NAMANYA pun tulen Indonesia. Apalagi tulang sungsum dan dakinya.
Sudiran tidak malu, juga tidak takut disebut nasionalis. Karena
ia tidak bisa bohong. Cintanya pada Indonesia memang ngebet
sekali. Waktu ia ditawari untuk dicalonkan sebagai ketua PDI,
Diran tidak kaget. Biarpun ia belum pernah menerima wahyu,
wangsit atau dawuh untuk menyandang kehormatan itu.
Diran yakin, keluhuran berjiwa nasionalis dikhayalkan banyak
orang. Semua orang mengaku cinta tanah air, mengaku nasionalis.
Bahwasanya predikat nasionalis pernah dijadikan cantelan baju
loakan, Diran tidak peduli. Dari dulu zaman penjajahan pun
kapstok ini bisa ditempeli macam-macam predikat. Ia yakin suatu
saat bila yang mencantelkan itu membutuhkan untuk dipakai
sendiri, pamor aslinya nasionalis akan tetap berkilau.
Waktu Diran terpilih sebagai ketua PDI ia mencoba merenungi
partai yang pernah compang camping itu. Biar suaranya elok,
giginya emas, tetapi bila compang camping akan tetap
menyebalkan.
Ia menyelidik, gerangan apa yang menyebabkan robeknya keutuhan
semangat cinta tanah air teman-temannya. Padahal negeri elok ini
selamanya bermurah hati, berbudi luhur, berkebudayaan tinggi,
penuh timbang rasa dan selalu memancarkan pesona. Maka Sudiran
pun mulai mengkaji teman-teman seperjuangannya. Sebagai pemimpin
tentulah Diran berkepentingan terhadap tingginya moral dan
kesanggupan anggota partainya.
Yang Kaget, yang Selamat, yang Cari Untung
Memang, setelah Diran memandang satu persatu teman sebarisannya
ia tertegun. Dipandangnya tajam-tajam si Kiyo, yang tiba-tiba
menggelegar birahinya kepada tanah air. Ia adalah nasionalis
kaget. Dari dulu dikenal sebagai tukang kredit dan centeng Wan
Liang. Tetapi waktu PDI mencari pemimpin, tahu-tahu Kiyo sudah
di muka. Buku kreditnya disembunyikan dan tanpa ba atau bu Wang
Liang dimaki-maki. Ia pun bersumpah serapah, tidak akan
menyentuh A Moy lagi, sebelum bangsa Indonesia menjadi tuannya
di negeri sendiri. Yang lebih mengherankan Diran ialah kenyataan
bahwa hura-hura Kiyo bersambut gegap gempita.
Lain lagi dengan Deri, yang kalem dan berkedip maut itu.
Sekolahnya lumayan. Omongannya jempol, apalagi soal seluk-beluk
perjuangan. Deri memang jago ngetop bila berdebat atau
berhalo-halo. Cuma yang Diran menyesal kenapa Deri tak pernah
beranjak dari kursi dudukannya. Cuma telunjuknya yang
gentayangan, tetapi nyalinya kecil. Ia tidak hanya meninggalkan
teman-temannya yang menghadapi kesulitan, tetapi malah ikut
menginjak kepala mereka. Deri nasionalis yang selalu selamat
sejahtera.
Ada lagi si Hotma. Dari mudanya ia bercita-cita jadi pembesar.
Segala cara ditempuhnya. Pembesar yang lagi jaya didekati lewat
anak, ajudan atau babunya. Mulutnya berbuih menyanjung sana
menyanjung sini. Memaki ini memaki itu. Seperti beo, bekalnya
segumpal slogan yang dihafal bak mantera-mantera. Dipolesnya
wajah dan senyumnya supaya tampangnya bertambah seru. Waktu lagu
Rayuan Pulau Kelapa diperdengarkan, Hotma pandai menyahut
dengan lebih nyaring. Waktu pekik Pokoke diteriakkan, suara
Hotma melanjutkan Pokoke Aku Menang. Hotma nasionalis kelas
oportunis.
Idola ini juga menakjubkan. Si Jemblung misalnya, ia bisa
berdagang segala macam. Semangat dan nasionalisme tak
terkecuali, bisa diperjual-belikan seperti pisang goreng. Ia
merakit kumpulan slogan yang enak didengar menjadi buku dan
dipasarkan. Ada poster gambar pemimpin besar dijadikan doku. Ada
tembang dan joged cinta tanah air dilego ke sponsor.
Sebagai pedagang, Jemblung tahu benar arti risiko. Karena itu,
bahan informasi terbaru dan pamflet perjuangan nasionalis yang
perkasa, Jemblung tak berani menyebar-luaskan lewat pasarnya.
Jemblung ialah seorang pedagang nasionalisme plastik.
Materi Patriot
Itulah beberapa materi patriot yang dipunyai Diran yang sekarang
boleh ia tampilkan. Memang selama hampir 25 tahun ini, keadaan
kadernya seperti sisa-sisa laskar Pajang. Putra terbaik tanah
air sudah banyak berguguran secara fisik, mental maupun gugur
hak-hak sipilnya. Diran harus mampu mengais onggokan pasir,
lumpur, debu dan sampah yang kadar keracunannya ia tak dapat
mengenali benar, untuk menemukan kader yang tulen.
Namun Diran tetap berbesar hati. Ia masih melihat beberapa
patriot tulen yang masih tersembunyi. Ia mengagumi juga
pemuda-pemuda kadernya. Biarpun satu dua telah luluh dalam
kancah keadaan lingkungannya, beberapa masih kenyal. Semangat
cinta tanah air dan kesediaan berkorban masih tulus. Ini semua
modal bagi perjuangan lanjut Diran dan teman-temannya.
Kini Diran berkhayal, bagaimana membukakan jalan bagi pemuda
yang nasionalis beneran ini agar dapat mulai ikut berperan. Ia
malu pada diri sendiri untuk mengaku bahwa ia sebenarnya
berkeinginan juga menghabiskan masa pikunnya dalam angan-angan
kepemimpinan. Ia malu berkhayal menikmati sisa-sisa umurnya
dalam bayangan kekuasaan, kebesaran dan fatamorgana. Tentu saja,
manakala ia sadari, keinginan itu dicampakkan jauh-jauh. Karena
keadaan itulah justru yang dikehendaki oleh mereka yang tidak
ingin melihat kekuatan masa perjuangan yang berlandaskan cinta
tanah air ini dapat bangkit dengan kekuatan potensialnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini