BISA dimengerti kalau seorang pengusaha menjuluki Omar Abdalla
sebagai "bankir yang paling besar" di Indonesia. Tentu yang
dimaksudkan pengusaha itu adalah gedung baru Bank Bumi Daya yang
berlantai 23, yang kalau kelak sudah rampung semua, akan lebih
jangkung dari gedung Wisma Nusantara, masih tetangganya.
Tapi orang tak perlu salah paham: kantor pusat dan kantor cabang
utama BBD yang terleul di bibir Jl. Imam Bonjol, Jakarta, hana
menempati 5 lantai dan bangunan yang inirip menara piramda itu.
Gedung itu dibangun dan dikelola PT Bumi Daya Plaza, patungan
antara BBD (US$ 6,9 juta atau 93,3%) dengan Tong Tumasek dari
Hongkong.
Dir-Ut Omar, 56 tahun, patut merasa bangga. Selain gedung yang
lama terbengkalai pembuatannya itu, kini sudah berfungsi,
Dir-Ut BBD itu juga punya 'mainan' baru: pusat komputer yang
terletak di lantai bawah plaza, dilindungi batu padas. "Hanya
dalam waktu dua-tiga menit, permintaan nasabah bis? dipenuhi
pusat komputer ini," katanya memperkenalkan kepada para undangan
(lihat Pokok & Tokoh).
Menengok ke belakang, apa yang sekarang dicapai BBD memang
membuat banyak mata menoleh ke arah Dir-Ut Omar Abdalla. Di
tahun 1977 bank pemerintah yang paling besar itu ternyau
memiliki kredit macet ratusan milyar mpiah. Dan Omar Abdalla,
ketika itu Dir-Ut Bank Dagang Negara (BDN), ditugasi untuk
membenahinya. Sebanyak Rp 11 milyar dari Rp 240 rnilyar lebih
kredit macet itu berada di tangan Endang Wijaya, Dir-Ut PT Jawa
Building.
Kesulitan masih terasa ketika di tahun 1978 neraca BBD
menunjukkan kerugian Rp 23,5 milyar lebih. Maka dalam usaha
menyelamatkan kredit macet itulah, BBD akhirnya masuk ke
berbagai perusahaan nasabahnya sebagai pemegang saham, tanpa
harus melikwidasi.
Penyertaan BBD ke dalam berbagai perusahaan itu ada batasnya.
Sebab, seperti kata Omar Abdalla kepada Eddy Herwanto dari
TEMPO, ada juga kredit macet yang terpaksa dihapuskan. Itu baru
bisa dilakukan setelah di tahun 1980 BBD bisa mendapat laba.
Penghapusan utang-utang macet sampai Juni 1982 mencapai Rp 120
milyar--kurang lebih separuh dari seluruh kredit macet. Ini
jelas telah menggerogoti laba BBD selama periode 1980-1982.
"Tindakan tersebut tak bisa ditunda-tunda lagi," kata Omar.
Kini dengan kekayaan (assets) Rp 2,8 trilyun per September 1982,
BBD baru bisa memupuk cadangan modal Rp 96,9 milyar. Pada 1978,
dengan kekayaan sekitar Rp 1 trilyun, cadangan modalnya baru Rp
24,4 milyar. Berapa keuntungan tahun ini? "Ya, laba sebelum
pajak kira-kira akan mencapai sekitar Rp 15 milyar," katanya.
Jumlah tersebut masih jauh di bawah BDN yang sampai Juni sudah
memperoleh laba sebelum pajak sekitar Rp 35 milyar.
Agaknya yang mengerem tingkat laba BBD adalah lesunya ekspor
sejak tahun lalu. Sedang kegiatan utamanya adalah di sektor
perkebunan dan pertanian. Sampai September tahun ini, jumlah
kredit yang disalurkan ke sektor perkebunan dan pertanian sudah
mencapai Rp 62 milyar (35% dari seluruh pinjaman).
Ini pasti membuat Omar Abdalla garuk-garuk kepala. Di masa
resesi yang masih akan mengganas di sepanjang tahun 1983, Dir-Ut
BBD menduga sejumlah nasabah umumnya akan menderita kesulitan
mencicil utang-uungnya. "Barangkali akan ada penundaan
pembayaran cicilan utang," katanya. Dia sendiri berharap laba Rp
15 milyar tahun ini, akan bisa dipertahankan tahun depan. "Kalau
itu berhasil, sudah bagus," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini