PIL pahit devaluasi sudah lalu dari kerongkongan. Kini tinggal menunggu khasiatnya. Dan yang pertama kali mengalami kemujaraban ini barangkali industri kawat baja Indonesia, yang ekspornya tahun ini naik 200 persen dibanding tahun lalu, hingga menjadi pemasok nomor 9 terbesar di AS dengan nilai hampir lima juta dolar. Ini sempat membuat industriwan lokal AS mencak-mencak dan menuding Indonesia melakukan dumping. Karena itu, mereka menuntut agar barang dari Indonesia tersebut dikenai bea dumping yang bisa mencapai 40 persen besarnya. Gubernur BI Arifin Siregar, ketika menerima Bambang Harymurti dari TEMPO di Hotel Sheraton Washington, bicara tentang untung rugi devaluasi, Senin lalu. Berikut petikan wawancaranya: Mengenai melonjaknya SDR Debt to service ratio adalah perbandingan antara jumlah cicilan dan utang yang dibayar dan penerimaan ekspor. Memang rasio ini sckarang berada di atas 30 persen. Tapi bukan cicilan dan bunga utangnya yang melonjak, melainkan karena penerimaan ekspornya yang menurun sampai 25%, terutama karena menurunnya harga minyak. Kenaikan mata uang non-dolar terhadap dolar juga membuat besarnya utang Indonesia dalam besaran dolar AS menaik. Besarnya utang Sampai Maret 1986, utang pemerintah Indonesia sekitar 29 milyar dolar AS. Utang dalam mata uang non-dolar cukup besar juga hendati tak sampai 50 persen. Tujuh puluh lima persen dan utang itu bersifat lunak, yaitu yang disebut ODA, dan hanya 20 hingga 25 persen saja yang komersial. Untung rugi devaluasi Perlu saya jelaskan bahwa anggapan sementara pengamat ekonomi yang mengatakan bahwa pemerintah mendapat keuntungan rupiah dari devaluasi adalah tak benar. Dahulu memang benar, karena penerimaan dalam dolar lebih besar dari pengeluaran dalam mata uang itu. Sekarang hal itu tak terjadi. Tujuan devaluasi itu ada beberapa, antara lain peningkatan ekspor dan penurunan impor. Juga defisit neraca pembayaran tanpa devaluasi bisa mencapai 6 milyar dolar. Dengan adanya devaluasi, defisit itu dapat ditekan menjadi tiga setengah atau empat milyar dolar saja. Memang betul cicilan utang yang harus dibayar dalam rupiah melonjak, tetapi penerimaan dari ekspor juga mengalami hal yang sama. Devaluasi diharapkan akan menyebabkan tindakan penghematan di segala pihak. Juga bahan baku lokal untuk industri jadi bisa lebih bersaing terhadap bahan baku impor, sehingga diharapkan bisa terjadi peralihan. Tentang "denda" dari Bank Dunia sebesar 8 juta dolar AS Itu bukan denda, melainkan commitment fee. Ini bukan kita sengaja tak memanfaatkan pinjaman tersebut, melainkan karena hambatan teknis dalam mencairkannya, misalnya saja hambatan pelaksanaan proyek karena kesulitan pembebasan tanah, atau tendernya dianggap kurang sempurna. Karena itu, sekarang dibentuk tim khusus disbursement untuk mengatasi masalah ini. Perlu tidaknya penjadwalan kembali utang luar negeri Kami menganggap hal itu tak perlu dilakukan, dan tak ada niat untuk melakukannya. Komentar pejabat Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional tentang devaluasi Mereka umumnya menganggap pemerintah Indonesia telah mengambil tindakan yang tepat dan berani pada waktu yang sesuai. Tentang masa depan Kita harapkan harga minyak akan menaik kembali dan ekspor nonmigas terangsang dengan adanya devaluasi ini. Dengan begiiu, debt to service kita akan menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini