BUKAN olok-olok kalau Boedihardjo Sastrohadiwirjo, Direktur Utama PT Trikora Llyod, kini dilanda gejala sulit tidur. Bukan lantaran dikejar utang, melainkan karena biaya tambang (freight), di tengah makin menciutnya muatan barang dari dan ke Indonesia, cenderung merosot terus. Pahit memang, tapi supaya kenyataan itu tidak selalu membuntuti sampai ke ranjang, manajer puncak yang hampir 30 tahun bergerak di bisnis pelayaran samudra itu sekarang rajin jogging. "Kalau tidak, bisa roboh," katanya. Olah raga tentu bisa bikin jantung sehat, tapi muatan tidak bisa diperoleh dengan hanya lari-lari pagi. Karena yang dihadapi kapal antarpulau dan kapal samudra asing yang, setelah Inpres IV tahun 1985 hampir genap setahun Mei mendatang ini, bisa bebas mencari muatan ke pelabuhan kecil sekalipun. Arus barang, sesudah "ketentuan terobosan" itu ditegakkan, memang lancar, tapi volume muatan yang bisa diangkut kapal nasional makin ramping. "Tahun ini, bisa mengangkut dua juta ton saja sudah baik," kata Soedarpo Sastrosatomo, Direktur Utama Samudera Indonesia. Pernyataan orang kawakan di bidang pelayaran samudra itu jelas disertai bukti-bukti. Pada periode 1982-1983, jumlah muatan barang yang bisa diangkut Samudera Indonesia masih tercatat rata-rata lima juta ton. Namun, ketika pemerintah mulai membatasi impor barang modal dan volume perdagangan dunia cenderung menciut, muatan yang bisa diangkutnya tinggal tiga juta ton. Siapa "kambing hitam"-nya? Kapal-kapal feeder 2.000 ton-3.000 ton Singapura (pengisi trayek jarak jauh) dituduh masuk sampai pelosok - mencari muatan. "Mereka juga membanting ongkos tambang," kata Boedihardjo. Masuknya kapal-kapal feeder itu, tentu, tak akan terjadi jika saja penyediaan ruang kapal di seluruh dunia tidak berlebihan. Tapi, sejak harga beberapa komoditi pertanian dan bahan tambang jatuh, mulai lima tahun lalu, penawaran ruang kapal terasa meluap. Termasuk juga di sektor angkutan minyak mentah. Para pemilik kapal lalu berusaha menekan biaya dengan, misalnya, merampingkan jumlah armada mereka. Empat tahun lalu, menurut catatan, 62 kapal curah kering dibesituakan dan, tahun lalu, angka itu sudah jadi 297 kapal. Kendati penciutan sudah dilakukan, kapasitas penyediaan ruang kapal masih terasa berlebih sekitar 30%. Demikian juga yang terjadi di sektor angkutan minyak sekalipun, tahun lalu, sudah 255 tanker dibesituakan termasuk tanker raksasa Bautilus dengan bobot mati 500 ribu ton (kedua terbesar di dunia). Buktinya, menurut majalah Time, 69 tanker raksasa sekarang masih 'nongkrong di dekat pelabuhan Fujairah di Teluk Persia. Dan, di mulut Teluk Brunei, tercatat 25 tanker menganggur. Di sini, tak kurang pula ikhtiar. Samudera Indonesia, mulai 1982-1985, secara bertahap menjual 11 kapalnya, dan menggantinya dengan sebuah kapal bekas serta dua kapal baru. Selain muda umurnya, dua kapal pengganti yang baru itu bisa menghemat bahan bakar sampai 30%. "Hanya tiga kapal itu yang kami punyai," kata Soedarpo, menjelaskan posisinya sekarang kepada Mohamad Cholid dari TEMPO. "Selebihnya menggunakan carteran." Penciutan armada tentu, kemudian, terpaksa diikuti dengan pengurangan karyawan. Mereka yang berusia 50 tahun, mulai bulan ini, dipensiunkan. Karyawan Samudera kini masih 2.600, berkurang cukup banyak dibandingkan 1984, yang mencapai 3.500. Untung, Samudera dapat izin membuka perusahaan bongkar muat di tiga pelabuhan utama. "Kalau tidak, saya bisa mengeluarkan Rp 4 milyar untuk pesangon para karyawan yang terancam PHK di pelabuhan," tambah Soedarpo. Trikora Lloyd juga tak bisa mengelak dari gelombang. Kapalnya yang semula 15, sejak 1983, secara bertahap dipotong hingga tinggal lima sekarang - sebagian dimodifikasikan untuk angkutan peti kemas, muatan umum, termasuk curah. Karyawannya berkurang dari sekitar 2.000 jadi 1.200 sekarang. "Gaji direksi juga dikurangi 30%," ujar Boedihardjo. Pelbagai cara ditempuh buat menghemat. "Pendeknya, kami tidak boleh menyerah." Ikhtiar semacam juga dilakukan Karana Lines, yang sudah mengurangi armadanya, dari sembilan menjadi empat kapal sekarang. Djakarta Lloyd, sementara itu, sudah menarik dua dari delapan kapal peti kemasnya MV Baab Ullah dan Son Bai - dari trayek Eropa, karena rugi terus. Tapi apa mau dibilang. Kendati penyediaan ruang kapal sudah dikurangi, ongkos tambang tetap tak bisa didayung maju. Sekarang banyak perusahaan berani mengangkut muatan satu peti kemas 20 kaki (twenty feet equivalent unit, TEU) dengan hanya US$ 900. Padahal, ketika masih normal, sekitar US$ 2.000 untuk mengangkut muatan 18-20 ton itu. Di jalur Indonesia-Jepang, ongkos tambang mengangkut satu TEU sekarang hanya US$ 1.550, atau turun 40%. "Ini tarif berdasar kesepakatan antara asosiasi pelayaran samudra kedua negara," ujar Alfred Simandjuntak, Kepala Departemen Komersial dan Operasi Karana. "Sedang tarif di luar kesepakatan adalah US$ 700." Tidak jelas apakah dengan imbalan jasa serendah itu, mereka masih bisa mencapai titik impas. Dalam keadaan seperti itu, mereka masih harus membayar bunker BBM yang lebih mahal. Di sini harga FO (fuel oil, minyak bakar) US$ 210 dan DO (diesel oil, minyak diesel) US$ 230 per seribu liter. Sedang di Singapura, per Maret itu, masing-masing hanya US$ 103 dan US$ 204. "Pembeliannya pun boleh dikredit dari 30 hari sampai tiga bulan. Di sini? Semuanya harus kontan," kata seorang pengusaha pelayaran. Suku bunga untuk kredit modal kerja juga lebih murah di sana. Wajar, dalam situasi tidak seimbang itu, kapal negeri tetangga berada di atas angin. Upaya lain, kini, diperlukan agar devisa untuk membayar jasa angkutan laut dan asuransi muatannya tidak makin banyak lari ke luar. Siapa tahu, defisit neraca barang dan jasa, pada neraca pembayaran bisa disehatkan dengan tindakan itu. EH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini