IBARAT gerbong kereta api yang berderetderet, demikian pula proyek listrik swasta. Gerbong-gerbong itu tidak akan pernah meninggalkan stasiun selama sang lokomotif -- dalam hal ini proyek Paiton V, VI, VII, dan VIII -- belum siap menghelanya. Meski sudah dua tahun berlalu, dua konsorsium raksasa, yakni PT Bimantara Bayu Nusa (bermitra dengan Siemens Jerman) dan PT Batu Hitam Perkasa (berkongsi dengan Mitsui Jepang serta General Electric dan Mission dari Amerika), belum juga siap menangani proyek Paiton tersebut. Sebegitu jauh, proyek listrik swasta pertama yang akan mengambil lokasi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu belum pasti nasibnya. Ada yang mengatakan, proyek macet karena harga jual kepada PLN terlalu tinggi. Tapi pihak lain mengatakan, perundingan -- semestinya selesai September ternyata terus tertunda. Sumber yang layak dipercaya di Departemen Pertambangan dan Energi menyebutkan, "Harga proyek yang diajukan kedua swasta itu terlalu mahal." Tapi Bimantara Bayu Nusa mengajukan alasan, Paiton VII dan VIII yang berkapasitas 2 X 600 megawatt itu membutuhkan dana US$ 2,2 milyar, karena selain PLTGU-nya, juga harus dibangun berbagai sarana penunjang seperti fasilitas bongkar-muat batu bara, perkantoran, jalan, dan saluran air. Belakangan, muncul Batu Hitam Perkasa dengan penawaran lebih murah. Dan tibatiba saja, Bimantara menurunkan harga menjadi US$ 2 milyar. Namun, pihak Pemerintah (Ditjen Listrik dan Energi Baru) sudah punya perhitungan sendiri. Ini terungkap awal tahun lalu, ketika Pemerintah memaklumkan bahwa proyek Paiton VII dan VIII bernilai US$ 1,2 milyar. Ada kesan, Pemerintah bersikukuh dengan harga tersebut. Lantas bagaimana? Pihak Bimantara Bayu Nusa (BBN) tampaknya cenderung menunggu. Justian Suhandinata, Presdir BBN, mengatakan bahwa yang kini sedang melakukan negosiasi adalah Batu Hitam cs., penggarap Paiton V dan VI. "Setelah itu baru kami berunding untuk Paiton VII dan VIII," ujarnya. Perkara harga penawaran BBN, setelah dievaluasi lagi, katanya bisa ditekan sampai US$ 1,6 milyar. Alasannya, beberapa sarana penunjang, seperti pelabuhan batu bara, akan menjadi beban Batu Hitam yang lebih dulu menggarap Paiton V dan VI. Ternyata, selain Bimantara, Batu Hitam juga menunggu. Menurut Presdir Batu Hitam, Hashim Djojohadikusumo, proposal Paiton V dan VI sudah diajukan sejak tahun lalu. Dan kini sudah mencapai tahap penentuan harga proyek. "Kami hanya menunggu tanggapan Pemerintah," ujarnya. Adapun Pemerintah tampaknya bersikap ekstrahatihati. Dirjen Listrik dan Energi Baru Artono Arismunandar membenarkan, Paiton akan dijadikan patokan untuk proyek-proyek listrik swasta berikutnya. Jadi, keterlambatan proses bukan karena negosiasi yang alot antara Pemerintah dan swasta. "Kami butuh waktu untuk meneliti proposal," katanya. Sementara menunggu, sudah ada 20 konsorsium yang siap memperebutkan proyek pembangunan dua PLTG di Jawa Barat, dan tiga PLTU di Jawa Tengah, Pontianak, dan Jawa Barat. Grup Bakrie tengah mengincar pembangkit listrik untuk Pabrik Semen Tonasa di Sulawesi Selatan. "Proyek ini sengaja dipilih karena pasarnya (pabrik semen) sudah pasti," demikian Presdir Bakrie, Tanri Abeng. Hanya saja, proyek ini tak juga mudah karena, menurut Tanri, tawaran harga jual yang 7,5 sen dolar per KWH belum disetujui Tonasa. Tapi hal ini tak menghambat Bakrie untuk mengincar PLTU Tanjung Jati. Masalahnya, mungkinkah Pemerintah menepati janjinya untuk membuat keputusan sebelum 31 Desember 1992. Budi Kusumah, Iwan Qodar, dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini