HASIL devaluasi rupiah terhadap ekspor Indonesia sesudah enam
bulan kini mulai nampak, sekalipun angka-angkanya masih
sementara. Ekspor di luar minyak selama kwartal pertama 1979
berjumlah US$ 900 juta. Ini lebih rendah dari US$ 1031 juta yang
tercapai pada kwartal empat 1978, namun sudah berada di atas
jumlah rata-rata setiap kwartal sebelum devaluasi yang hanya
mencapai US$ 860 juta.
Hasil yang cukup baik ini dimungkinkan oleh kombinasi makin
kuatnya daya saing bahan ekspor Indonesia dan nasib baik. Sejak
Nopember 1978, harga bahan ekspor utama di pasaran luar negeri
pada umumnya naik. Itu jelas terlihat pada harga-harga karet,
kayu, minyak sawit dan timah, sehingga ekspor komoditi tersebut
pada bulan-bulan sesudah devaluasi mengalami kenaikan. Ekspor
timah, misalnya pada kwartal empat 1978 mencapai rekor US$ 100
juta, dibanding US$ 70 juta rata-rata setiap kwartal sebelumnya.
Ekspor kayu tiap bulannya naik dari US$ 75 juta menjadi US$ 90
juta, bahkan padaJanuari 1979 ekspor kayu mencapai tingkat
tertinggi US$ 107 juta.
Di lain pihak, ekspor minyak belum menunjukkan tanda-tanda yang
jelas bahwa jumlahnya akan naik sesudah devaluasi. Tapi dengan
kenaikan harga ekspor yang sudah tiga kali terjadi sejak awal
1979, bisa dipastikan ekspor minyak pun bisa naik tahun ini,
sesudah tahun lalu merosot 4%.
Ambil Napas
Dengan kenaikan harga terakhir yang mulai berlaku 1 Mei kemarin,
harga sebagian besar jenis minyak Indonesia naik dengan US$ 2,60
per barrel dibanding harga akhir 1978. Kalau Indonesia bisa
mempertahankan volume ekspornya yang sekarang, yaitu sekitar 1,1
juta barrel sehari, maka kenaikan harga yang sudah terjadi 3
kali itu berarti pertambahan devisa dari minyak sekitar US$ 800
juta. Ini suatu pertambahan dana yang cukup berarti dihadapan
sumber-sumber yang makin terbatas.
Impor, seperti diharapkan pertumbuhannya agak direm, sehingga
pada akhir tahun anggaran 1978/1979 yang baru lewat, impor hanya
naik 4,3% dibandingkan tahun anggaran sebelumnya. Tapi untuk
bulan-bulan mendarang impor Indonesia akan tergantung dari
besarnya impor beras. Impor Indonesia untuk 1979 membuat awal
yang kurang menggembirakan karena, di Januari, impor beras
melonjak menjadi US$ 63 juta, satu jumlah impor bulanan yang
tertinggi sejak dua tahun belakangan ini.
Perkembangan ekspor yang cepat enam bulan terakhir ini
menyebabkan cadangan devisa Indonesia melonjak dari US$ 2,5
milyar pada waktu Knop-15, menjadi US$ 3,2 milyar minggu
kemarin. Cadangan yang kuat ini cukup bagi pemerintah untuk
mengambil napas.
Sekalipun demikian, kebutuhan devisa yang terus naik belum bisa
dipenuhi dari hasil ekspor saja. Memang lGGI dalam sidang
terakhirnya di Amsterdam awal April kemarin memutuskan untuk
memberi kredit US$ 1,9 milyar kepada Indonesia, tapi jumlah ini
juga masih belum cukup, hingga Indonesia masih memerlukan
sekitar US$850 juta yang harus diperolehnya dari pinjaman
komersial. Tahun lalu, pinjaman komersial ini mencapai US$ 750
juta.
Agaknya Indonesia dan rekannya ASEAN tak usah khawatir akan
menghadapi kesulitan memperoleh dana komersial ini. Bagi
bank-bank swasta, kawasan ASEAN tetap merupakan daerah yang
cukup menarik dan punya risiko kecil untuk dana yang
dipinjamkannya. Seperti dikatakan Presiden bank American
Express, Jarmes Greene baru-baru ini di Jakarta: "Tak akan ada
proyek di Indonesia maupun di Asia Tenggara yang tak bisa
selesai karena kekurangan dana."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini