BESOK Anda barangkali akan dihubungi oleh seorang rekan atau saudara, yang ternyata telah menjadi distributor alat keperluan rumah tangga. Teman atau saudara Anda tersebut di samping berceloteh tentang usahanya yang baru, juga bersedia datang ke tempat Anda. Dengan segala senang hati, ia akan menunjukkan keistimewaan barang dagangannya. Dan Anda akan dipikat untuk membeli produk-produk yang tidak dijual di toko atau pasar swalayan mana pun. Bagi orang-orang yang sibuk, tawaran seperti itu tentu menarik. Apalagi si penjual sudah dikenal. Itulah penyebaran barang yang di negeri asalnya, Amerika Serikat, disebut direct selling (jual langsung). Dalam transaksi bisnis seperti ini konsumen cukup dimanjakan. Misalnya, ia boleh minta bukti bagi kualitas produk yang ditaksirnya. Permintaan itu mudah dipenuhi karena para distributor jual langsung adalah juga pemakai komoditi yang ditawarkannya. Mungkin sekali, ia pun dianjurkan untuk membuktikan sendiri kualitas barang sebelum ditawarkan ke calon konsumen. Selain itu ada jaminan uang kembali jika ternyata ada produk yang tidak cocok bagi konsumennya. Berbeda dengan sistem penjualan barang door to door (dari pintu ke pintu), direct selling hanya menjual kepada pihak yang sudah dikenal atau melalui rekomendasi orang yang telah dikenal calon pembeli. Mengetuk pintu rumah sembarang orang seperti yang dilakukan salesgirl atau salesman berseragam, sama sekali diharamkan dalam sistem jual langsung. Ketentuan itu berlaku umum dan telah digariskan oleh pemegang merek-merek yang menggantungkan penjualannya pada direct selling. Mereka rupanya berpendapat bahwa pembeli harus dilayani (seraya diincar koceknya), bukan diterkam. Di Malaysia sistem jual langsung sudah dikenal sejak 18 tahun lalu. Di Indonesia kita telah mengenal Sun Chlorella (sejak 1986), yang Oktober ini berubah nama menjadi PT Centranusa Insancemerlang -- singkatnya, CNI -- yang bisa juga berarti Creative Network International. Yang disebut terakhir ini adalah jaringan pemasaran yang bekerja sama dengan Sun Chlorella Jepang dan Niso Iwai. Menurut Direktur Eksekutif PT Nusantara Sun Chlorella S. Abrian N., perubahan nama dilakukan karena produk yang dijualnya -- paling terkenal adalah vitamin penambah daya tahan tubuh -- sudah 40 macam. Sekarang CNI telah memiliki 90 ribu distributor di seantero Indonesia -- mayoritas ibu rumah tangga. Dari mereka telah dapat dikumpulkan pajak (PPh 15%) sebesar Rp 1 milyar pada tahun 1991. CNI tahun ini memperkirakan target omzet Rp 40 milyar dan tahun depan menjadi Rp 50 milyar. Semua itu dicapai oleh pemegang merek tanpa keluar keringat, bahkan juga tanpa mengucurkan dana segar -- misalnya untuk pemasaran atau promosi. Bahkan tak perlu membangun tambahan toko, seperti yang ditempuh pasar swalayan kalau ingin melebarkan pasar. Andalan jual langsung adalah para distributor perorangan itu, yang membangun jaringan secara bertingkat-tingkat dan berkembang seperti amuba -- dari satu mencari lima anggota baru, yang lima ini masing-masing bisa mencari lima orang baru lagi, dan seterusnya. Mereka bergerak demi komisi atau potongan harga. Makin besar hasil penjualannya, makin banyak rabat yang diperolehnya. Cara seperti itulah yang juga dikembangkan oleh Avon, penghasil perlengkapan kecantikan. Diakui oleh Regional Manager PT Avon Indonesia, Agung Karso Sardjono, bahwa kegiatan direct selling cenderung makin besar. "Kebetulan kami masuk pada saat yang tepat, ketika masyarakat sudah mulai mengenalnya," ungkap Agung. PT Avon Indonesia, mitra lokal dari induk Avon di AS, memang baru bergerak pada tahun 1989 atau tiga tahun sesudah Sun Chlorella. Kini tingkat penjualan Avon di Indonesia sekitar 200 ribu unit barang kecantikan per bulan. Dan Agung optimistis peningkatan penjualan akan bisa dicapai. "Orang sekarang sudah mulai manja dan tidak mau jalan jauh-jauh hanya untuk membeli satu lipstik. Ada kecenderungan memilih barang yang ditawarkan melalui direct selling. Dan saya tidak yakin, penduduk Indonesia banyak yang berprinsip bahwa belanja itu juga merupakan rekreasi," katanya bersemangat. Pernyataannya tidak berlebihan. Amway (American Way), perusahaan AS yang sudah jadi raksasa dunia di bidang produk kebutuhan rumah tangga (dari shampo sampai cairan pembersih mobil), juga masuk ke sini. Juga melalui direct selling. Keputusan Amway masuk Indonesia diambil setelah riset selama tiga tahun. "Kami telah mengamati pertumbuhan sosial ekonomi di sini dan bagaimana orang membelanjakan uangnya," kata Presiden Direktur Amway Indonesia Peter Beaumont kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Sedikit berpromosi, Peter manambahkan, "Tak kurang penting adalah bagaimana Pemerintah makin meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Faktor ini penting, mengingat produk-produk Amway dibuat agar tidak berdampak jelek bagi lingkungan." Sesuai dengan peraturan bahwa investor asing diharamkan investasi langsung di bidang eceran, Amway harus bekerja sama dengan pengusaha lokal. Mitra lokalnya adalah Amindoway Jaya (milik bos Airvast Frank D. Reuneker, yang telah menanam modal Rp 150 juta). Sebagai penyalur, Amindoway Jaya telah menggalang 14 ribu distributor yang bekerja berdasarkan komisi. Dari pabriknya di AS, barang-barang itu diimpor oleh PT Amway Indonesia, perusahaan dengan investasi US$ 15 juta, hasil patungan Frank Reuneker (20%) dengan Amway (80%). Sesudah Amway -- mulai beroperasi di sini sejak pertengahan tahun ini -- menyusul L'Arome International. Perusahaan ini kabarnya akan meluncurkan produk ke masyarakat mulai pertengahan November depan. Banyak produk akan ditawarkan, termasuk nutrisi dan penjernih air. Tapi andalannya tetap kosmetik. L'Arome yang dari Inggris itu di sini bekerja sama dengan PT Dirsa Ultra Kosmetika (Tiga Raksa Group). "Pengusaha mana yang tak membelalakkan matanya melihat potensi pasar di Indonesia," kata General Manager L'Arome Indonesia, Betty E. Agraviador, ketika diajak bicara soal pemasaran. Direct selling, yang belakangan juga dikenal dengan nama multi level marketing (MLM), adalah semacam "agama" baru dalam bisnis eceran, yang sudah dikenal di Amerika Serikat sejak akhir 1940-an. Hasilnya memang efektif karena menggebrak pasar ke konsumen perorangan. Mereka malah tidak memiliki toko dan pantang menjual barangnya lewat supermarket. Kiatnya yang lain ialah memanfaatkan beberapa kelemahan sistem penjualan di pasar swalayan, yang kontrol kualitasnya sering kedodoran -- karena terlalu banyak item dan merek. Lagi pula di supermarket para konsumen sering merasa dikepung sederet barang, tanpa sempat berdialog untuk mengecek mutu produk, seperti yang bisa dilakukan konsumen lewat direct selling. Apakah dengan demikian supermarket akan terancam oleh jaringan direct selling? Direktur Hero Supermarket, Steve Sondakh, menggelengkan kepala. "Saya kira makanan dan minuman masih sulit dipasarkan secara direct selling. Dan karena 80% jualan Hero terdiri dari makanan dan minuman, sementara yang non-makanan hanya 20%, direct selling tak akan banyak mengancam kami," kata Steve. Tapi Store Manager Gelael M.T. Haryono, Djoko Nurtjahyo, yakin bahwa konsumen akan tetap datang ke supermarket. Kecuali karena tidak semua produk bisa dijual langsung, banyak keluarga yang menganggap supermarket sebagai tempat santai. Sementara ibu berbelanja, anak-anaknya bisa bermain di bagian lain, dan sang ayah nongkrong di kafe. "Apalagi kalau akhir pekan, mereka datang berbondong-bondong," kata Djoko. Mohamad Cholid, Toriq Hadad, Diah Purnomowati, Dwi Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini