Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIKAP Kementerian Keuangan soal kenaikan harga bahan bakar minyak makin terang-benderang. Kamis sore pekan lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengingatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahwa kantong pemerintah terancam jebol gara-gara subsidi bahan bakar minyak melonjak tajam. “Kami betul-betul mengharapkan Menteri Energi menjalankan program yang membatasi subsidi,” katanya di kantornya, di Lapangan Banteng, Jakarta.
Bendahara negara itu mencatat, selama empat bulan pertama tahun ini, pemerintah telah membakar subsidi bensin sebesar Rp 29,2 triliun. Itu b erarti 30,4 persen dari jatah subsidi Rp 95,9 triliun tahun ini telah ludes. Agus butuh kepastian segera soal kenaikan harga BBM bersubsidi. Apalagi, sejak harga minyak dunia menyentuh US$ 100 per barel, asumsi makroekonomi berantakan.
Pemerintah sebenarnya telah merancang sistem pembatasan konsumsi bensin bersubsidi. Tapi pelaksanaannya molor terus. Awalnya, gagasan itu akan diberlakukan Oktober 2010. Saat itu mengemuka mobil keluaran di atas 2005 tak boleh minum Premium bersubsidi. Ada rencana lain: mobil pribadi akan dijatah dan kendaraan umum memakai stiker. Namun rencana tersebut ditunda hingga Januari 2011 karena konsepnya belum matang.
Tahun berganti, rencana itu ternyata ditunda lagi hingga April. Alasannya, infrastruktur di stasiun pompa bensin belum siap. Tidak semua stasiun pompa bensin memiliki dispenser Pertamax atau Pertamax Plus. Nyatanya, hingga sekarang, rencana pembatasan bensin bersubsidi itu seperti hilang ditelan bumi.
Hasil kajian tim akademis atas subsidi bensin juga hanya jadi tumpukan kertas di meja Menteri Energi. Tim yang melibatkan peneliti Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia itu-diketuai bekas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu-menyodorkan tiga alternatif pengaturan BBM bersubsidi. Pertama, harga Premium dinaikkan Rp 500 menjadi Rp 5.000 per liter. Khusus angkutan umum mendapat kompensasi pengembalian tunai Rp 500 per liter.
Kedua, bahan bakar mobil pribadi dialihkan ke Pertamax, yang harganya dipatok maksimum Rp 8.000 per liter. Ketiga, harga Premium naik menjadi Rp 5.500 per liter dan, pada saat yang sama, pembelian Premium oleh kendaraan umum serta sepeda motor dengan harga Rp 4.500 per liter dijatah. Rekomendasi tiga universitas itu masih disimpan rapat di dalam laci pemerintah.
Kini Kementerian Keuangan menyalakan kembali sinyal lampu kuning. Ada tiga hal utama yang memicu jebolnya dompet pemerintah: kebijakan pembatasan konsumsi Premium tertunda, volume pemakaian bensin bersubsidi meningkat, dan harga mi nyak mentah mendekati US$ 100. Agus mengingatkan, pemakaian Premium bersubsidi tak boleh lebih dari jatah tahun ini, 38,6 juta kiloliter. “Kalau melampaui, akan mengambil subsidi fi skal.” Sampai triwulan pertama, rea lisasi konsumsi bensin bersubsidi mencapai 9,685 juta kiloliter atau 25 persen dari target anggaran 2011.
Kementerian Keuangan berharap Kementerian Energi mengambil langkah cepat mengerem pembengkakan subsidi. Salah satu caranya adalah menaikkan harga bensin bersubsidi. Toh, kata Agus, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 membol ehkannya. Se suai dengan re gulasi ini, bila perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia naik lebih dari 10 persen dari asumsi dalam anggaran 2011, pemerintah boleh menaikkan harga BBM bersubsidi. Berdasarkan perhitungan, harga rata-rata mi nyak mentah Indonesia saat ini US$ 89,52 atau sudah di atas 10 persen p a t okan APBN sebesar US$ 80 per barel.
Namun keinginan Lapangan Banteng agar harga bensin dinaikkan tampaknya akan menemui jalan terjal. Beberapa menteri ekonomi justru tak mau harga Premium naik. Simak saja pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Kendati rata-rata harga minyak Indonesia telah melampaui 10 persen asumsi makro, kata Hatta, itu tidak akan mendorong pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Alasannya, penguatan rupiah masih mampu mengatasi pembengkakan subsidi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana setali tiga uang dengan Hatta. Dua pekan lalu, Armida mengatakan opsi pembatasan Premium sangat sulit diterapkan karena belum ada mekanisme yang pas buat mengalihkan penggunaan BBM bersubsidi. Menghilangkan subsidi juga tidak mungkin. “Kami menemui banyak masalah di lapangan dalam memberlakukan pembatasan BBM bersubsidi,” ujarnya.
Staf Khusus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Dedi Masykur Riyadi malah mengatakan pemerintah lebih memilih menambah defi sit ketimbang menaikkan harga Premium. Menurut dia, masih ada ruang untuk menambah defi sit. Saat ini, target defi sit anggaran 1,8 persen. Opsi menaikkan harga bensin bersubsidi justru bisa menimbulkan efek berganda, yakni menaikkan harga-harga barang. “Kalau BBM naik, semua naik,” katanya.
Menteri Energi Darwin Zahedy Saleh belum merespons. Tapi Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo mengatakan penaikan harga BBM tidak bisa dilakukan oleh Menteri Energi. “Minimal harus bersama Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan,” kata Evita.
Hatta juga memastikan tak akan ada penghapusan subsidi bensin. Pemerintah lebih memilih merestrukturisasi pola subsidi. “Perubahan pola pemberian subsidi bisa pada harga, bisa saja pada subsidi langsung,” ujarnya. Pemerintah juga terus mendorong masyarakat menggunakan bensin nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertamax Dex.
UNTUK pertama kalinya Firman mampir ke stasiun pengisian bahan bakar non-Pertamina. Kamis siang pekan lalu, pria 30 tahun itu membelokkan setir Honda MegaPro-nya ke pompa bensin Shell di Cikini, Jakarta Pusat. Tiga lembar uang sepuluh ribuan diserahkan kepada petugas. “Ada selisih sedikit, lumayan,” kata karyawan perusahaan swasta itu.
Para penyedia bahan bakar mi nyak nonsubsidi memang bersaing ketat. Empat pemain bisnis ini menawarkan harga kompetitif, plus layanan jasa. Shell, Petronas, dan Total memasang tarif sama, Rp 9.050 per liter untuk bensin oktan 92 dan Rp 9.500 untuk oktan 95. Adapun Pertamina menjual Pertamax Rp 9.250 dan Pertamax Plus Rp 9.550.
Harga bahan bakar diesel malah lebih gila. Total berani mematok paling rendah, Rp 9.600 per liter. Shell dan Petronas menawarkan Rp 9.700. Sedangkan Pertamina Dex Rp 10 ribu. Tak pelak, harga produk Pertamina kini lebih mahal dibanding para pesaingnya. Alasan inilah yang menggiring Firman berpaling ke Shell.
Tentu saja tingginya harga Pertamax ironis di tengah upaya gencar pemerintah dan Pertamina mengimbau pemilik kendaraan, khususnya mobil, menggunakan bensin nonsubsidi itu. Alih-alih pindah ke Pertamax, para pemilik mobil justru makin gila minum Premium. Jangan heran, selama kuartal pertama 2011, konsumsi Pertamax turun 37 persen. Sebaliknya, konsumsi Premium melonjak 25 persen.
Melonjaknya harga Pertamax tak lepas dari kelemahan Pertamina. Seorang pejabat di Kementerian Energi menjelaskan, kurangnya kapasitas kilang Pertamina jadi persoalan utama. Pertamina memiliki enam kilang pengolah, di Dumai, Riau, Plaju, Cilacap, Balongan, Balikpapan, dan Kasim, yang bisa mengolah 1,031 juta barel minyak mentah per hari. Hasilnya bahan bakar minyak 40,6 juta kiloliter setahun.
Padahal kebutuhannya mencapai 50,1 juta kiloliter setahun, yang terdiri atas Premium 22,1 juta kiloliter, solar 21,2 juta, minyak tanah 3,8 juta, dan avtur 3,1 juta. “Premium bikinan kilang sendiri cuma memenuhi kebutuhan konsumsi sebanyak 54 persen, solar sebanyak 86 persen,” ujarnya.
Persoalan lain, tak semua kilang punya unit sekunder yang langsung bisa menghasilkan bahan bakar khusus seperti Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertadex. Walhasil, perusahaan minyak pelat merah ini mesti mengimpor zat aditif pengerek angka oktan (high octane mogas component atau HOMC). Sebagian minyak mentah juga diimpor. Celakanya, barang diperoleh dari pihak ketiga alias trader. “Itu menjadi biaya tersendiri,” kata pejabat itu. Maka harga produk Pertamina sering tak bisa lebih murah dibanding pesaingnya.
Toh, Pertamina tetap pede. Juru bicara Pertamina, Mochammad Harun, mengatakan pembeli Pertamax dan Pertamax Plus tergolong loyal. Kelompok pembeli “kutu loncat”, kata dia, memang telah berpaling kembali ke Premium sejak harga merangkak menjadi Rp 8.500 per liter. Pemerintah kelihatannya sami mawon. Ketimbang menaikkan harga Premium atau mengurangi subsidi bensin, pemerintah cuma berani mengimbau konsumen Premium beralih ke Pertamax.
Kini berbagai spanduk kampanye digeber di semua stasiun pompa bensin Pertamina. Misalnya Gemapadi alias Gerakan Malu Pakai BBM Bersubsidi. Isinya sindiran-sindiran, seperti “Orang Kaya Malu Disubsidi” dan “Mobil Mewah Maunya BBM Murah”. Nyatanya, mobil-mobil mewah masih kerasan mampir ke dispenser kuning berisi Premium bersubsidi.
Fenomena itu bukan hal yang aneh, karena harga Pertamax sudah lebih dari dua kali lipat harga BBM bersubsidi. Itu sebabnya, imbauan saja tampaknya tak akan cukup memadai untuk mencegah orang bermigrasi ke Premium. Salah satu cara yang lebih efektif tak lain menaikkan harga BBM bersubsidi, seperti yang diinginkan Kementerian Keuangan.
Retno Sulistyowati, M. Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo