Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Dua Gejolak Menjelang Akhir Tahun

Pergelutan politik Amerika Serikat untuk sementara mereda. Namun ancaman terhadap pemulihan ekonomi masih tinggi.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
ilustrasi: tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Krisis energi di Cina dan Uni Eropa bisa mengancam ekonomi dunia.

  • Juga perdebatan plafon utang dalam politik Amerika Serikat.

  • Bagaimana menghindarinya agar Indonesia tak terimbas?

ADA dua hal penting yang patut mendapat perhatian khalayak investor: pergelutan politik tentang plafon utang di Amerika Serikat serta berlanjutnya krisis energi di Cina dan Eropa. Keduanya sama-sama mengancam stabilitas ataupun pemulihan ekonomi dunia menjelang akhir tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertikaian tentang plafon utang di Amerika Serikat rutin terjadi. Ketika batas utang pemerintah Amerika Serikat nyaris terlampaui, politikus Partai Demokrat dan Partai Republik akan bertikai menunggangi isu itu untuk mewujudkan agenda politik masing-masing. Pasar tak bisa menyepelekan urusan politik dalam negeri ini. Jika kedua kubu tak bisa bersepakat, pemerintah Amerika tak bisa menambah utang dan akhirnya akan kehabisan uang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia masih bergantung pada dolar Amerika sebagai alat pembayaran internasional. Pada 2019, 88 persen transaksi internasional memakai dolar. Dolar pun mendominasi cadangan devisa. Per kuartal II 2021, dari total cadangan devisa sedunia yang nilainya setara dengan US$ 12,8 triliun, sekitar US$ 7 triliun tersimpan dalam bentuk dolar.

Jika pemerintah Amerika tak punya uang dan gagal memenuhi kewajiban finansialnya alias default, reputasi dolar yang beredar di seluruh dunia bakal hancur. Nilainya rontok, entah jadi berapa. Jika dunia tak bisa percaya lagi kepada pemerintah Amerika dan dolarnya, bagaimana nasib cadangan devisa global senilai US$ 7 triliun itu? Bagaimana pula mematok nilai transaksi internasional jika reputasi alat ukurnya, dolar Amerika, rusak? Tak terbayangkan seberapa besar kerusakan ekonomi dunia jika skenario buruk itu terwujud.

Mengingat risikonya yang sedemikian dahsyat, pasar selalu yakin para politikus di Washington, DC, tak akan membiarkan sistem ekonomi dunia bubar berantakan. Jadi, meski kebat-kebit, pasar umumnya masih tenang di tengah pergelutan politik mengenai plafon utang itu.

Ketika kegentingan makin memuncak, Kamis malam, 7 Oktober lalu, waktu Washington, DC, Senat Amerika akhirnya bersepakat menambah plafon utang sebesar US$ 480 miliar. Pemerintah Amerika selamat, tak jadi kehabisan uang, yang diperkirakan terjadi pada pekan kedua Oktober ini jika tak ada tambahan plafon utang. Namun, patut dicatat, tambahan US$ 480 miliar itu baru solusi sementara. Tambahan utang itu cukup hingga Desember tahun ini saja. Catat tanggal mainnya: dua bulan lagi, “sirkus politik” ini akan berulang.

Yang lebih serius mengancam ekonomi dunia adalah krisis energi di Eropa dan Cina. Ketika harga gas dan batu bara masih melambung, dalam sepekan terakhir harga minyak bumi seolah-olah tak mau kalah, ikut menyusul. Perkiraan para ahli cuaca bahwa musim dingin mendatang bakal lebih membekukan daripada tahun-tahun lalu kian menambah daya dorong terbangnya harga berbagai energi.

Kenaikan harga energi kian mengancam pemulihan ekonomi dunia yang masih rapuh. Perang melawan pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung 20 bulan juga belum sepenuhnya berakhir. Beberapa negara di Asia Tenggara bahkan kembali mengalami lonjakan angka kasus baru. Menggilanya harga energi dapat menurunkan daya beli secara luas. Untuk warga miskin yang tinggal di belahan bumi utara, pilihannya sungguh sulit: kedinginan atau kelaparan.

Ketika daya beli menurun, naiknya harga energi justru mendongkrak inflasi. Di Eropa, inflasi meroket di mana-mana, dari Jerman sampai Polandia. Di Asia, segala macam komoditas dan barang buatan Cina sudah mulai terdorong naik harganya. Naiknya harga jelas akan menurunkan permintaan, terlebih ketika daya beli melemah.

Biasanya, ketika ekonomi melemah, inflasi rendah. Yang terjadi sekarang: pertumbuhan menurun tak jadi melejit, sementara inflasi malah meroket. Inilah kondisi yang paling menakutkan para ekonom, stagflasi. Sementara itu, lemahnya ekonomi membuat lapangan kerja menyempit dan tingkat pengangguran bertambah.

Rentetan efek buruk ini sekarang memang belum sampai ke Indonesia. Apalagi masih ada bantal empuk dari banjir devisa karena naiknya harga batu bara. Tapi, ketika ekonomi global sudah sedemikian terintegrasi, dampak buruk krisis yang amat dalam di luar sana, cepat atau lambat, bakal sampai pula kemari.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus