Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo Subianto mengkritik paham neoliberalisme atau neolib.
Ada sejumlah unsur paham neolib yang dipraktikkan pemerintahan Jokowi.
Salah konsep kritik neolib bakal memberi sinyal buruk kepada pasar dan investor.
SETELAH lama tak terdengar, tiba-tiba narasi tentang neoliberalisme atau neolib kembali mencuat. Prabowo Subianto, salah satu kandidat pemilihan presiden yang digelar tiga bulan lagi, melemparkan unek-unek bahwa di kabinet Presiden Joko Widodo saat ini ada menteri berpaham neolib. Padahal, menurut Prabowo, Presiden selalu memikirkan rakyat kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di jagat politik Indonesia, konsep neolib memang menjadi label seksi yang mudah menarik perhatian khalayak. Istilah ini ampuh untuk mengecap seseorang dengan atribut berkonotasi negatif. Neolib secara simplistis dipahami sebagai sebuah paham yang tidak berpihak kepada rakyat miskin, pendukung kapitalisme buruk, antek negara-negara Barat, dan semacamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Labelisasi ini menyederhanakan konsep ekonomi yang rumit sehingga mudah masuk ke pikiran orang banyak. Stigma sebagai seorang penganut paham neolib, yang melekat pada seorang menteri atau pejabat, bisa menjadi isu politik "gorengan" yang renyah meski sering kali salah arah dan konsepnya pun salah.
Dalam konteks ini, jika memang tidak suka terhadap paham neolib, semestinya Prabowo juga bersedia mengkritik kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo. Betul, ada kebijakan Jokowi yang berpihak pada rakyat, royal membagikan subsidi dan bantuan. Tapi ada pula kebijakannya yang sangat pro-pemodal dan beraroma kuat paham neolib.
Contoh yang paling nyata adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Inilah salah satu pilar kebijakan ekonomi yang dibangga-banggakan pemerintah dan partai-partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat yang meloloskannya, yang mereka sebut sebagai capaian monumental. Padahal aturan ini jelas-jelas mengutamakan kepentingan para kapitalis seraya mengorbankan hak-hak pekerja dan aspek pelestarian lingkungan. Di sini, fungsi pengawasan dalam berbagai aspek juga dilonggarkan atas nama kemudahan berinvestasi.
Sudah tentu mengutamakan kapital alias investasi bukanlah kebijakan buruk. Tanpa investasi, dari mana ekonomi mendapatkan bahan bakar untuk tumbuh? Tapi investasi juga bisa datang dengan karakter yang lebih ramah bagi warga miskin dan lebih adil, tak mengutamakan kepentingan investor semata, ada keseimbangan dengan kepentingan ekonomi negara dan kesejahteraan umum masyarakat.
Sayangnya, jika melihat rekam jejak sembilan tahun terakhir, pemerintahan Jokowi sering mengesampingkan keseimbangan itu. Tak sedikit investasi buruk yang masuk, bukan investasi baik yang mampu menyejahterakan ekonomi masyarakat dengan ongkos dan dampak negatif minimal.
Program pengolahan atau penghiliran nikel yang dibanggakan pemerintah bisa menjadi contoh buruk. Demi kepentingan investor di sini, pemerintah banyak berkorban, misalnya dengan mengobral insentif pajak. Investor boleh memakai tenaga kerja asing dengan lebih longgar. Terjadi pula pengerukan sumber daya alam dengan ongkos lingkungan yang amat besar. Semestinya Prabowo juga mengkritik kebijakan yang lebih cocok mendapat stigma buruk neolib itu.
Bagi pasar finansial, munculnya sinyal narasi neolib yang salah arah dari Prabowo hanya akan menambah kegalauan. Apalagi narasi itu muncul dari calon yang sampai saat ini masih menduduki posisi teratas di berbagai jajak pendapat. Ada kemungkinan ia menang. Jika gerutuan neolib itu dibaca sebagai petunjuk bagi arah kebijakan ekonomi Indonesia lima tahun ke depan, reputasi Indonesia di pasar finansial global bisa melorot.
Baca artikel lain tentang neoliberalisme:
Padahal sentimen pasar saat ini masih jauh dari positif dan stabil. Pasar justru sedang gonjang-ganjing. Khasiat “obat penenang” dari The Federal Reserve dua pekan lalu, yang tidak menaikkan bunga, benar-benar hanya berumur pendek. Kamis, 9 November lalu, Ketua The Fed Jerome Powell kembali melempar isyarat bahwa The Fed tidak akan segan menaikkan bunga lagi selama angka inflasi belum turun.
Setelah hanya dua hari nilai rupiah menguat mendekati 15.500 per dolar Amerika Serikat, di akhir pekan lalu kursnya merosot lagi menuju 15.700. Rupiah akan kembali memasuki jalur menurun yang terjal di pekan-pekan mendatang. Narasi ekonomi-politik mengenai neoliberalisme yang salah arah dari calon presiden seperti Prabowo Subianto bakal menjadi beban tambahan yang tidak ringan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Salah Arah Kritik Neolib Prabowo"