DARI kejauhan, kapal tanki berbobot mati 3.300 ton itu menjulang tinggi bagai raksasa di antara perahu nelayan, feri, dan kapal hela. Keadaannya menyedihkan. Alat-alat navigasi dan pipa tanki tampak sangat tua. Karat terdapat di manamana. Bahkan, cat yang masih tampak baru tak bisa menyembunyikan permukaan yang tidak rata karena berkarat Itulah MT Zao, kapal berbendera Jepang, yang 17 Desember lalu dilarikar lima awak kapalnya-semuanya orang Indonesi - dari Singapura ke Tan jungpinang. Awak kapa melarikan kapal asing ke Indonesia, agaknya, merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kisah dimulai Juli tahun lalu. Waktu itu Hari Siswanto, 32, lulusan Akademi Pelayaran Niaga Semarang, dihubungi seseorang dari PT Bahtera Insan Jaya Lines yang mencari pelaut dengan ijazah PB (Pelayaran Besar) III untuk membawa tanker dari Singapur. ke Indonesia. Kapal itu milik perusahaan Jepang Kai Koh Marine Trading Co. Ltd., yang konon akan dikontrak Pertamina. Hari, yang memiliki ijazah tersebut di atas, menyanggupi menjadi nakhoda dan mcmbuat PKL (Perjanjian Kerja Laut) dengan Bahtera Insan Jaya (BIJ) Pertengahan Juli, dengan diantar direktur BIJ, Rundupadang, Hari bersama tiga awak kapal lainnya berangkat ke Singapura. Dua orang lainya mcnyusul beberapa hari kemudian. Setibanya di sana, mereka terkejut karena kapal yang mau dibawa sangat jauh dari memcnuhi syarat. Secara resmi, dengan surat, Hari menolak membawa kapal tadi. "Bayangkan, alat navigasi tidak jalan. Kabin tidak ada apa-apanya. Apa kami harus tidur di tikar? Keadaan kapal payah, kecoak ada di mana-mana," kata Hari. Menurut Hari, penolakan itu rupanya membuat pemilik kapal setuju mereparasi kapal dengan syarat Hari dan kawan-kawan bersedia menjadi pengawas. Karena dijanjikan honorarium harian dan uang makan, mereka setuju. Namun, setelah 20 Agustus, pembayaran ternyata macet. Perusahaan yang mengageni Kai Koh menolak membayar karena Hari tidak mempunyai kontrak dengan mereka. Usaha menghubungi BIJ juga tidak berhasil. Maka, Hari dan kawan-kawan terpaksa menampung air hujan untuk mandi dan minum. Karena gas habis, mereka memasak dengan kayu yang berasal dari peralatan kapal. Tatkala kemudian benar-benar kehabisan uang, mereka melapor pada syahbandar Singapura, tapi ditolak karena MT Zao berbendera Jepang. Usaha meminta bantuan SOS (Singapore Organization of Seamen) juga gagal karena mereka bukan anggota KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia). Merasa kepepet, Hari mengancam akan mengajukan agen ke pengadilan, bila agen menolak meminjamkan uang. Gertakan ini rupanya berhasil: agen bersedia memberi pinjaman S$ 200 per minggu, sejak pertengahan Oktober. Tapi kesulitan baru muncul: BIJ mengirimkan teleks, membatalkan perjanjian kerja. "Karena pikiran kami,makin kacau, kami memutuskan untuk membawa kapal itu ke Indonesia guna memperoleh perlindungan hukum, dan agar bisa memperoleh hak kami dari pemilik kapal," kata Hari. Menurut perhitungannya, Kai Koh harus membayar sekitar S$ 30.000 kepada kelima awak kapal. Rencana melarikan kapal terlaksana pada 17 Dcsembcr 1983. Setelah berlayar tujuh jam lebih, kapal MT Zao melepas jangkar di Pulau Penyengat, tiga kilometer dari pelabuhan Tanjungpinang. "Kapal saya parkir di situ karena kami tak membawa peta,"tutur Hari Siswanto. Kepada Sahid, syahbandar Tanjung Pinang, Hari memohon perlindungan. "Nakhoda mengatakan, jika kapal tak dibawa lari, pcmiliknya bisa tak tahu diri terus. Jadi, tidak ada motivasi politik. Mereka hanya sakit hati karena ditelantarkan," kata Sahid. Benarkah MT Zao, kapal tanker tua buatan 1965 itu, akan dikontrak Pertamina? Indra Kartasasmita, kepala Direktorat Perkapalan dan Telekomunikasi Pertamina, mengaku tak tahu menahu. "Tanker MT Zao tak pernah ada dalam daftar kontrak Pertamina. Kalau ada yang bilang kapal itu mau dipakai mengangkut minyak di Indonesia, mungkin itu minyak kelapa sawit," katanya. Beberapa sumber mengatakan, Kai Koh Marine adalah perusahaan yang kurang bonafide. "Kai Koh mempunyai utang 150.000 dolar Singapura pada galangan kapal Singapore Slipway, yang mereparasi MT Zao," kata seorang pejabat YW Law Co. Pte. Ltd., yang pernah mengageni Kai Koh di Singapura Karena Kai Koh tidak mau membayar sedang YW Law terus ditagih, perusahaan ini menarik diri sebagai agen sejak 13 Desember 1983. Rundupadang, yang tak lagi bekerja di BIJ, dan mengantar Hari Siswanto ke Singapura, menolak untuk bertanggung jawab. "Kontrak saya dengan Kai Koh belum berlaku selama kapal itu dibawa ke Indonesia. Tanggung jawab saya sudah habis setelah Hari bersedia menerima tawaran mengawasi reparasi kapal," katanya. Menurut dia, MT Zao rencananya akan ditawarkan ke Pertamina untuk mengangkut minyak di dalam negeri, tetapi batal karena kapal tadi tidak mendapat izin masuk ke Indonesia. Menurut Arief Soemadji, sekretaris jenderal KPI, apapun alasannya, Hari Siswanto dan kawankawan tetap bersalah. "Melarikan kapal sama saja dengan melarikan barang orang lain. Jadi, selain bisa diajukan ke mahkamah pelayaran, mereka juga bisa diajukan ke pengadilan, kata Arief. Tapi Rundupadang menunjuk kemungkinan lain. "Kalau semua pihak sepakat untuk tidak memperkarakan berarti setelah pembayaran selesai, persoalan itu juga selesai," ujarnya. Titik terang untuk itu, menurut dia, ada. Pekan lalu ia menerima teleks dari Kai Koh. Isinya: mereka akan mengirimkan uang untuk memenuhi tuntutan awak kapal. "Tapi saya minta mereka juga mengirimkan wakilnya agar tidak terjadi perbedaan perhitungan," katanya. Setelah tuntutan dipenuhi, katanya, Kai Koh bisa mengambil kapalnya kembali. Nasib Hari Siswnto dan kawan-kawan, belum jelas . Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, kabarnya, menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada atase perhubungan RI di Singapura. Irans Roland Masengi, atase perhubungan di KBRI Singapura, akhir pekan lalu, belum memberi jawaban jelas. "Kapal itu sekarang ada di Indonesia. Jadi, bagaimana penyelesaiannya nanti, walahuallam," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini