Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA yuan ”bebas” juga sejak Kamis pekan lalu. Cina mengganti rezim nilai tukar tetap (pegging) dengan sistem kurs mengambang terkendali (managed floating). Yuan kini boleh ber-goyang naik atau turun sebesar 0,3 persen.
Nilai tukar yuan di pasar internasio-nal juga tak lagi dicantolkan hanya ke dolar Amerika. Selama satu dekade ter-akhir, US$ 1 dihargai 8,28 yuan. Kini, kurs yuan dipatok oleh sekeranjang mata uang asing. Dalam setahun ter-akhir, para mitra dagang Cina—terutama Amerika—memang tekun membujuk Beijing agar mengambangkan nilai tukar. Amerika malah menuduh Cina sengaja membonsai nilai yuan demi menguasai pasar internasional.
Kongres Amerika juga telah menyiap--kan undang-undang yang akan menge-nakan bea masuk tambahan 27,5 persen bagi produk Cina, andai Beijing mempertahankan kurs yuan. Berembus spekulasi, perombakan rezim devisa itu ada hubungannya dengan kunjungan Presiden Cina, Hu Jintao, ke Amerika, September mendatang.
Di bursa valuta asing Shanghai—bur--sa uang satu-satunya di Cina—n-i-lai tukar dolar tergerus menjadi 8,11 yu-an begitu revaluasi diumumkan. Ar-tinya, nilai yuan naik hingga 2,11 persen dibandingkan dengan nilai patokan yang telah dipakai selama satu dekade.
Asia tentu yang paling keras merasa-kan goyangan yuan. ”Apresiasi yuan iba-rat tonikum bagi kecenderungan menguatnya valuta Asia,” kata Adrian Mowat, analis ekuitas di JP Morgan.
Jepang, mitra dagang terbesar Cina, menjadi pelopor menguatnya mata uang Asia terhadap dolar. Kurs yen terhadap dolar langsung melesat hingga ke posisi tertinggi selama dua sete-ngah tahun terakhir.
Sebagian besar perusahaan keuang-an meyakini yuan akan dibiarkan semakin kekar. ”Saya yakin langkah berikut adalah melebarkan rentang per-dagangan,” ujar Chris Leung, analis di DBS.
Nilai yuan terhadap dolar diperkira-kan akan melaju hingga sepuluh per-sen dalam satu tahun mendatang. Gold-man Sachs memprediksi apresiasi yuan hingga sembilan persen, JP Morgan me-matok sepuluh persen.
Selain mendinginkan hubungan dagang dengan Amerika, apresiasi yuan juga menjadi obat kuat korporasi Cina untuk menguber aset di luar negeri. Jangan lupa, beberapa merek dunia, ter-masuk komputer personal IBM, te-lah di tangan sang Naga. Mereka juga sedang membidik dua perusahaan Ame-rika: produsen alat rumah tangga Maytag, dan produsen minyak serta kimia UNOCAL.
Sejauh ini tak ada komentar dari otoritas moneter Cina tentang reva-luasi yuan. Mereka bahkan tak menyebut mata uang apa saja yang akan dijadikan patokan nilai yuan, serta berapa be-sar bobot masing-masing dalam ke-ranjang. Yang diketahui hanyalah kurs yuan diperbolehkan bergerak 0,3 persen terhadap dolar, dan 1,5 persen terhadap mata uang lain yang dijadikan patokan.
Tanpa apresiasi lebih lanjut, demam yuan diprediksi hanya terbatas di pa-sar uang dalam waktu singkat. Di bursa uang lokal, rupiah telah mengecap angin segar dari revaluasi yuan. Pada perdagangan akhir pekan, nilai rupi-ah terhadap dolar menguat menjadi Rp 9.686 per US$ 1. Itu berarti rupiah menguat sekitar 140 poin sejak reva-luasi yuan diumumkan.
Di luar meja perdagangan valuta, tak banyak yang optimistis dengan dampak apresiasi yuan terhadap Indonesia. Naiknya yuan memang berarti harga produk Cina menjadi lebih mahal. N-amun, kenaikan yang terbatas itu diya-ki-ni tak akan terlalu menggerus daya saing produk Cina di pasar internasio-nal.
”Pengaruhnya cuma terhadap jumlah nilai ekspor mereka,” kata Menteri Koordinator Perekonomian, Aburizal Bakrie. ”Apresiasi 2,11 persen itu tidak ada artinya.” Sebaliknya, Wakil Pre-siden Jusuf Kalla optimistis kenaik-an yu-an akan membuka celah bagi produk Indonesia bersaing di pasar in-ter-na-sional.
Transaksi dagang Indonesia dan Cina juga diperkirakan tak akan terlalu berubah setelah yuan direvaluasi. Order pembelian dari Cina diperkirakan tak akan meningkat drastis, kendati dolar yang dimiliki sang Naga lebih banyak.
Alasannya, kebanyakan barang yang dibeli Cina merupakan komo---di-tas sumber daya alam, seperti kelapa sawit. ”Pembelian komoditas semacam itu tak terlalu terpengaruh oleh naikturunnya nilai valuta,” ujar Anton G-u-nawan, ekonom dari Citibank.
Thomas Hadiwinata, Reuter, AFP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo