SEJAK pajak menjadi sumber penerimaan Pemerintah yang paling diandalkan APBN, di negeri ini hampir tak ada lagi barang atau jasa yang bebas dari "incaran" Ditjen Pajak. Tak mengherankan bila pengusaha selalu mencari celah-celah kelemahan peraturan pajak, termasuk yang bergerak di bisnis eceran. Tapi Pemerintah bergerak lebih cepat. Apalagi ada pengusaha eceran yang beromzet trilyunan rupiah. Maka awal tahun 1992 Pemerintah menurunkan sebuah peraturan baru. Dalam regulasi yang diteken 31 Desember 1991 itu disebutkan bahwa para pedagang eceran yang beromzet minimal Rp 1 milyar setahun akan dikenakan PPN tambahan sebesar 10%. Kebijaksanaan ini tampaknya berkait erat dengan target Ditjen Pajak yang dipatok untuk memasukkan pendapatan dari PPN tahun anggaran 1992-93 sebesar Rp 11,03 trilyun (naik 34% dari tahun anggaran sebelumnya). Dan perolehan pajak dari para pengecer modern ini diperkirakan akan berlipatganda. Soalnya, selain departemen store dan supermarket, dengan adanya peraturan ini para pedagang pemegang franchise, seperti Burger King, Pizza Hut, dan Kentucky Fried Chicken, praktis masuk jaring. Selain itu pedagang kelas grosir -- yang juga beromzet di atas Rp 1 milyar -- akan banyak yang masuk "perangkap". Sebagai ilustrasi, bertambahnya penghasilan pajak dari sektor eceran ini bisa ditinjau dari Hero Supermarket. Dengan 37 cabangnya, Hero tahun lalu berhasil meraih laba sebelum pajak sebesar Rp 57,8 milyar. Dari jumlah ini, menurut Direktur Steve Sondakh, hanya Rp 14,1 milyar yang masuk kantong. Ini berarti Rp 43,67 milyar disetorkan sebagai pajak kepada Pemerintah. Lalu dengan diberlakukannya peraturan baru tersebut "setoran" Hero bisa berlipat dua. Katakanlah target penjualan yang dipatok Steve tahun ini (sebesar Rp 0,5 trilyun) tercapai. Dari sini saja Hero harus membayar PPN tambahan 10% atau sekitar Rp 50 milyar dari jumlah tersebut. Itu baru dari 47 cabang Hero, sedangkan pasar eceran modern yang ada di Indonesia kini jumlahnya tak kurang dari 633 cabang. Kalau itu benar, maka Steve tentu tidak sesumbar ketika mengatakan, "Sejak awal kami sudah membayar 1.001 macam pajak". Maksudnya, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, PBB, hingga pajak bilbor. Kuat dugaan bahwa aneka pajak itu pulalah yang akhirnya mendorong munculnya bisnis eceran yang memakai sistem jual langsung (direct selling) kepada konsumen. Berbicara tentang jual langsung, seorang manajer toserba mengumpamakannya sebagai hal yang 100% berlawanan dengan supermarket dan departemen store. "Bagaikan gelap dan terang," katanya. Maksud sinyalemen ini adalah kewajiban pajak toserba, selain lebih banyak macamnya, juga gampang dideteksi karena memakai pembukuan sistem terbuka. Lantas bagaimana penarikan pajak atas direct selling, yang kebanyakan menjajakan barang-barang impor, seperti kosmetik, deterjen, dan aneka kebutuhan rumah tangga? Menurut seorang pengamat bisnis eceran, sektor inilah yang paling gampang menyelundupkan pajak. Dalam hal omzet, misalnya. Karena menggunakan jasa tenaga-tenaga lepas, pengecer yang memakai sistem ini diduga tidak melaporkan seluruh hasil penjualannya. Tujuannya tentu untuk memperkecil PPh yang harus dibayar. Tapi tuduhan semena-mena itu segera dibantah. Avon Indonesia, misalnya, mengaku selain membayar PPN 10% (yang berdasarkan omzet di atas Rp 1 milyar), juga membayar pajak barang mewah. Begitu pun PT Citra Nusa Insan Cemerlang (CNI), yang mendistribusikan produk-produk Sun Chlorella. Menurut S. Abrian N., Direktur Eksekutif CNI, untuk PPh dari 90 ribu distributor saja, pihaknya tahun lalu menyetorkan tak kurang dari Rp 1 milyar. Di sini CNI memang bertindak sebagai kolektor pajak. Caranya, setiap pembelian yang dilakukan distributor individual (demikian istilah para penjaja ini), selalu dibebani PPN. Begitupun ketika mereka menerima komisi, terlebih dahulu pasti dipotong untuk PPh sebesar 15%. Jumlah totalnya, kata Abrian, jauh lebih besar ketimbang PPh distributor yang cuma Rp 1 milyar itu. Sampai-sampai, ketika pihak CNI pertama kali melakukan penyetoran, pihak pajak menjadi bingung. "Akhirnya PPh yang kami setorkan dimasukkan sebagai pajak komisi tidak tetap," kata Abrian. Antara CNI dan supermarket atau departemen store bahkan boleh dibilang tak banyak berbeda. Karena memasang bilbor dan memakai gedung, CNI juga membayar PBB dan pajak bilbor. "Bedanya hanya satu, kami tidak mempunyai banyak karyawan tetap," ujar direktur CNI itu terus terang. Yang lurus seperti CNI tentu tidak semua. Bahkan ada beberapa perusahaan direct selling yang tampaknya "mengendap-endap". Misalnya, mereka tidak menyewa gedung untuk keperluan kantor, cukup memanfaatkan rumah tinggal. Dalam hal berpromosi, sebagian besar juga tidak mengandalkan iklan. Ini demi efisiensi dengan tujuan memperkecil pajak. Dan kalau sudah mengendap-endap, seperti yang pernah dituturkan seorang pengamat ekonomi, omzet mereka pun biasanya disembunyikan dengan rapi. Budi Kusumah, Siti Nurbaiti, Diah Purnomowati, dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini