MEREKA menyiksanya dalam Kamar 101. Beberapa saat sebelum ia dibawa ke sana, Winston bertanya, "Ada apa di kamar 101?" Jawab yang terdengar hanya kering: "Kau tahu apa yang ada di Kamar 101, Winston. Tiap orang tahu apa yang ada di Kamar 101." Winston tak bertanya-tanya lagi. Apa yang ada di Kamar 101 adalah "sesuatu yang terburuk di dunia ini", seperti dikatakan kepadanya kemLdian. Bagi tiap orang, itu bisa berbeda-beda. Yang takut dikuburkan hidup-hidup akan dikuburkan hidup-hidup, yang takut mati terbakar akan mati terbakar. Dan dalam hal Winston, mereka tahu sudah: baginya, "suatu yang terburuk" itu adalah tikus. O'Brien, yang mengusutnya (dan agaknya yang memimpin seluruh proses pembujukan dan penyiksaan) masuk. Ia membawa sejenis kotak: sebuah kandang kawat. Isinya: hewan yang paling membikin ngeri Winston - dengan moncong-moncong yang bengis, dengan bulu yang cokelat, dengan tubuh yang besar-besar. Gementar mengalir di tubuh tahanan itu. Tapi O'Brien seperti tak acuh. Bicaranya datar, seperti mengajar. Tikus itu makan daging, katanya. Mereka biasa menyerang bayi, orang sakit atau orang sekarat, katanya pula. Dan, tambah O'Brien dengan nada yang tak berubah, "mereka akan meloncat ke wajahmu, dan membor langsung mukamu. Kadang mereka menyerang mata lebih dulu. Kadang mereka menembus pipi, lalu mengeremus lidah." O'Brien menenteng kandang itu kian dekat. Sejenak, Winston berusaha melawan panik. Tapi sia-sia. Ketika kandang itu akhirnya disorongkan ke wajahnya, sampai merapat, ia pun tak tahan lagi. Ia runtuh. Menyerah. Ia akhirnya bersedia menuruti apa saja yang dikehendaki Partai. Ketika kemudian ia dibebaskan, duduk di Kafe Pohon Kastanye, Winston tahu, ia telah mengalahkan dirinya sendiri. Ia tak lagi memberontak. Ia rela mengkhianati kekasihnya. Sebab, ia kini mencintai sang Pemimpin, Bung Besar. George Orwell menutup novelnya yang termasyhur, 1984, dengan kesedihan yang aneh. Setidaknya murung - terutama bagi mereka yang selalu punya harap, bahwa manusia (juga Winston Smith) akan bisa menang dengan rohani yang bcbas. Tapi Orwell tak memperkenankannya. Ia ingin menyodorkan kepada kita sesuatu yang bengis: apa yang bisa dilakukan oleh sebuah kekuasaan totaliter terhadap jiwa manusia. Bahwa novel 1984 ramai dibicarakan lagi menjelang awal 1984 ini, tak berarti orang hanya melihatnya sebagai sebuah ramalan yan tumpul seperti Nostradamus. Novel ini itulis sekitar 1948. Tapi ia sudah mulai di kepala Orwell sejak 1943. Waktu itu di paruparu Orwell berkembang kuman TBC dan di Eropa totaliterisme. Hitler mengaum, menguasai dan kemudian menghancurkan. Stalin mengiling. Naziisme dan komunisme telah jadi kenyataan yang riuh rendah tapi menakutkan. Orwell yang kurus itu secara akut merasakan bahaya mendekat. 1984 karena itu memang bukan sebuah science fiction, dengan khayal tentang suatu zaman lain. Ia hanya kesusastraan yang memperingatkan, the literature of warning dalam kategorisasi Arthur Koestler. Orwell, seorang simpatisan sosialis, tapi terlebih lagi seorang yang mempertaruhkan kemerdekaan jiwa, tahu: sel suram seperti Kamar 101 bukan hal yang asing zaman ini. Dalam tata kekuasaan modern yang mutlak, manusia telah dipepetkan, diteror, dibujuk, diputarbalik pikirannya, untuk memenuhi suatu target besar: terbentuknya masyarakat baru dengan sukma manusia yang telah dipermak. "Kami mengontrol kehidupan, Winston, pada segala tingkat," kata O'Brien, tokoh 1984 yang praktis menjurubicarai Partai yang berkuasa. Dan ia tak main-main. Di tembok-tembok terpampang peringatan yang garang, dengan gambar sang Pemimpin: "Bung Besar Mengawasimu!" Di tiap sudut ada alat perekam yang dipasang Polisi Pikiran. Secara rutin rakyat diwaspadakan akan bahaya pengkhianat dan subversi. Musuh-musuh Partai harus tiap kali diirigat, untuk diganyang dalam sebuah ritual kebencian. "Bagaimana cara seseorang menyatakan kekuasaannya atas orang lain, Winston ?" tanya O'Brien. "Dengan membuatnya menderita," jawab Winston . "Tepat sekali. Dengan membuatnya menderita . . ." Dalam kitab kuno Artasastra dari India ada sebuah rumusan yang berdarah dingin: "Pemerintahan adalah ilmu menghukum". Kini, dalam 1984, seorang wakil totaliterisme modern menampilkan rumusan sendiri yang lebih suram: "Kekuasaan adalah merobek pikiran manusia, sampai berkeping-keping, lalu menyusunnya kembali dalam bentuk baru sesuai dengan pilihan kita". Berhasil? Winston Smith mencoba bertahan. Ia diam-diam membangkang. Ia bertemu Julia, gadis bandel itu. Dilakukannya apa yang tak boleh dilakukan, dibicarakannya apa yang dilarang dibicarakan. "Tidak," kata Winston pada pacarnya, "mereka tak akan bisa masuk menyidik ke dalam diri kita. Jika kau dapat merasa bahwa bertahan sebagai manusia itu ada harganya, meskipun mungkin tanpa hasil, engkau telah mengalahkan mereka." Dan sampai menjelang saat terakhir, Winston masih sempat berkata kepada O'Brien: "Entah bagaimana, kalian akan gagal. Sesuatu akan mengalahkan kalian. Kehidupan akan mengalahkan kalian." Beberapa menit sebelum Kamar 101, ucapan itu mungkin cuma terdengar seperti ngelindur. Tapi Orwell barangkali terlampau muram. Buku itu terbit pertama kali tahun 1949. Sejak itu pemerintah pemerintah totaliter tumbuh, berkembang, berubah. Di Kremlin, setelah Stalin, ruang semacam Kamar 101 mungkin tetap ada. Tapi manusia, ternyata, bisa saja mempertahanan rohaninya. Leszek Kolakowski, seorang filosof Polandia yang meninggalkan negerinya, benar. Ia telah mengalaml bagalmana totaliterisme bekerja terhadap dirinya. Tapi dalam "1984" Revisited, sebuah kumpulan yang dihimpunkan Irving Howe baru-baru ini, Kolakowski menulis, "Betapa pun banyaknya usaha yang telah dilakukan untuk melaksanakan ambisi besar totaliterisme - yakni memiliki dan mengontrol secara total kenangan manusia - tujuan itu tak mungkin tercapai." Entah bagaimana, kalian akan gagal, seperti kata Winston kepada O'Brien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini