SEBUAH rumah di Cikanitri, Bandung, kini sudah diincar oleh Moh. Sabarudin untuk dibelinya. "Sekarang saya agak mantap untuk mencicil rumah," kata Sabarudin, ayah dua anak, yang sehari-hari bekerja di Perum Pos dan Giro. Ia baru menempati Golongan III/A. Optimisme Sabarudin juga menyebar ke seluruh karyawan Pos dan Giro. Dan mulai November ini kita tidak akan lagi melihat wajah-wajah pasrah Pak Pos. Dedikasi mereka kini sudah memperoleh penghargaan lebih baik dari Perum Pos dan Giro. Dalam bahasa sehari-hari, penghargaan itu berupa kenaikan gaji yang besarnya diatas 100%. Kenaikan itu bahkan berlaku surut terhitung sejak Juli lalu. Dengan demikian ada rapel. Tapi apakah ini mungkin. Bukankah pegawai negeri yang lain tidak naik gaji? Menurut Direktur Utama Perum Pos dan Giro, Marsoedi MP, gaji untuk pegawai Perum tidak sama dengan gaji pegawai negeri lainnya. Di luar kenaikan gaji pokok, karyawan juga memperoleh kenaikan tunjangan keluarga menjadi 16% (dari gaji pokok). Ada tunjangan struktural dan prestasi non struktural -- ditentukan berdasarkan jabatan dan pangkat/golongannya. Dan tidak cuma itu. Selain itu masih ada tunjangan perusahaan yang besarnya 30% dari gaji pokok. Untuk pegawai di Irian Jaya, Timor Timur, dan Pulau Batam ada lagi tunjangan khusus sekitar 70%. Selama ini gaji karyawan Pos dan Giro ditentukan berdasarkan patokan yang ada pada Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPNS). Tapi, "Sekarang kami ingin menghilangkan keterkaitan tersebut. Dengan demikian, kalau pegawai negeri memperoleh kenaikan uang lauk pauk, tak berarti pegawai Pos dan Giro ikut-ikutan minta dinaikkan," tutur Marsoedi lagi. Ia berharap, dengan kenaikan ini produktivitas pegawai Pos dan Giro (sebanyak 28.444 orang) makin tinggi. Dan tentu tak ada alasan terjadi kelambatan penyampaian pos. Apalagi yang disebabkan oleh keteledoran pegawai seperti yang sering terjadi selama ini. Kenaikan gaji itu bisa diberikan setelah Pos dan Giro memperoleh laba yang terus meningkat selama beberapa tahun terakhir. Tahun 1989 laba itu berjumlah Rp 12,8 milyar. Tahun 1990 meningkat jadi Rp 37,1 milyar, dan tahun 1991 mencapai Rp 47 milyar. Untuk tahun ini target laba itu dibuat tak beranjak jauh, yakni Rp 47,8 milyar -- seiring dengan adanya peningkatan biaya operasi, termasuk kenaikan gaji. Sebagai BUMN yang bergerak di bidang jasa, Pos dan Giro telah berhasil membuktikan bisa progresif, sebagaimana layaknya perusahaan swasta. Jenis pelayanannya makin beragam, tak mau kalah bersaing dengan jasa pengantaran barang dan surat yang diberikan oleh perusahaanperusahaan swasta. Pokoknya, Pos dan Giro tak lagi identik dengan pengantar surat berseragam abuabu yang bergerak lamban. Persaingan dengan swasta yang memberikan jasa yang sama, menurut Marsoedi, bukan merupakan penghambat, tapi justru tantangan. "Supaya kami bisa meningkatkan mutu terus-menerus," katanya merendah. Produk canggih yang sampai saat ini belum bisa disaingi oleh swasta antara lain surat dan wesel elektronik, yang dikirim via satelit. Ada pula kemudahan untuk wisatawan, yakni berupa cek pos wisata, terdiri dari pecahan Rp 25 ribu sampai Rp 2,5 juta. Ini semacam trevel cek yang kelebihannya bisa diuangkan di pelbagai pelosok Indonesia, di mana ada kantor pos -- suatu hal yang tak mungkin bagi trevel cek biasa, yang sangat tergantung bank besar atau hotel di kota-kota. Pemakaian cek pos wisata ini kabarnya cenderung meningkat. Sampai September tahun ini Pos dan Giro berhasil menjual cek pos wisata senilai Rp 7,9 milyar. Pemakainya mayoritas masih terdiri atas wisatawan domestik, kendati wisatawan asing juga sudah ada yang memanfaatkannya. Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini