Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Satu Dolar Lima Belas Ribu?

Rupiah merosot bukan cuma karena Sidang Istimewa MPR, tapi juga lantaran publik gampang panik. Satu dolar akan sampai Rp 15.000? Kapan?

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamis siang di lobi kantor sebuah bank pemerintah di Jalan Kramat, Jakarta. Antrean mengular begitu panjang. Orang berdesak-desak untuk satu hal yang sama: memburu dolar. Seorang ibu muda bahkan cuma membeli beberapa puluh dolar. Untuk apa, Ibu? "Oh, saya dititipi kakak yang punya anak di luar negeri," katanya agak sungkan. Ia kembali meneliti selembar puluhan dolar yang sudah lusuh. Ia seperti tak percaya, dengan tampang sedekil itu uang hijau bikinan Amerika Serikat ini harganya begitu mahal.

Gelombang pembelian dolar kembali melanda Jakarta dan sejumlah kota besar Indonesia hanya sepekan menjelang Sidang Istimewa MPR (SI MPR). Begitu harga dolar mendekati Rp 9.000 Selasa lalu, masyarakat kembali menyerbu tempat-tempat penukaran uang. Yang paling ramai dikunjungi orang agaknya adalah kantor bank pemerintah. Selain menyediakan dolar recehan, sejumlah bank pemerintah juga menawarkan dolar dengan harga sedikit miring.

Serbuan ramai-ramai itu tak bisa dicegah dan justru membuat nilai rupiah makin tenggelam. Setelah sempat mendesak dolar hingga harganya tinggal Rp 6.975 dua pekan lalu, rupiah makin terseok-seok sampai kurs menembus batas Rp 9.000 per dolar. Untunglah, Bank Indonesia melalui bank-bank pemerintah terus menggerojok pasar dengan dolar. Hingga akhir pekan lalu harga dolar masih bisa ditahan pada kisaran Rp 8.500-an.

Tapi seberapa lama Bank Indonesia dengan modal dolar hasil utang bisa menahan gempuran publik? Apakah harga dolar bisa ditahan pada posisi itu? Atau akan kembali mengawang-awang hingga belasan ribu rupiah?

Itulah yang kini dipertanyakan banyak orang. Di tengah optimisme akan pulihnya perekonomian, rupiah ternyata begitu rapuh. Orang memang menuding SI MPR sebagai biang keladi. Sejumlah dealer pasar uang yakin, jatuh-bangunnya rupiah pekan depan akan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di luar Gedung MPR selama sidang. Kalau bentrokan terjadi, rupiah pasti bakal makin tersungkur.

Satu faktor lagi yang penting adalah amunisi dolar yang dimiliki Bank Indonesia. Selama ini harga dolar bisa ditahan lantaran bank sentral terus menjual dolar hasil utang dari pelbagai lembaga keuangan internasional. Gubernur Bank Sentral Syahril Sabirin mengaku akan terus menggenjot penjualan dolar menjelang sidang umum, "Tergantung permintaan pasar." Kalau pasar meminta dolar lebih banyak, "Ya, kami sediakan," katanya.

Tapi persoalannya memang berapa amunisi di gudang Syahril. Bagaimana jika arus utang luar negeri yang ditunggu-tunggu itu macet? Akibatnya mungkin mirip insiden pekan lalu, ketika bantuan IMF, yang biasanya cair rutin tiap bulan, tertunda: orang panik lalu ramai-ramai memburu dolar.

Hingga pekan lalu cadangan devisa dalam catatan pembukuan BI memang sudah lebih dari US$ 14 miliar. Ini jauh di atas aturan IMF, yang mensyaratkan cadangan devisa minimal sedikit di atas US$ 11 miliar. Artinya, untuk melakukan pelbagai manuver untuk mencampurtangani pasar, BI masih punya modal sekitar US$ 3 miliar. Ini jumlah yang luar biasa dahsyat, mengingat pasar perdagangan valuta asing di Jakarta akhir-akhir ini tak lebih dari US$ 100 juta per hari. Dengan "intervensi" US$ 15 juta hingga US$ 20 juta saja sudah cukup bagi bank sentral untuk mengatur pasar.

Hanya, tak ada yang bisa menjamin pasar akan tetap anteng. Kalau kerusuhan meluas, suhu politik mendidih, volume perdagangan valuta asing tak bisa ditahan-tahan lagi. Berapa pun cadangan dalam lemari kas BI bakal terkuras habis. Seperti menggarami air laut.

Tanda-tanda ke arah kekhawatiran itu sebenarnya sudah mulai terlihat. Tiket penerbangan ke Hong Kong, Singapura, Batam, dan Bali untuk hari-hari ini, kabarnya, telah habis ditempah atau di-booking. Beberapa perusahaan asing sudah bersiap mengungsikan karyawan ekspatriat dan keluarganya ke daerah yang dianggap lebih aman--untuk jaga-jaga. Yang pasti, arus keluar ini membuat permintaan dolar membengkak.

Lalu bagaimana kira-kira taksiran harga dolar pekan depan?

Pardy Kendy, Manajer Keuangan dari Bank Buana Indonesia, yakin bahwa SI MPR tak akan diwarnai huru-hara. Ia yakin pada pengamanan berlapis yang digelar oleh jajaran ABRI dan sipil. Menurut Pardy, harga dolar pekan depan akan tetap berada di kisaran Rp 8.000.

Pendapat yang optimistis juga disampaikan Kazuo Gyohten, ekonom dari kantor perwakilan Industrial Bank of Japan di Jakarta. Ia yakin, nilai tukar rupiah tak akan gampang goyang. Bukan karena fundamental perekonomian Indonesia membaik, tapi karena dukungan regional yang tak tergoyahkan. Melorotnya nilai tukar dolar di seluruh dunia, penurunan suku bunga global, dan pelbagai upaya untuk mereparasi sistem keuangan dunia membuat Gyohten yakin bahwa harga dolar tak akan kembali melambung sampai Rp 15.000, misalnya.

Jadi? "Tak perlu panik," katanya. Ia menaksir, pekan mendatang rupiah hanya akan sedikit melemah. Harga dolar akan ditahan pada kisaran Rp 9.000. Itu kalau sidang istimewa diwarnai sejumlah kecil demonstrasi. La, kalau SI-nya nanti bisa mulus, Gyohten malah yakin, pamor rupiah bakal makin kinclong. Akhir tahun ini, katanya, satu dolar bisa berharga Rp 5.000--7.000.

Tapi lain Gyohten, lain pula Barclays Capital. Lembaga investasi dari Singapura in, dalam sebuah riset terbarunya, menarik kesimpulan bahwa kekuatan rupiah cuma sementara. Dalam setahun ke depan rupiah bakal dihajar oleh pelbagai persoalan fundamental. Barclays menyebut, tingginya risiko politik, besarnya defisit anggaran, dan mahalnya ongkos penyehatan perbankan sebagai faktor yang akan kembali merontokkan nilai rupiah.

Ketiga persoalan itu bisa memaksa pemerintah Indonesia terus melakukan ekspansi moneter alias menginjeksi uang ke dalam likuiditas perekonomian. Akibatnya, rupiah membludak dan nilai tukarnya terancam. Menurut hitungan Barclays, dalam 12 bulan ke depan harga dolar akan melejit kembali ke posisi Rp 15.000.

Anda percaya yang mana? Persoalannya tentu bukan sekadar percaya atau tidak. Tapi begitu banyak faktor yang tak bisa dihitung. Begitu banyak ketidakpastian.

Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus