"BUKU saya tentang tanah dan perkotaan ujar Rio Tambunan, 55 tahun, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta pertama. 1969-1975, ketika menerima Wahyu Muryadi dan Sri Pudyastuti dari TEMPO, Senin malam pekan ini. Pria Batak itu tampak santai. Berikut petikan wawancara dengan Rio Tambunan, Sekjen International Union of Local Authoritarian (IULA) -- Badan Kerja Sama Antar-Pemerintah Daerah Sedunia. Tentang awal masuknya developer di Segi Tiga Emas. Waktu Bang Ali (Sadikin) jadi gubernur, memang ada permohonan satu-dua pengusaha untuk membangun real estate. Dan Bang Ali setuju. Karena masalahnya masih baru, saya diminta membuat makalah: apa untung rugi membangun secara real estate. Nah, inilah yang kemudian dipegang beliau. Antara lairl, supaya pembangunan itu sesuai dengan masterplan. Juga diatur hak-hak (atas tanah) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bang Ali sadar sekali bahwa dengan sistem real estate, maka hak yang diberikan bukan lagi hak milik, tapi hak guna bangunan. Nah, karena itulah saya tetapkan ada batas minimal, yakni 5 hektare. Batas maksimalnya 75 hektare. Ini supaya orang jangan membangun kota sendiri. Tentang kekhususan yang diberikan kepada PT Sanusi United Builders (SUB). Tak ada yang dapat tanah ratusan hektare, kecuali H. Muchtar Sanusi (Dirut PT SUB), 1971. Memang ada kekhususan, karena kavlingnya saat itu besar-besar. Lagi pula, rencananya, akan menjadi kompleks duta besar, lapangan golf, dan untuk pejabat eselon 2 dan 3 yang dibangun oleh PT Sanusi United Builders. Dia menyanggupi untuk membangun. Saya lebih senang menyebut tempat itu Kuningan saja. Tentang mahalnya harga tanah di Segi Tiga Emas. Tahun 1970-an, harga tanah di Kuningan hanya Rp 2 ribu. Itu pun yang ada bangunannya. Kalau tak ada, hanya Rp 600-Rp 1.000 per m2. Ini bukan ditentukan oleh hukum supply dan demand, tapi oleh 27 faktor dominan dalam menentukan nilai tanah. Bukan nilai intrinsiknya, tapi nilai ekstrinsik. Kalau di kota, walau berawa, asal ada jalan itu sudah cukup. Dan yang menentukan nilai intrinsik waktu itu, Dinas Tata Kota. Tentang hubungan antara Rio Tambunan dan Muchtar Sanusi. Begitu Pak Sanusi mau membangun, mata orang mulai tertuju ke Kuningan. Waktu itu Pertamina butuh rumah untuk tenaga ahlinya. Rupanya, bergabunglah Pertamina dengan kelompok bisnis tertentu yang ingin menjatuhkan Pak Sanusi. Beliau digoyang terus, sampai-sampai saya dituding sebagai budak Haji Sanusi. Padahal, tak ada maksud lain. Kepada saya ditawarkan Rp 2 milyar, tapi saya tolak mentah-mentah. Saya marah. Tapi Pak Sanusi digoyang terus. Maka, jatuhlah dia. Akhirnya, saya gabungkan saja antara kelompok Yan Darmadi dan Sanusi. Sehingga keluar istilah: Town & City Properties. Tentang pindah tangannya pengelola PT Town & City Properties dari Muchtar Sanusi cs ke Astra. Jangan tanyakan itu kepada saya. Yang jelas, dalam diktumnya disebutkan: tidak boleh dipindahtangankan. Saya kemudian minta cuti 3 minggu, tapi saya malah dicutikan 3 bulan. Pada saat itulah Pak Sanusi disingkirkan. Tentang pesatnya perkembangan kawasan Segi Tiga Emas, Jakarta. Saya tidak memperkirakan Kuningan akan berkembang begitu pesat. Dulu, daerah itu diperuntukkan bagi rumah-rumah dan kantor kedubes. Sekarang, saya lihat ada restoran dan macam-macam. Kalau menurut teori planologi: Jangan sampai pembangunan yang sekarang, merugikan kepentingan umum. Mestinya, perencanaan awal diutamakan. Harus sama dengan master plan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini