Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA beristirahat enam jam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar sejumlah pertemuan secara maraton begitu tiba di Tanah Air pada Selasa pekan lalu. Kesibukan Presiden seusai kunjungan ke Portugal, Amerika Serikat, dan Jepang itu gara-gara politikus Partai Demokrat mundur dalam voting pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang berakibat hilangnya pemilihan langsung.
Tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Yudhoyono menggelar rapat kabinet terbatas bersama Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; Jaksa Agung Basrief Arief; serta Menteri Hukum Amir Syamsuddin dan wakilnya, Denny Indrayana. Kecuali Djoko, menteri-menteri itu tak ikut lawatan Presiden ke luar negeri.
Tak ada hal baru yang dihasilkan dari rapat itu selain penegasan kembali keinginan Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Keinginan itu ia lontarkan sejak masih di Washington, Amerika Serikat, beberapa jam seusai voting, lewat pidato yang diunggah ke YouTube. Yudhoyono meminta draf tersebut harus selesai malam itu juga. "Saya konfirmasikan pertemuannya, tapi tak bisa mengkonfirmasi isi rapatnya," kata Denny kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Sepuluh jam seusai pertemuan Halim, Yudhoyono tiba di Hotel Sultan, Jakarta. Di sana, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro mengundang semua anggota fraksinya di Dewan Perwakilan Rakyat. Agenda rapat tertutup itu hanya satu: mendengarkan arahan Ketua Umum Partai Demokrat Yudhoyono.
Menurut seorang pengurus harian partai ini, Yudhoyono mengatakan "telah terjadi miskomunikasi" antara dia dan anggota Fraksi Demokrat yang kemudian membuat para politikus itu meninggalkan ruang sidang. Alih-alih menyalahkan Ketua Fraksi Nurhayati Assegaf-yang kepada pers mengaku memutuskan langkah politik itu-Yudhoyono justru memujinya.
Yudhoyono menilai Nurhayati dan 129 anggota fraksi partainya telah all-out memasukkan opsi ketiga dalam voting, yakni pemilihan langsung kepala daerah dengan menyerap sepuluh syarat perbaikan. "Kalaupun ada yang keliru, itu tanggung jawab saya," ujar Yudhoyono, ditirukan peserta rapat. Hal itu berkebalikan dengan pernyataan Yudhoyono di Amerika Serikat, sehari setelah voting, yang meminta Dewan Kehormatan Demokrat mengusut "dalang walkout".
Keputusan keluar dari ruang sidang itu membuat koalisi penyokong Prabowo Subianto memenangi voting. Mereka mendukung pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Nurhayati kemudian mengklarifikasi bahwa ia sendiri yang punya inisiatif itu. "Mengapa partai lain yang setuju dengan kami tak ikut walkout juga?" ucapnya.
Adapun Sutan Bhatoegana, anggota Fraksi Demokrat, mengatakan ada kesalahan menangkap pesan Yudhoyono oleh petinggi fraksinya di DPR. "Ketua Umum memerintahkan all-out, Ketua Fraksi malah memerintahkan walkout," kata Sutan.
Dalam pidatonya di Hotel Sultan, Yudhoyono juga menyatakan kekesalannya karena dicibir publik. Ia dianggap sebagai biang mundurnya demokrasi di Indonesia. Yudhoyono menganggap masyarakat tak adil kepada partai dan dirinya. Menurut dia, Demokrat mendukung pemilihan langsung meski dengan syarat sepuluh perbaikan. "Ada partai yang terang-terangan mendukung pemilihan kepala daerah lewat DPRD malah tak disalahkan," ujarnya.
Setelah satu jam berpidato, Yudhoyono mengulang pernyataannya di Washington dan seusai rapat terbatas di Halim. Menurut dia, Perpu Pemilihan Kepala Daerah merupakan jalan terbaik mengembalikan demokrasi dan hak konstitusi warga negara dalam pemilihan kepala daerah.
IDE menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tercetus sejak Yudhoyono masih di Washington. Hal tersebut terungkap lewat percakapannya dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva pada Sabtu sore dua pekan lalu itu. Presiden, kata Hamdan, menanyakan apakah undang-undang itu bisa dibatalkan jika ia tak menekennya.
Menurut Hamdan, Presiden telah menunjuk wakilnya, yakni Menteri Dalam Negeri, dalam pembahasan peraturan itu di Senayan. Walhasil, rencana Presiden tak bisa dijalankan. Apalagi pemerintah awalnya memang mengajukan opsi pemilihan gubernur lewat DPRD. Selain itu, Hamdan melanjutkan, "Undang-undang otomatis berlaku 30 hari setelah disahkan DPR meski Presiden tak menekennya."
Mendapat penjelasan Hamdan, Yudhoyono berubah rencana. Ia berniat menerbitkan peraturan pengganti undang-undang. Gagasan ini ia ungkapkan saat mengundang ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra ke Hotel Ritz-Carlton, tempatnya menginap selama kunjungan ke Kyoto. Di kota itu, setelah ia terbang dari Amerika Serikat, Yudhoyono menerima gelar doctor honoris causa dari Universitas Ritsumeikan.
Pertemuan Senin sore itu dihadiri Menteri Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Yusril ditemani adiknya, Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Yusron Ihza Mahendra. Di situlah, menurut Yusril, ia dimintai pendapat soal penerbitan peraturan pengganti undang-undang. Menteri Hukum kabinet pertama Yudhoyono ini tak setuju.
Yusril beralasan perpu akan menunjukkan bahwa Yudhoyono dan partainya otoriter. Bagaimanapun, kata Yusril, Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah merupakan produk politik Dewan. Menganulir dengan perpu, menurut dia, menunjukkan arogansi kekuasaan Yudhoyono. Apalagi isinya memuat sepuluh perbaikan yang diusung Demokrat sebelum voting. "Perpu itu mengesankan Presiden memaksakan keinginannya," ucapnya.
Kepada Yudhoyono, Yusril menyarankan tak usah meneken naskah undang-undang tersebut. Alasannya, waktu 30 hari batas berlakunya undang-undang itu melewati masa jabatan Yudhoyono, yang berakhir 20 Oktober. Waktu 30 hari sejak disahkan DPR adalah 23 Oktober, ketika jabatan presiden sudah beralih kepada penggantinya, Joko Widodo. Presiden Joko diimbau juga tak menekennya karena tak terlibat pembahasan. "Alasan itu bisa dipakai untuk mengembalikan undang-undang ke DPR," kata Yusril.
Karena masuk akal, Yudhoyono meminta Yusril mengontak Jokowi di Jakarta dan menyampaikan saran tersebut. Menurut Yusril, saat ia telepon, Jokowi memahami saran-saran itu, tapi tak berjanji memenuhinya. "Buat apa tak diteken kalau tetap berlaku?" ujar Jokowi. Ia kemudian menolak saran itu sama sekali.
KEPUTUSAN kembali ke tangan Yudhoyono. Ia meneken peraturan pengganti itu pada Kamis malam pekan lalu. Bukan hanya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, perpu juga diterbitkan untuk mengganti Undang-Undang Pemerintah Daerah yang mencabut kewenangan DPRD memilih kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Isinya persis seperti yang dirancang sebelumnya. Saat pengumuman pemberlakuan peraturan itu, Yudhoyono mengatakan sepuluh syarat tersebut sudah dimasukkan. Syarat-syarat itu normatif belaka, seperti larangan kampanye hitam oleh kandidat, larangan politik uang, serta keharusan uji kompetensi publik calon gubernur, bupati, dan wali kota di DPRD.
Menurut Yudhoyono, larangan-larangan tersebut ditujukan agar pemilihan kepala daerah terhindar dari korupsi. Ia menegaskan hal umum yang menjadi kekhawatiran para pengusung pemilihan lewat DPRD: pemilihan langsung menguras kantong kandidat sehingga, ketika calon terpilih dan menjabat, hal yang dilakukannya adalah korupsi.
Agar peraturan pengganti yang ditekennya itu diterima, Yudhoyono bergerilya menemui sejumlah pemimpin partai penyokong Prabowo di DPR. Ia mengklaim para politikus itu mulai memahami keinginan dan tujuannya menerbitkan perpu. "Itu hasil komunikasi politik saya dengan DPR," katanya.
Tokoh politik yang ia temui antara lain Hatta Rajasa, Ketua Partai Amanat Nasional. Hatta tak lain besan Yudhoyono. Di DPR, PAN mendukung pemilihan lewat DPRD bersama Golkar, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. Dalam pemilihan presiden Juli lalu, Hatta menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Yudhoyono juga mengundang Jokowi dan meminta partai penyokongnya di Dewan-PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Hanura, dan NasDem-mendukung langkah politiknya. Pertemuan dengan Jokowi juga isyarat akan terjadi rekonsiliasi antara Yudhoyono dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Hubungan Mega dan Yudhoyono tak harmonis sejak 2004, ketika Yudhoyono diam-diam menyiapkan diri menjadi calon presiden dengan mendirikan Partai Demokrat. Padahal waktu itu Yudhoyono merupakan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan kabinet Megawati.
Dalam pemilihan presiden, Yudhoyono juga menginginkan koalisi dengan PDIP dengan syarat Megawati bersedia menerima rekonsiliasi. Koalisi itu tak terwujud karena Megawati menolak menemui Yudhoyono. Partai sang Presiden "membalasnya" dengan bergabung ke koalisi penyokong Prabowo.
Penerbitan peraturan pengganti undang-undang itu menjadi "veto" Istana atas aturan yang telah dibahas Dewan dan wakil pemerintah. Sesuai dengan peraturan, perpu harus diajukan ke Dewan untuk dimintakan persetujuan pada masa sidang pertama. Dewan akan bersidang untuk menolak atau menerima peraturan itu.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mengatakan Koalisi Merah Putih akan menolak Peraturan Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang diteken Yudhoyono. "Mohon maaf, dalam voting pengesahan nanti, akan kami tolak perpu itu," kata Hidayat.
Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq, Prihandoko, Ananda Teresia, Reza Aditya, Ridho Jun Prasetyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo