SAYA punya seorang teman yang aneh. Ia seorang immunologist yang pernah menjadi ketua jurusan di Universitas California, Irvine. Ditambah lagi dengan praktek lepasnya, Donald Raidt Ph.D. mampu membiayai kehidupan yang cukup mewah. Sebuah rumah 300 m2 dengan halaman luas di Laguna Beach, sebuah pesawat terbang bermesin dua untuk menyalurkan hobinya, sebuah perahu layar sepanjang 15 meter yang ditambat di marina mewah Intercontinental Hotel San Diego, dan beberapa buah mobil -- di antaranya sebuah Mercedes Benz. Tetapi, pada 1983, ia tiba-tiba mengubah haluan hidupnya. Ia hanya mengajar di fakultas kedokteran sekali seminggu dengan gaji yang tentu saja lebih kecil. Ia malah menerima tantangan baru yang sama sekali tak memberinya keuntungan komersial: mengepalai sebuah program di universitas itu untuk melatih para mahasiswa menguasai teknik berlayar. Program itu sendiri tak menerima bantuan keuangan dari sistem Universitas California yang punya berbagai kampus. Jadi, Don juga merangkap jadi "pengemis", yang ke sana kemari mencari dana untuk menjalankan programnya. Terengah-engah, masih dengan bajunya yang basah karena hujan, di atas perahu layar Shine On, Don berkata bahwa di situlah letak kebahagiaan hidupnya. "Kau lihat sendiri betapa bahagia dan penuh minat para mahasiswa itu tadi," kata Don. Setiap musim programnya menerima 1.000 mahasiswa 4.000 dalam setahun. Don tidak mengorbankan kemewahan hidupnya. Ia bahkan telah menambahkan kemewahan yang jarang dimiliki orang dalam hidupnya. Ketika melihat Don tidur kelelahan, mlingker di ambin perahunya, saya sadar -- dan sekaligus iri -- bahwa ia telah menemukan tujuan hidupnya: mengabdi kepada orang lain, dan sekaligus membahagiakan dirinya. Berapakah di antara kita yang sudah mencapai titik itu? Sebagian dari kita masih bekerja karena ingin dapat cuti ke Amerika setiap tahun. Atau, karena cicilan rumah dan mobil masih harus terus dibayar. Kecuali para workaholics, masih banyak orang yang sebenarnya merasa salah tempat pada pekerjaannya. Saya sendiri punya cita-cita untuk dapat melayani masyarakat di pedalaman Kalimantan, tetapi anak-anak saya masih harus menyelesaikan sekolahnya yang perlu biaya tinggi, dan tak dapat saya bayar bila saya bekerja di pedalaman Kalimantan sana. Kita, akhirnya, memang harus menyadari bahwa semua orang mempunyai cita-cita hidupnya. Itu paling sering muncul ketika kita menghadapi seorang karyawan yang tiba-tiba menyatakan ingin berhenti bekerja. Padahal, ia adalah seorang pekerja yang tangguh dan dapat diandalkan. Ia ingin berhenti bukan karena ia ingin mencari ladang yang lebih hijau, alias pekerjaan yang memberinya lebih banyak keuntungan materiil. Tetapi, karena ia ingin melakukan pekerjaan yang lebih sesuai dengan panggilan nuraninya. Dalam keadaan seperti itu, apa yang dapat dilakukan oleh seorang pimpinan? Pertama, ia harus menyelidiki apakah alasan karyawan itu keluar benar-benar karena hal yang diutarakannya. Adakalanya seseorang ingin keluar karena melihat adanya kebobrokan besar dalam organisasinya dan tak mampu merombaknya karena atasannya sendiri menjadi biang kebobrokan itu. Atau, mungkin saja ia mempunyai sebuah rencana dan gagasan besar yang tak pernah diterima atasannya dan membuatnya frustrasi karena ia yakin bahwa gagasan itu akan meningkatkan produktivitas. Jelaslah bahwa begitu banyak hal yang sebenarnya dapat diserap dari seseorang yang akan berhenti bekerja. Tetapi harus pula diketahui bahwa banyak alasan berhenti bekerja yang memang sangat pribadi sifatnya. Seorang pekerja wanita mungkin saja harus berhenti bekerja karena ia lebih ingin berfungsi sebagai ibu rumah tangga. Seorang anak yang sakit dalam keluarga, dan dinasihati dokter untuk tinggal di daerah pantai, bisa saja membuat seorang ayah meminta izin berhenti bekerja, lalu pindah rumah di dekat pantai dan mencari pekerjaan di dekat situ. Hal-hal semacam itu perlu diakui kehadirannya. Seorang pemimpin tidak perlu harus selalu curiga bahwa karyawannya berhenti karena ditawari pekerjaan dengan gaji dan jabatan yang baik. Seorang teman saya pernah terpaksa melepas sekretarisnya yang sangat baik karena ia melahirkan anak dan memutuskan untuk tinggal di rumah membesarkan anaknya. Pemutusan hubungan kerja berjalan dengan baik. Teman saya itu bahkan masih mengirimkan beberapa pekerjaan terjemahan untuk dikerjakan di rumah oleh bekas sekretarisnya itu. Ia memetik hasilnya beberapa tahun kemudian ketika sekretarisnya mendadak sakit dan harus cuti sebulan. Bekas sekretarisnya dengan senang hati lalu menggantikan sekretaris yang sakit itu selama sebulan. Hal itu tak akan terjadi bila pemutusan hubungan kerja dulu terjadi dengan kepahitan. Seorang teman lain bahkan memodali seorang karyawannya yang memutuskan untuk berhenti bekerja karena ingin berwirausaha. Bekas karyawannya itu kemudian ternyata menjadi pemasok (supplier) yang dapat diandalkan bagi perusahaan teman saya itu. Keputusan untuk berhenti bekerja memang bukan keputusan yang gampang. Apalagi bila bukan karena ada pekerjaan lain yang lebih baik. Seorang pimpinan yang baik perlu membantu karyawannya melewati masa sulit itu untuk menghadapi masa depannya. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini