KUOTA kopi ibarat buah simalakama. Ada kuota, penghasil kopi rugi besar karena panennya tak laku dijual. Tapi, ketika kuota dihapus, dalam sidang Organisasi Kopi Internasional (ICO) di London awal Juli lalu, banjir kopi di pasar dan "perang harga". Setelah bebas kuota, harga tergelincir sampai 664 poundsterling atau Rp 1,8 juta per ton di pasar terminal London. Inilah harga paling rendah dalam 14 tahun terakhir. Menurut perhitungan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Paian Nainggolan, ada sekitar 8,1 juta ton kopi yang saat ini meluberi pasar dunia. Padahal, yang terminum tak sampai 4 juta ton. Sekitar 3,48 juta ton disedot anggota ICO. Akibat lebih buruk, produsen berlomba main obral. Pantai Gading, misalnya, penjual kopi terbesar ketiga di dunia -- setelah Brazil dan Colombia -- mengobral sampai 50% harga pasar. Dipukul rata, harga "si hitam" sejak Juli lalu telah melorot 40%. "Ini bencana lagi buat produsen kopi," kata Menteri Perdagangan dan Koperasi Uganda James Wapakabulo, yang juga Ketua Dewan ICO, dalam pidatonya menyambut simposium internasional kopi di Bali pekan lalu. Maka, masuk akal jika, dalam simposium itu, muncul suara agar kuota kopi diberlakukan kembali. Kendati ini sama saja ruwetnya, dan mendorong negara penghasil berebut kuota. Indonesia, misalnya, rata-rata cuma kebagian 150 ribu ton. Padahal, tahun ini, kopi Indonesia yang dipanen diperkirakan mencapai 390 ribu ton. Sementara itu, pasar lokal hanya mampu menyerap 70 ribu ton atau 17,6% saja. Di masa bebas kuota, Indonesia bisa mereguk napas lega. Selama "tahun kopi" 1988/1989, Indonesia berhasil menjual sekitar 375 ribu ton, lebih sepertiganya laku selama masa bebas kuota. Rekor ini tak mungkin dicapai bila Indonesia menganut sistem kuota. "Kita membuktikan bahwa Indonesia mampu berproduksi jauh di atas kuota yang biasa diterima," kata Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Dharyono Kertosastro kepada TEMPO. Strategi unjuk gigi demikian, kata Dharyono, sengaja dilakukan. Diharapkan, jika sistem kuota diterapkan lagi, Indonesia bisa diperlakukan lebih adil. Soal keadilan memang sering menjadi perdebatan sengit dalam sidang-sidang ICO. Suara produsen besar yang dimotori Brazil, atau peminum utama yang dikomandani Amerika Serikat, biasanya, membenam aspirasi Indonesia. Itu pula kiranya yang mendorong Dirjen Nainggolan membuka forum lobi lebih dini, di samping promosi ke berbagai negara konsumen seperti yang baru-baru ini diselenggarakan di Jepang. Biasanya, simposium tahunan seperti yang diselenggarakan di Bali itu yang diadakan majalah bergengsi Cofee & Cocoa International, berlangsung di negara konsumen. Pertemuan pertama kali di negara produsen ini, buat Nainggolan, cukup sukses. Empat sukses yang diklaim Nainggolan ialah meningkatnya kepercayaan kepada perkopian Indonesia, terbuka lobi, dan meningkatkan wawasan eksportir kita. Yang paling penting, kata Nainggolan kepada TEMPO, "Posisi Indonesia secara resmi bisa disampaikan dalam kerangka politis."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini