerakan ini bukannya tanpa risiko. Pada 2004, sejumlah aktivis terancam keselamatannya. Unang Shio Peking, aktivis dari Yogyakarta, mengisahkan, rumahnya di Bantul disambangi orang-orang berseragam satuan tugas partai politik pada malam hari. ”Mereka minta nama politikus tertentu dicabut dari daftar,” kata Ketua Forum Lembaga Swadaya Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Rumah seorang aktivis di Ciamis, Jawa Barat, juga dikepung massa pendukung seorang politikus lokal yang dimasukkan ke daftar tercela. Sang aktivis harus menyelamatkan diri ke Jakarta. ”Dia menginap di kantor Imparsial,” kata Otto Pratama, manajer bank data organisasi itu.

Sudah banyak risikonya, usaha aktivis gerakan itu empat tahun lalu ternyata gagal. Hampir semua politikus pusat dan daerah yang dimuat di tabloid Sosok, menurut Fahmi Badoh, justru terpilih. Mereka yang tak terpilih pun lebih karena kalah bersaing dengan calon lain—bukan karena masuk daftar politikus busuk.

Parahnya, belakangan terbukti ada yang benar-benar terjerat kasus hukum. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Timur berinisial CF, menurut Sukamto, aktivis gerakan dari Kalimantan Timur, terlibat perkara dan divonis penjara. Di Yogyakarta, menurut Unang, seorang politikus yang masuk daftar belakangan terlibat korupsi lagi dan divonis dua tahun penjara. Padahal dulu politikus itu melaporkan para aktivis gerakan ini ke polisi.

Budi Riza, Gabriel Wahyu Titiyoga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus