KAPAS perkebunan negara makin sulit saja dipintal. Di dalam kemasannya sering dijumpai bermacam-macam benda asing dan kotoran lain. Berat setiap balnya, sialnya, sering kurang dari bobot standar, 225 kg. Dan terakhir, jangan kaget, meskipun keadaannya sudah sedemikian kusut, harganya kini berada di pucuk pohon cemara: sudah lebih mahal hampir 30% dibandingkan sebelum devaluasi. Naiknya harga kapas perkebunan negara, yang ditetapkan sejak Oktober lalu itu, tentu saja, membuat dongkol pihak industri pemintalan. Sebab, mereka yang belum sempat menebus jatah kapas perkebunan lewat PT Cerat Bina Tekstil Indonesia otomatis harus membelinya dengan harga baru itu. "Perusahaan pemintalan, sebenarnya, sudah mau membayar. Eh, setelah devaluasi, pihak perkebunan hanya mau melepas dengan harga baru," kata Fahmy Chatib, Sekjen CBTI. Menurut anggapan Fahmy, kenaikan secara sepihak itu, sebenarnya, tak bisa dilakukan, karena pihak perkebunan dan industri pemintalan sudah sama-sama terikat kontrak. "Apalagi untuk menghasilkan kapas itu, perkebunan tidak memerlukan komponen impor dari luar negeri," tambah Fahmy. Tapi pihak perkebunan tetap saja menaikkan harga kapas serat menengah kualitas rendah 1 inci 1/16, dari sekitar Rp 1.600 jadi Rp 2.000 per kg, sampai di pelabuhan Surabaya. Tentu saja, pihak Departemen Pertanian, yang membawahkan empat perkebunan negara, punya alasan cukup kuat untuk menaikkan harga jual kapasnya. Menurut sebuah sumber di sana, mutu kapas perkebunan negara, sebenarnya, tak kalah dengan yang impor. Namun, karena sebab tak jelas, kapas lokal itu ternyata lebih banyak digunakan untuk membuat benang kasar jenis 40 s -- padahal, seharusnya lebih cocok dipakai untuk menghasilkan benang 60 s atau 80 s. Karena mutunya dianggap sama dengan kapas impor, harganya, "Ya, harus mengikuti harga kapas impor," kata sumber di Departemen Pertanian itu. Benar tidaknya anggapan soal mutu itu, tentu, hanya pihak industri pemintalan yang tahu. Yang sudah pasti, di dalam kemasan kapas perkebunan itu sering ditemukan bungkus plastik, rambut-rambut, dan benang rafia. Bila kapas itu kemudian dipintal, demikian pengaduan PT Danliris (Surakarta) kepada CBTI, mutu benang dan kain mori kain bahan batik yang disebut grey -- yang dihasilkannya merosot kualitasnya. Akibatnya, Danliris terpaksa memikul kerugian Rp 220 juta dari usahanya memintal 990 ton kapas lokal, sementara dari kain grey rugi Rp 42 juta. Danliris juga pernah dikirimi kursi lipat yang dibungkus rapi di dalam kemasan kapas lokal -- entah itu kerugian atau keuntungan tersendiri. Karena alasan itu pula, direksi Mermaid Textile Industry menganjurkan agar, dalam memetik kapas, para petani menggunakan pembungkus dari kain -- bukan karung plastik anyaman. "Karena anyamannya mudah lepas, sehingga gampang tercampur dengan kapas," kata M. Tanaka, Direktur Pemasaran Mermaid. Soal kapas kotor itu, menurut seorang pejabat di Departemen Pertanian, sebenarnya, hal yang wajar. Sebab, kapas impor macam yang dari Amerika itu kadang suka juga tercampur ceceran oli dan baru ketahuan setelah diberi warna. "Sebenarnya, kalau mereka mau, bisa klaim," kata pejabat itu. "Tapi mereka biasanya mengatakan kapasnya sudah telanjur diproses." Apa pun alasannya, industri pemintalan sudah telanjur segan mengambil kapas lokal. Apalagi harganya sebelum devaluasi jauh lebih mahal dibandingkan kapas impor. Bayangkan saja, ketika kapas eks Amerika terbaik bisa diperoleh dengan hanya Rp 1.350, kapas lokal itu harus ditebus dengan harga Rp 1.650 per kg. Supaya pabrik pemintalan mau membeli kapas lokal, pemerintah kemudian mengharuskan mereka membeli satu kg kapas lokal untuk setiap pembelian 10 kg kapas impor. Kendati sudah disorong-sorongkan, dan disodok dengan peraturan begitu, jatah kapas lokal yang seharusnya bisa diserap habis Juli lalu, ternyata, masih sisa 2.141 bal atau sekitar 481 ton. Menurut Fahmy Chatib, sisa jatah itu sesungguhnya merupakan alokasi yang seharusnya dibeli tujuh industri pemintalan. Tapi bila sisa jatah itu hendak diambil, soalnya ternyata tidak mudah. Sebab, "Sekarang pihak perkebunan negara justru minta agar sisa kapas itu jangan diambil kalau harga tidak dinaikkan," katanya. Nah, sampai di sini, apakah masih ada yang berpendapat, kapas lokal itu mudah dan murah untuk dipintal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini