Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Krisis Likuiditas Di Bursa Jakarta

Bursa Efek Jakarta terlibat lesu. Investor lokal kehabisan likuiditas. soalnya, uang mereka disandera underwriter atau pialang. Titik lemah ada pada penjamin emisi dan juga pialang.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH crash akan melanda Bursa Efek Jakarta? Atau krisis Wall Street ikut menggoyahkan sendisendinya? Diharapkan, tidak. Tapi, memang kebetulan, sejak pekan silam, suasana mulai lesu. "Dagangan tak laku," keluh seorang pialang. Kebanyakan mau menjual, tapi tak ada yang mau membeli. Bahkan, ada yang menjual rugi. Seorang pemilik 1.000 lembar saham Pakuwon Jati telah melepas sahamnya dengan harga Rp 6000 per lembar. Padahal, saham itu dibeli dengan harga Rp 7.300. Berarti ia rugi Rp 1,3 juta. Akhirnya PT Danareksa, penjamin utama emisi saham Pakuwon, turun tangan. Beberapa saat sebelum bursa ditutup, Danareksa memborong 5.000 saham Pakuwon -- Rp 7.900 per lembar. Dan itulah kurs yang keluar di koran-koran. Pada hari yang sama, pialang dari grup Lippo juga serernpak terjun untuk memborong saham Lippo Pasific Finance. Alhasil, saham LPF yang sempat jatuh ke Rp 9.000 bisa didongkrak ke Rp 10.000. Tapi, Senin pekan ini, Danareksa dan Lippo Group tak bergairah lagi untuk jadi juru selamat. T erlalu banyak yang mau menjual, sedangkan permintaan terlalu sedikit. "Agaknya, karena ada isu capitalgain (keuntungan yang diraih dari berjual beli saham) akan dikenakan pajak," kata seorang pialang. Jumat pekan silam, memang, Menteri Keuangan Sumarlin mengungkapkan bahwa Pemerintah akan menerapkan pajak atas capilal gain. "Pengenaannya akan dilakukan setahun sekali, dengan melihat penghasilan wajib pajak yang bersangkutan," kata Sumarlin. "Statement itu hanya membingungkan investor" kata seorang pialang. Tampaknya, investor wajib melakukan pembukuan sendiri. Akan lebih repot jika aparat pajak datang menagih pajak atas capital gain. tanpa memperhitungkan kerugian (capital loss). Sumarlin juga melarang bank memberikan kredit kepada investor. Padahal, bisa-bisa saja investor yang bermain di lantai IV gedung Bursa -- dengan transaksi puluhan juta sehari -- justru bermodalkan pinjaman bank. Pantas, jika mereka mulai menghindar. Tapi, boleh jadi juga, investor lokal sudah kehabisan likuiditas. Soalnya, uang mereka disandera para underwriter atau pialang. Bulan lalu, banyak investor memesan saham Gajah Surya, ada yang memesan 6.000 lembar seharga Rp 51 juta. Ternyata, ia cuma mendapat 1.000 lembar. Uangnya yang Rp 42,5 juta mestinya dikembalikan 6 Oktober lalu, tapi sampai senin pekan ini belum diterimanya. Entah di mana uang itu tersangkut, tanpa bunga. Lebih baik saya simpan di deposito DM," kata pemilik modal tadi. Tampaknya, titik lemah ada pada underwriter dan juga pialang. Barangkali juga karena Bapepam begitu mudah membuka pintu pasar modal. Bulan depan, misalnya, BEJ akan melepas saham Indocement yang bernilai Rp 600 milyar. Dan adalah keliru bila mengandalkan investor asing. Umumnya, mereka membeli saham untuk jangka panjang. Lagi pula, mereka cuma bisa menjamah 49% dari saham yang ditawarkan. Nah, jika investor lokal sudah kehabisan likuiditas atau sudah jera, bagaimana kelangsungan hidup bursa? Itulah soalnya. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus