Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM turun tahta menjelang pertengahan Februari 2011, Husni Mubarak mengatakan, akan terjadi 'khaos' di Mesir jika ia tak ada. Ia bukan meramal. Mungkin ia mengutuk. Tapi mungkin juga ia menyatakan sesuatu yang logis.
Orang malah bisa mengatakan: Mubarak benar.
Di pekan pertama Mei 2011, di distrik Imbaba di Kairo, beberapa orang Muslim mencoba memaksa masuk ke dalam gereja umat Koptik setempat. Mereka menuntut agar seorang perempuan bernama Abir dibebaskan. Mereka yakin, Abir disekap di Gereja Santo Mina itu oleh orang-orang Koptik; wanita itu dikabarkan dicegah masuk Islam.
Dengan mudah desas-desus (yang beredar melalui Twitter) beredar, dan dengan mudah pula kekerasan meledak. Abir bukannya masuk Islam dan ditahan orang Koptik; ia ternyata ada di tahanan tentara, dengan tuduhan melakukan poliandri. Sebelum Abir, Camilla juga dikabarkan masuk Islam dan juga disekap kalangan Koptik. Tapi Camilla ternyata muncul di TV membantah desas-desus yang diedarkan kelompok Salafi tentang dirinya.
Tapi hanya dengan kabar bohong, dua gereja dibakar, 15 orang tewas dan sekitar 240 luka-luka. Kekerasan tak hanya datang dari satu arah. Yasmin el Rashidi menulis laporan dan analisisnya dalam The New York Review of Books edisi 17 Mei 2011 mengisahkan bagaimana serombongan orang Islam dari gerakan Salafi dan beberapa preman mendatangi gereja dengan membawa tongkat dan pedang sambil berseru 'Allahu Akbar'. Di tengah ancaman yan gaduh itu, dari sebuah kafe dekat situ, seorang Koptik mengeluarkan bedil dan menembaki kerumunan orang Islam yang berteriak-teriak itu. Para tetangganya meniru. Tak ayal, perang pun terjadi.
Ledakan itu bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, di awal Maret, sebuah gereja dibuldoser para preman bersenjata, dengan alasan: ada seorang laki-laki Koptik yang berzinah dengan seorang perempuan Muslim. Diambrukkannya gereja itu membuka jalan bagi bentrokan yang ganas. Korban: 13 mati, 140 luka-luka.
Kekerasan seperti itu menyebabkan orang mempersenjatai diri. Kini jual beli gada pemukul banyak ditemukan di sudut-sidit Kairo. 'Di beberapa malam, saya tidur dengan diiringi suara tembakan', tulis Yasmine el Rashidi. Esoknya ia 'bangun dengan suratkabar pagi yang memasang headline tentang kejahatan yang bengis.'
Tapi adakah ini sebuah khaos? Saya punya teori bahwa yang berlangsung justru bukan khaos, melainkan konfrontasi, dan hasrat akan kekuasaan yang utuh, yang membentuk sebagian masyarakat Kairo ke dalam sikap tegas memihak - kalau perlu dengan kekerasan.
Itu sebabnya penguasa militer tampaknya tak hendak membereskan persoalan. Mungkin Marsekal Tantawi, perwira tinggi yang kini memegang kekuasaan negara, membiarkan kekacauan berlanjut. Dengan demikian akan ada alasan dia dan militer dibutuhkan. Ia akan jadi Leviathan yang dahsyat kekuasannnya - Leviathan yang akan dirindukan oleh mereka yang jemu dengan khaos.
Tapi tidak mungkinkah tatanan yang demokratis lahir, karena orang Mesir melihatnya sebagai alternatif hidup bagi kekerasan? Juga alternatif bagi perlunya Leviathan?
Ada satu titik di mana militer dan kaum beragama yang militan bertemu: kedua-duanya menyimpan ketakutan akan hal yang tak terduga-duga, keduanya dirundung kecemasan akan runtuhnya pegangan bersama untuk menegakkan tertib. Maka militer gemar menyodorkan senjata sebagai penjaga, dan sementara itu kaum beragama yang militan menawarkan fiqih dan sanksi Tuhan.
Tapi sejarah membuktikan, bedil yang melahirkan kekuasaan belum tentu bisa efektif mempertahankannya. Kekuasaan tak sekedar membutuhkan kepatuhan sosial yang disebabkan oleh takut. Kekuasaan membutuhkan sejenis iman. Tapi untuk 'iman' itu kaum beragama sering memperlakukan Tuhan dan agama sebagai sarana paling agung bagi tertib masyarakat. Tuhan pun jadi Tuhannya orang-orang yang praktis.
Penyair Jerman Heinrich Heine pernah menulis dengan jenaka tentang Kant, sang filosof. Ia gambarkan Kant berjalan bersama pembantunya di tanah kosong yang luas setelah menulis Kritik der Reinen Vernunft. Dalam buku ini, ditunjukkan bahwa manusia tak tahu apakah Tuhan ada atau tidak.
Sesaat, kata sahibul hikayat, setelah buku itu, Kant pun melihat ke arah pembantunya - dan ia jadi iba: apa jadinya orang ini jika Tuhan tidak ada? Karena belas kasihan itulah Kant pun menulis buku kedua, Kritik der praktischen Vernunft. Di situ ia kembalikan Tuhan dengan memberi-Nya peran sosial. Biarpun kita tak tahu pasti Tuhan itu ada, kita bisa bekerja yang baik dengan menjadikan-Nya 'pembimbing'.
Manusia takut menemukan hal yang tak terduga-duga. Ia waswas memikirkan bahwa Tuhan jangan-jangan sebenarnya sudah mati. Syahdan, seperti dikutip di atas, Mubarak mengatakan bahwa khaos selalu menunggu, jika ia tak ada, baik karena ia pergi atau mati. Tapi ia mungkin tak menyadari, khaos selalu akan tersembul, seandainya pun presiden itu tetap berkuasa.
Maka kehidupan politik yang berhasil agaknya harus bermula dari itu: bukan mengharapkan datangnya Sang Leviathan, tapi mencoba menghargai khaos. Khaos tak bisa disamakan dengan kekerasan. Seperti terjadi di Mesir, justru kekerasan dijalankan oleh orang-orang yang jelas garis demarkasinya. Khaos meniadakan garis demarkasi, berlangsung dengan apa yang tak terduga-duga. Khaos adalah bagian sah dari kehidupan - betapapun anda risau akan dia.
Semoga Tuhan bersama khaos.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo