Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sudiran, ketua pdi tahun 1997

Hampir 25 th, putra terbaik tanah air banyak berguguran fisik, mental dan hak-hak sipilnya. diran sebagai pemimpin pdi berkepentingan terhadap tingginya moral dan kesanggupan anggota partainya.

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA pun tulen Indonesia. Apalagi tulang sungsum dan dakinya. Sudiran tidak malu, juga tidak takut disebut nasionalis. Karena ia tidak bisa bohong. Cintanya pada Indonesia memang ngebet sekali. Waktu ia ditawari untuk dicalonkan sebagai ketua PDI, Diran tidak kaget. Biarpun ia belum pernah menerima wahyu, wangsit atau dawuh untuk menyandang kehormatan itu. Diran yakin, keluhuran berjiwa nasionalis dikhayalkan banyak orang. Semua orang mengaku cinta tanah air, mengaku nasionalis. Bahwasanya predikat nasionalis pernah dijadikan cantelan baju loakan, Diran tidak peduli. Dari dulu zaman penjajahan pun kapstok ini bisa ditempeli macam-macam predikat. Ia yakin suatu saat bila yang mencantelkan itu membutuhkan untuk dipakai sendiri, pamor aslinya nasionalis akan tetap berkilau. Waktu Diran terpilih sebagai ketua PDI ia mencoba merenungi partai yang pernah compang camping itu. Biar suaranya elok, giginya emas, tetapi bila compang camping akan tetap menyebalkan. Ia menyelidik, gerangan apa yang menyebabkan robeknya keutuhan semangat cinta tanah air teman-temannya. Padahal negeri elok ini selamanya bermurah hati, berbudi luhur, berkebudayaan tinggi, penuh timbang rasa dan selalu memancarkan pesona. Maka Sudiran pun mulai mengkaji teman-teman seperjuangannya. Sebagai pemimpin tentulah Diran berkepentingan terhadap tingginya moral dan kesanggupan anggota partainya. Yang Kaget, yang Selamat, yang Cari Untung Memang, setelah Diran memandang satu persatu teman sebarisannya ia tertegun. Dipandangnya tajam-tajam si Kiyo, yang tiba-tiba menggelegar birahinya kepada tanah air. Ia adalah nasionalis kaget. Dari dulu dikenal sebagai tukang kredit dan centeng Wan Liang. Tetapi waktu PDI mencari pemimpin, tahu-tahu Kiyo sudah di muka. Buku kreditnya disembunyikan dan tanpa ba atau bu Wang Liang dimaki-maki. Ia pun bersumpah serapah, tidak akan menyentuh A Moy lagi, sebelum bangsa Indonesia menjadi tuannya di negeri sendiri. Yang lebih mengherankan Diran ialah kenyataan bahwa hura-hura Kiyo bersambut gegap gempita. Lain lagi dengan Deri, yang kalem dan berkedip maut itu. Sekolahnya lumayan. Omongannya jempol, apalagi soal seluk-beluk perjuangan. Deri memang jago ngetop bila berdebat atau berhalo-halo. Cuma yang Diran menyesal kenapa Deri tak pernah beranjak dari kursi dudukannya. Cuma telunjuknya yang gentayangan, tetapi nyalinya kecil. Ia tidak hanya meninggalkan teman-temannya yang menghadapi kesulitan, tetapi malah ikut menginjak kepala mereka. Deri nasionalis yang selalu selamat sejahtera. Ada lagi si Hotma. Dari mudanya ia bercita-cita jadi pembesar. Segala cara ditempuhnya. Pembesar yang lagi jaya didekati lewat anak, ajudan atau babunya. Mulutnya berbuih menyanjung sana menyanjung sini. Memaki ini memaki itu. Seperti beo, bekalnya segumpal slogan yang dihafal bak mantera-mantera. Dipolesnya wajah dan senyumnya supaya tampangnya bertambah seru. Waktu lagu Rayuan Pulau Kelapa diperdengarkan, Hotma pandai menyahut dengan lebih nyaring. Waktu pekik Pokoke diteriakkan, suara Hotma melanjutkan Pokoke Aku Menang. Hotma nasionalis kelas oportunis. Idola ini juga menakjubkan. Si Jemblung misalnya, ia bisa berdagang segala macam. Semangat dan nasionalisme tak terkecuali, bisa diperjual-belikan seperti pisang goreng. Ia merakit kumpulan slogan yang enak didengar menjadi buku dan dipasarkan. Ada poster gambar pemimpin besar dijadikan doku. Ada tembang dan joged cinta tanah air dilego ke sponsor. Sebagai pedagang, Jemblung tahu benar arti risiko. Karena itu, bahan informasi terbaru dan pamflet perjuangan nasionalis yang perkasa, Jemblung tak berani menyebar-luaskan lewat pasarnya. Jemblung ialah seorang pedagang nasionalisme plastik. Materi Patriot Itulah beberapa materi patriot yang dipunyai Diran yang sekarang boleh ia tampilkan. Memang selama hampir 25 tahun ini, keadaan kadernya seperti sisa-sisa laskar Pajang. Putra terbaik tanah air sudah banyak berguguran secara fisik, mental maupun gugur hak-hak sipilnya. Diran harus mampu mengais onggokan pasir, lumpur, debu dan sampah yang kadar keracunannya ia tak dapat mengenali benar, untuk menemukan kader yang tulen. Namun Diran tetap berbesar hati. Ia masih melihat beberapa patriot tulen yang masih tersembunyi. Ia mengagumi juga pemuda-pemuda kadernya. Biarpun satu dua telah luluh dalam kancah keadaan lingkungannya, beberapa masih kenyal. Semangat cinta tanah air dan kesediaan berkorban masih tulus. Ini semua modal bagi perjuangan lanjut Diran dan teman-temannya. Kini Diran berkhayal, bagaimana membukakan jalan bagi pemuda yang nasionalis beneran ini agar dapat mulai ikut berperan. Ia malu pada diri sendiri untuk mengaku bahwa ia sebenarnya berkeinginan juga menghabiskan masa pikunnya dalam angan-angan kepemimpinan. Ia malu berkhayal menikmati sisa-sisa umurnya dalam bayangan kekuasaan, kebesaran dan fatamorgana. Tentu saja, manakala ia sadari, keinginan itu dicampakkan jauh-jauh. Karena keadaan itulah justru yang dikehendaki oleh mereka yang tidak ingin melihat kekuatan masa perjuangan yang berlandaskan cinta tanah air ini dapat bangkit dengan kekuatan potensialnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus