Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Risiko Baru Saat Pemulihan Mulai Tampak

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
ilustrasi: Tempo/Rudy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI dunia sedang menggeliat bangun setelah jatuh sakit gara-gara pandemi. Di Amerika Serikat, vaksinasi yang bergulir sangat cepat mulai menggairahkan ekonomi. Belanja retail melonjak. Ekonomi Cina di kuartal pertama 2021 bahkan tumbuh luar biasa, 18,3 persen secara tahunan. Di Indonesia, statistik pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021 baru akan terbit bulan depan. Namun selarik gambaran positif sudah terlihat pada statistik neraca perdagangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada berkah bagi Indonesia akibat begitu lajunya pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Permintaan berbagai komoditas melonjak, harganya pun naik. Walhasil, nilai ekspor Indonesia selama Maret 2021 mencapai US$ 18,35 miliar. Ada lonjakan 30,47 persen dibanding pada bulan yang sama tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk Indonesia, yang lebih menggambarkan pulihnya aktivitas ekonomi justru angka impor. Industri manufaktur di sini pada umumnya masih memakai bahan baku dari luar negeri. Maka melonjaknya impor selama Maret 2021 menjadi US$ 16,79 miliar—naik 25,73 persen dibanding pada Maret tahun lalu—mencerminkan peningkatan aktivitas yang cukup signifikan di sektor industri.

Kendati situasi mulai membaik, ada gelagat berlawanan yang tengah terjadi di pasar. Dana investasi asing yang masuk melalui pasar finansial malah berbalik keluar. Sejak awal Februari hingga 14 April lalu, dana asing yang tadinya nyaman bersemayam di berbagai surat utang terbitan pemerintah RI mendadak hengkang. Sekitar Rp 32 triliun jumlahnya.

Daya tarik obligasi terbitan pemerintah sebagai tujuan investasi asing mulai merosot. Salah satu penyebabnya adalah defisit anggaran pemerintah yang begitu besar sehingga Bank Indonesia harus menanggung sebagian beban. BI membeli obligasi langsung dari pemerintah untuk menutup defisit itu. Dengan kata lain, BI mencetak uang untuk membayar tekornya anggaran pemerintah.

Bagi investor asing, kebijakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama mengenai kredibilitas. Ada risiko nilai rupiah merosot jika kebijakan ini terus berlanjut. Adapun jika melihat anggaran tahun ini yang masih akan mengalami defisit hingga Rp 1.006 triliun, pemerintah tampaknya tetap harus bergantung pada mesin cetak uang di BI untuk menutup sebagian lubang defisit yang menganga selebar itu.

Seolah-olah itu belum cukup, ada pula perkembangan baru yang dapat memicu berbaliknya dana asing keluar dari Indonesia. Pada Rabu, 14 April lalu, Ketua The Federal Reserve Jerome Powell menyampaikan satu isyarat bagi pasar. Sinyal kali ini bukan tentang suku bunga, yang diperkirakan tetap bertahan di kisaran nol persen hingga 2023 karena realisasi inflasi dan tingkat pengangguran di Amerika Serikat masih amat jauh dari target The Fed. Kali ini Powell memberi peringatan tentang kelanjutan program The Fed menyuntikkan likuiditas ke pasar keuangan.

Selama ini, selain menahan suku bunga nyaris nol persen, The Fed menolong pasar finansial dengan membeli berbagai aset, terutama obligasi terbitan pemerintah Amerika. Ringkasnya, The Fed terus mencetak dolar Amerika dan memompakannya ke pasar agar tetap berdenyut. Karena aksi The Fed ini, harga berbagai aset finansial tetap melonjak. Uang melimpah kendati ekonomi secara riil terpuruk karena pandemi menggebuk.

Pada Rabu itu, Powell menyatakan The Fed akan mulai melakukan tapering—mengurangi pembelian aset—jauh hari sebelum suku bunga naik. Artinya, tapering bisa dimulai kapan saja dalam tempo dekat. Semenjak pandemi meledak, The Fed menyuntikkan likuiditas US$ 80 miliar sebulan. Jika arus suntikan likuiditas ini mulai berkurang, pasar finansial bisa bergejolak. Pengalaman sebelumnya menunjukkan pasar negara berkembanglah yang paling terpukul. Ketika likuiditas di pasar mulai menyurut, dana investasi bergerak keluar dari negara berkembang kembali ke Amerika.

Seperti biasa, pasar sudah bergerak kendati kebijakan tapering itu baru berupa aba-aba. Nilai rupiah yang sudah melemah sejak Februari lalu melorot makin dalam ke kisaran 14.600 per dolar Amerika. Tekanan ini bakal makin kuat ketika The Fed benar-benar mulai mengurangi laju mesin cetak uangnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus