SATU-satunya hotel berbintang lima di Surabaya, Regency Surabaya, kini makin megah, menonjol, dan menawan. Sejak berdiri 11 tahun lalu, tingkat huniannya tak pernah kurang dari 65% alias rame terus. Tak salah bila pihak manajemen hotel bertekad melakukan perluasan, kendati modalnya dari berutang. Ekspansi itu digarap sejak tengah tahun lalu dan kini tuntas sudah. Rinciannya: 232 kamar baru, sebuah gedung perkantoran berlantai enam, 12 apartemen, lima restoran, plus fasilitas pendukung, seperti tempat ibadat dan sarana olahraga. Dana investasinya diperoleh dari pinjaman BII (Bank International Indonesia) sebesar Rp 33,3 miliar dengan tingkat bunga mengambang antara 11% dan 14%. Nah, sementara konstruksi berlangsung, Presiden Direktur Hyatt, Sri Hoedojo S., bolak- balik ke Jakarta mencari pinjaman baru. November lalu, misalnya, Hyatt memperoleh pinjaman dari sebuah konsorsium bank yang beranggotakan Bank Sumitomo, Bank Niaga, Bank of Tokyo, United Overseas Bank, Bank Bali, dan Panin Bank. Utang sebesar 54 juta dolar itu berjangka cicilan delapan tahun, dan bunganya cukup ringan (2,65% untuk pinjaman dari bank asing dan 9% atas pinjaman bank swasta nasional). ''Dengan pinjaman konsorsium ini, kami bisa lebih lega bernapas,'' kata Sri Hoedojo. Ia berkata demikian karena dengan pinjaman itulah Hyatt melunasi utangnya ke BII. Lantas dari mana lagi dana yang diperoleh untuk ekspansi berbiaya 84 juta dolar? Kata Sri, Hyatt juga telah mengantongi hasil penjualan saham sebesar 30 juta dolar plus laba yang disisihkan 5 juta dolar. Jika cicilan utang itu jatuh tempo pada tahun 1995, Sri tak usah pusing-pusing. Bilamana tak ada juga uang tunai, Hyatt sudah pasang ancang-ancang untuk kembali ke bursa, menjual saham baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini