Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Madu 'Dot.Com' Mulai Pahit?

Astaga.com dan Satunet.com harus mengencangkan ikat pinggang jika ingin bertahan hidup. Usaha dot.com mulai merugi?


25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA bulan madu bisnis internet di sini segera berakhir? Angka-angka bisnis mulai menunjukkan gejala tak sedap itu. Gegap-gempita orang masuk di bisnis itu, dengan modal tak sedikit, mulai surut. Hitung-hitungan dagang yang nyata tampaknya mulai mengalahkan semangat ''gila-gilaan" menabur modal besar di bisnis internet itu.

Bisnis dot.com—begitu julukan untuk bisnis di bidang internet—memang tumbuh sangat cepat seperti menjamurnya wartel di Jakarta. Hingga Januari lalu, situs komersial yang ditandai dengan akhiran nama com tercatat 34 persen dari 72,4 juta nama domain di internet.

Di Indonesia, saking menggilanya semangat dot.com ini, nyaris semua kata dengan satu suku, seperti makan, pulang, bunga, hingga nama tokoh seperti Sukarno, Megawati, Gus Dur—bisa Anda cek di www.registar.com—punya padanan akhiran com-nya. Artinya, deretan kata tersebut telah menjadi milik seseorang.

Namun, bagaimana sebenarnya nasib bisnis dot.com di Indonesia hingga paruh pertama Tahun Naga Emas ini? Pengamat manajemen Rhenald Khasali, dalam sebuah dialog tentang dot.com di Jakarta, Rabu silam, melihat gejala buruk. Ia melontarkan sinyalemen adanya portal (pintu gerbang atau penyedia jasa untuk menjelajah ke dunia maya) Indonesia yang tengah sempoyongan. Penyebabnya adalah tingkat pendapatan (revenue) yang meleset dari perkiraan para pengelolanya.

Ketika ditemui Setiyardi dari TEMPO, Rhenald, yang dikenal juga sebagai pembicara di berbagai talkshow, mempertegas prediksinya dengan melansir bahwa dua situs besar seperti Astaga.com dan Satunet.com kini tengah merugi. ''Bulan madu mereka telah usai," kata Ketua Program Studi Ilmu Manajemen Pascasarjana Universitas Indonesia ini bertamsil.

Astaga.com dan Satunet.com bangkrut? Bukan demikian maksudnya. Tamsil Rhenald ''bulan madu telah usai" itu menunjuk pada pemotongan sejumlah pos pengeluaran tertentu dalam dua perusahaan dot.com tersebut. Dengan kata lain, mereka harus hidup hemat jika ingin bernapas lebih panjang.

Boleh jadi ramalan Rhenald benar. Maklum, biaya promosi, gaji karyawan, hingga pengadaan teknologi dua perusahaan dot.com ini bisa merobek kantong pemodalnya lebih dalam jika tak kunjung menghasilkan pemasukan. Astaga.com saja perlu modal US$ 7,5 juta untuk beroperasi pada Februari silam. Padahal, tutur Rhenald, selain iklan yang masih sedikit, portal ini belum bisa menjaring untung dari lantai bursa karena belum melakukan penawaran saham kepada publik.

Seretnya pemasukan Astaga.com ini nyatanya tidak mengurangi optimisme Jonathan Morris. Bos portal yang pernah menggelar chatting (bincang-bincang via internet) dengan sejumlah tokoh—misalnya Nurul Izzah, putri bekas Deputi Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim—ini malah yakin dagangannya segera membawa duit masuk. Ia menaksir dalam waktu satu setengah tahun ke depan, perusahaannya mampu menjaring untung melalui iklan, transaksi e-commerce, penjualan lisensi—misalnya dalam bentuk warung internet Astaga.com—dan penjualan informasi (content) situsnya kepada pihak lain.

Sementara itu, Andy Luhur dari Satunet.com mengaku sejak online awal November silam, perusahaannya telah siap berbisnis dengan mengencangkan ikat pinggang. Pos anggaran yang diperketat pengeluarannya adalah biaya promosi dan operasional untuk 90 orang karyawannya. Langkah penghematan yang ditempuh Satunet.com bisa jadi akan memberikan oksigen tambahan untuk bernapas lebih panjang di dalam kompetisi bisnis dunia maya.

Para pengelola dot.com di Indonesia sebenarnya bisa belajar dari pengalaman rekan mereka di belahan dunia barat. Di sana jurus mengencangkan ikat pinggang sudah lama dijalankan. Salon.com, sebuah perusahaan media online di Amerika, mengurangi anggaran operasionalnya hingga 20 persen dan memberhentikan 14 dari 140 karyawannya. Langkah drastis ini bisa menghemat kas Salon.com hingga US$ 7 juta.

Sementara itu, Altavista, perusahaan Amerika yang menyediakan jasa pencari informasi di internet, harus merumahkan 50 dari 800 pekerjanya. Nasib lebih pahit dialami oleh 140 karyawan APBNews, termasuk peraih hadiah Pulitzer, Sydney Shanberg, yang harus merelakan situs berita kriminal terkemuka ini istirahat panjang sampai menemukan investor baru.

Gerakan penghematan dot.com di Barat ini tidak lepas dari ambruknya saham mereka di lantai bursa. Puncaknya terjadi ketika harga saham dot.com di lantai bursa Nasdaq, Amerika Serikat, rontok pada April silam. Fenomena ini rupanya mempengaruhi semangat mengembangkan bisnis dot.com di Indonesia. Apalagi, untuk mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, misalnya, perusahaan dot.com sejauh ini belum memperoleh lampu hijau dari Badan Pengawasan Pasar Modal.

Maka, inilah saat untuk mengkaji ulang rencana investasi mereka dalam ber-dot.com ria. Budaya latah yang mengandalkan kekuatan uang, merujuk pada komentar pengamat media Ade Armando, mesti dikikis jika tidak ingin gigit jari di belakang hari. Caranya? Ada baiknya untuk merenungkan lebih lanjut karakter bisnis dot.com itu sendiri.

Bicara soal karakter dot.com, majalah The Economist pada edisi April lalu mengingatkan, kemajuan teknologi yang dibawa oleh dot.com sejauh ini lebih banyak menguntungkan konsumen, misalnya layanan serba gratis dan cepat untuk mencari item barang yang diinginkan dari beberapa toko online di berbagai penjuru dunia.

Toh, bukan tak ada yang tetap optimistis. Abdul Rahman, Presiden Direktur PT Agranet Multicitra Siberkom, pemilik portal berita Detik.com, percaya bahwa pengembangan usaha yang mengacu pada model B2B (business to business) cukup aman. Jurus serupa misalnya dikembangkan oleh Ford, General Motor, dan Chrysler dengan membuat purchasing web untuk pengadaan suku cadang mobil. Selain bisa menghemat ongkos, situsnya pun bisa ditawarkan kepada user lain yang berminat.

Bagaimana melayani konsumen internet—kebanyakan mereka menginginkan info-info serba gratis—sambil mengeruk untung? Jurus itulah yang harus dicari kalau mau bertahan di bisnis maya ini.

Widjajanto, Arif Kuswardono, dan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum