BERITA mengejutkan awal tahun ini: Judiono Tosin meninggalkan Salim Group. Posisinya itu kini diisi oleh orang kepercayaannya, Benny Santoso. Tak pelak lagi, pengunduran seorang chief executive officer (CEO) raksasa bisnis sekaligus Direktur Keuangan PT Indocement Tunggal Prakarsa ini segera saja memuncratkan serentetan teka-teki. Betapa tidak. Prestasi lelaki akuntan lulusan FE UI berumur 41 tahun ini tak ubahnya mimpi. Begitu lulus kuliah, ia memulai karier sebagai junior staf, tahun 1976. Sepuluh tahun kemudian, ia sudah merebut kursi direktur di gurita perusahaan yang memproduksi sambel, semen, hingga mobil ini. Lantas, orang sudah melihatnya sebagai satu dari empat "menteri koordinator" di kerajaan Salim. Ia duduk sejajar dengan Anthony Salim, Andree Halim, dan Johannes Kotjo, membawahkan divisi properti dan bahan bangunan. Posisi lelaki Cirebon dengan dua anak ini dinilai mapan dan strategis. Gaji dan bonusnya, konon, tak kurang dari miliaran rupiah setahun. Apalagi, saat-saat ini ia dikabarkan paling disayang pemilik mayoritas Salim Group, yaitu Liem Sioe Liong. Adalah Tosin, sebagai Direktur Keuangan PT Indocement, yang menyusun konsep go public produsen semen terbesar itu hingga meraup dana Rp 600 miliar, pada tahun 1989. Langkah tersebut telah menyelamatkan struktur keuangan perusahaan yang tadinya didera dampak devaluasi 1983 ini. Tosin jugalah yang merancang akuisisi internal senilai hampir Rp 2 triliun, yang menggegerkan itu. Dengan seonggok sukses, mengapa Tosin keluar? Ia memang telah menjawab, lugas dan terbuka. Kepada TEMPO, Tosin berkata, setinggi apa pun kedudukannya di Salim, "toh tetap saja pegawai." Ia ingin punya usaha sendiri. Tapi "usaha sendiri" itu hingga kini belum jelas betul sosoknya. Pabrik plastik yang ramai diberitakan itu, dalam pengakuannya, belum apa-apa. Begitu juga bisnisnya di bidang sekuritas. Di situ ia berkongsi dengan Yannes Naibaho, bekas Direktur Operasi PT Danareksa. Setali tiga uang adalah bisnis di bidang tenik konstruksi melalui PT Transmega Ekacipta. Perusahaan yang didirikan oleh beberapa teknisi jebolan Bina Bechtel Indonesia itu, katanya, sudah jalan sejak setahun lalu. Ia ditawari saham, karena mereka butuh orang yang mampu menangani keuangan. Tosin setuju. Tapi, di dalam perusahaan yang memperoleh tender membangun water treatment di Banjarmasin itu, tak ada pemilik mayoritas. Di luar itu, Tosin mengaku belum punya rencana. "Seperti kita belajar merangkak, saya harus mulai sedikit-sedikit," katanya. Memang, membesarkan suatu usaha dengan tenaga sendiri jelas tidak mudah. Apalagi bila Anda baru mulai pada usia 41 tahun. Presiden Direktur Indocement, Sudwikatmono, membenarkan bahwa Tosin sudah diberi saham Indocement. Kendati tak sebesar saham para pendiri, toh, Tosin dapat memperbanyak jumlahnya dengan membeli dari pasar modal. Namun, barangkali bukan itu yang dicarinya. Apalagi Tosin mengaku sudah "pamitan" sejak tiga tahun lalu. Ini mengherankan. Soalnya, saat itu Tosin baru saja sukses melepaskan Indocement dari belitan kesulitan cashflow dengan upaya masuk bursa. Justru dengan sukses itulah, Tosin dipromosikan sebagai CEO. Jadi, betulkah ia digeser? Tak ada jawaban pasti. Tosin pun menepis spekulasi ini. "Kalau hari ini saya mau balik lagi ke Indocement, pintu masih terbuka," katanya. Sudwikatmono pun mengaku sudah menggondeli Tosin sekuat tenaga. "Tapi rupanya niatnya sudah bulat."Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini