Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kalau Tidak Bayar, Kami Kejar

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. mengancam para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, termasuk Sjamsul Nursalim, dengan hukuman badan (gijzeling) jika tak membayar utang BLBI. Bisa juga dijerat pidana.

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mahfud Md., di Jakarta, 3 Juni 2018. [TEMPO/STR/M Taufan Rengganis]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden membentuk Satgas BLBI merespons SP3 KPK untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.

  • Satgas akan menagih Sjamsul Nursalim atas kucuran dana BLBI di Bank Dewaruci dan BDNI.

  • Jumlah tagihan para obligor BLBI mencapai Rp 110 triliun.

PEMERINTAH tengah mengebut penagihan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam sepuluh hari terakhir, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. menggelar rapat dengan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI lebih dari tiga kali. Tim ini dibentuk setelah Komisi Pemberantasan Korupsi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan, kata Mahfud, pemerintah akan menagih Rp 110,54 triliun kepada para obligor, salah satunya Sjamsul. “Tentu ini tidak mudah, sudah 22 tahun,” ujar Mahfud kepada Linda Trianita dan Egi Adyatama dari Tempo pada Kamis, 15 April lalu.

Sejak kapan pemerintah merencanakan pembentukan Satgas Hak Tagih BLBI?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami merespons perkembangan. Sejak Juni 2020, ada keputusan final dari Mahkamah Agung (MA) bahwa upaya peninjauan kembali (PK) KPK untuk terdakwa Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tidak dapat diterima karena bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Syafruddin telah dibebaskan pada 9 Juli 2019 karena permohonan kasasinya dikabulkan MA. Menurut KUHAP, yang boleh memohon PK orang yang dinyatakan dihukum, terpidananya.

Saat itu, apa yang pertama disiapkan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nah, berdasarkan itu, kami merespons. Kami mengundang rapat Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani, KPK juga. Kalau menurut hukum, tidak ada upaya hukum lagi. Kalau begitu gimana dong? Mahkamah Agung dalam putusannya menyebutkan ini bukan pidana. Tapi betul ada kesalahan.

Akhirnya menempuh jalur perdata sesuai dengan putusan MA?

Kalau bukan pidana, mari kita kembali ke masalah asalnya, perdata. Mereka dikucuri dana oleh negara. Karena dikucuri dana berupa bantuan penyelamatan itu, mereka harus membayar. Proses membayar dinilai BPPN, sudah dikeluarkan surat keterangan lunas, dan lainnya. Tapi masih ada yang belum tuntas. Kementerian Keuangan dan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara menghitung ada sekitar Rp 110 triliun dan Rp 454 miliar yang akan menjadi pedoman penagihan.

Angka tersebut dari berapa obligor?

Obligornya saya tidak hafal. Dulu yang pertama kali, Desember 1998, Presiden Baharuddin Jusuf Habibie mengucurkan kepada 48 obligor. Itu sudah ada yang diselesaikan, ada yang belum. Nanti akan kami buka. Kami tidak bisa main kucing-kucingan juga. Masyarakat sekarang tidak bisa diajak main kucing-kucingan. Jadi kami terbuka. 

Jika merespons perkembangan sejak PK KPK ditolak, mengapa Satgas baru dibentuk setelah ada SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih?

Kalau tidak begitu akan muncul tuduhan-tuduhan. Sekarang juga ada tuduhan, kenapa pemerintah mengalihkan hukum pidana ke perdata? Ini menyangkut kebijakan pemerintah, dilakukan oleh tiga presiden: Pak Habibie, Pak Soeharto, dan Mbak Megawati Soekarnoputri. Pak Harto bikin BPPN, Pak Habibie yang mengucurkan BLBI, Mbak Mega bikin release and discharge, itu menurut MA sudah selesai. Tidak ada lagi kesalahan pidananya. Kita ambil perdatanya sekarang.

Bagaimana jika ada kasus baru BLBI?

Ada juga yang bilang, jangan main-main lho. Hati-hati, jangan-jangan masih ada orang selain Syafruddin? Silakan laporkan ke kami atau ke KPK. Kenapa setelah Syafruddin dibebaskan, kasus langsung ditutup? Ya tidak ada kasus lain. Kalau ada, dibuka lagi saja. Tidak masalah.

Bagaimana strategi penagihan
nya mengingat kejadiannya sudah lama sekali?

Kalau orang punya utang, kemudian tidak mau bayar, tidak mau menyerahkan asetnya, kami ada jalan hukum. Yang paling lunak, kami harapkan ada kesukarelaan. Kalau tidak, kami tagih. Sesudah ditagih tapi menolak membayar, kami lakukan upaya hukum. Kalau hukum perdata, ada penyanderaan badan atau gijzeling. Kalau tidak, bisa berujung pidana karena memberi dokumen palsu, keterangan palsu. Pidananya bisa muncul, meski bukan pidana korupsi.

Pemerintah juga tetap akan mengejar secara pidana?

Bisa lho dengan pidana korupsi. Obligor yang tidak mau membayar itu, unsur korupsinya ketemu: memperkaya diri sendiri, merugikan keuangan negara sudah jelas, dan melawan hukum karena melanggar aturan-aturan yang ada. Tapi kalau kami, obligor bayar sajalah. Kalau tidak, gijzeling alias paksa badan.

Upaya perdata bakal butuh waktu lama?

Iya, tidak mudah. Sudah 22 tahun. Orang-orangnya ada yang sudah meninggal, barang sudah diwariskan. Kita bisa kejar. Yang agak jadi masalah, ada yang menjaminkan barang/aset di BPPN. Tiba-tiba di tengah perjalanan, barang ini digugat oleh pihak lain, lalu kalah, barang yang dijaminkan ternyata milik orang lain. Ini butuh proses untuk menagih. 

Aset punya siapa?

Nantilah. Tidak usah menyebut orang dulu.

Kalau Sjamsul Nursalim, berapa yang akan ditagih?

Dia ada dua, Bank Dagang Nasional Indonesia dan Bank Dewa Rutji. Untuk Bank Dewa Rutji, kami akan menagih sekitar Rp 470 miliar, sementara untuk BDNI masih kami hitung.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus