MEMBAGI kuota ternyata bukan cuma wewenang Departemen Perdagangan. Asosiasi yang memayungi industri sejenis pun berhak menentukan kuota ekspor. Wewenang sektoral ini tibatiba "mencubit" dua eksportir rotan lampit, PT Racindo Nugraha Rattan dan PT Paikat Multi Karya. Hak ekspor mereka dicabut bulan lalu. Begini ceritanya. Dalam rapat anggota Asosiasi Mebel Indonesia (Asmindo), diputuskan dua perusahaan itu tidak lagi memperoleh kuota. Pertimbangannya, pada tahun 1991 PT Racindo dan PT Paikat telah mengekspor lampit jauh melebihi jatah. Dan melalui Badan Pemasaran Bersama (BPB) Asmindo, importir di Jepang diberi tahu agar tidak lagi membeli lampit dari mereka. Kedua eksportir itu kelabakan. Dan berteriak. Kata mereka, keputusan Asmindo sangat tidak bermoral. Selain mematikan usaha, juga menutup lapangan kerja bagi sejumlah perajin lampit. Kini, sebanyak 29.000 m2 lampit perajin di Kalimantan Selatan, yang siap diekspor, tertahan di Amuntai. "Apakah cara kotor seperti ini yang dikehendaki Asmindo dalam membina anggotanya?" kata Soesanto Soegianto, Direktur Utama Paikat, seperti dikutip sebuah harian di Jakarta. Soesanto juga menyebutkan, untuk tahun 1992-93, perusahaannya berhak mengekspor 178.000 m2 lampit, tapi oleh BPB diberi jatah 70.000 m2. "Itu pun saya terima saja," ujar pucuk pimpinan Paikat itu. "Dan saya sudah mengekspor 42.000 m2. Sisanya yang 28.000 m2 tidak pernah diberikan kuota. Saya bolak-balik Jakarta-Banjarmasin mengurusnya, tapi tidak digubris. Karena itulah saya bersuara keras," Soesanto menandaskan kepada Almin Hatta dari TEMPO. Benarkah ia tidak digubris? Ketua Asmindo, A. Tjipto Wignjoprajitno, mengatakan bahwa keputusan yang merugikan Paikat bukanlah ulah asosiasi. Keputusan itu diambil dalam rapat yang dihadiri oleh 50 anggota asosiasi. Anggota mempersoalkan adanya beberapa eksportir yang tahun lalu memperoleh kuota "berlebihan". Akhirnya diputuskan, eksportir yang kelebihan kuota tahun lalu tidak lagi memperoleh jatah tahun ini. Rapat tersebut juga menetapkan, sebagian besar hak ekspor (80%) akan diberikan kepada produsen lampit yang padat karya. Sedangkan lampit buatan mesin, porsinya hanya 20%. "Yang memutuskan hukuman bukan Asmindo, melainkan para eksportir," ujar Tjipto. Lalu bagaimana sikap Pemerintah? Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kamarulzaman Algamar, menjelaskan bahwa Pemerintah memandang persoalan itu sebagai masalah intern asosiasi. "Dalam organisasi kan ada aturannya. Jadi, kalau ada anggotanya yang dihukum oleh organisasi, ya itu urusan organisasi," ujarnya kepada Iwan Qodar dari TEMPO. Menurut Algamar, tindakan Asmindo itu diambil demi pertimbangan pasar. Perlu diketahui, pasaran ekspor lampit cuma Jepang. Jatah eskpor tahun ini hanya 1,5 juta meter persegi, dengan nilai US$ 24 juta dan diperebutkan oleh sejumlah besar eksportir rotan. Tak heran bila ada yang merasa dikorbankan. Selain Paikat, ada CV Restu Rattan Industry dan PT Setia Komandotama, yang sama sekali tidak diberi kuota. Mereka merasa dirugikan, lalu bergabung dengan Soesanto, memprotes Asmindo. Asosiasi ini tersengat. Ketua BPB VII Asmindo, H. Taufik Effendi, pada 19 Oktober silam kontan membekukan keanggotaan tiga perusahaan itu dengan alasan melanggar disiplin organisasi, merongrong kebijaksanaan asosiasi, dan mengekspor dengan kuota yang tidak sah. Kini, Paikat terpaksa menyetop produksi dan mem-PHK 2.900 perajin lampit. H. Hairun, yang mengatasnamakan 10.000 perajin lampit Amuntai, Kalimantan Selatan, ikut menyuarakan keluhan perajin. "Akibat pembekuan PT Paikat, CV Restu, dan PT Setia, praktis lampit rotan di Amuntai menumpuk. Jumlahnya sekitar 120.000 m2 lampit," Hairun membeberkan. Dikatakannya juga, 10.000 perajin lampit itu kini kehilangan mata pen caharian. Ternyata, eksportir Soesanto dan dua rekannya selama ini bertindak sebagai bapak angkat bagi 10.000 perajin tersebut. MBM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini