PELAN tapi pasti, harga emas nampak terus merayap. Akhir pekan
lalu PT Central Indah Cakrawala (CIC), penyalur emas dan
pedagang valuta asing di Jakarta, berani membeli Rp 9.550 per
gram. Harga yang ditawarkan mencapai Rp 9.750. Sam Handoyo dari
CIC meramalkan harga emas murni (LM) akan terus menanjak, "boleh
jadi sampai Rp 10.000 akhir Desember ini," katanya.
Suasana di 'bursa' emas Jalan Kenanga, Senen, Jakarta, akhir
pekan lalu belum kelihatan sibuk. Namun di daerah yang menampung
tak kurang dari 30 toko emas dan perhiasan itu, harga beli satu
gram emas Sabtu lalu rata-rata mencapai sedikit di bawah yang
ditawarkan CIC: Rp 9.650. Dua pekan lalu harga masih berkisar
sekitar Rp 9.000 per gram.
Tak heran kalau Menteri Keuangan Ali Wardhana, yang berkantor
tak jauh dari 'bursa' emas Senen itu, baru-baru ini menganjurkan
agar para anggota Komisi VII DPR menyimpan duitnya dalam emas.
"Yang mau beli emas, silakan beli," katanya. "Ini nasihat gratis
dari saya," sambung doktor di bidang moneter itu.
Di luar negeri, dalam waktu dua bulan ini, harga emas naik dari
US$ 330 menjadi 500 pel troy ounce (31,1 gram). Dua bulan lalu
di Indonesia masih sekitar Rp 7.000 pergram. Ada apa? "Harga
emas ini memang naik turun seperti ombak," kata Sam Handoyo.
"Dan kenaikan yang sekarang, erat hubungannya dengan turunnya
suku bunga di Amerika."
Dia benar. Harga si kuning selamanya merupakan suhu yang naik
turunnya, mencerminkan panas dinginnya keadaan ekonomi. Dan
itulah yang terjadi tiga tahun terakhir. Suhu ekonomi dunia yang
masih tak menentu selama ini pernah membuat harga emas membubung
sampai Rp 15.000 pada Oktober 1980, kemudian menjatuhkannya
sampai Rp 6.900 per gram pada Juni 1982. Lalu mengangkatnya lagi
di atas Rp 9.500 akhir pekan lalu.
Pergerakan harga yang tiada taranya ini menunjukkan betapa emas
sangat sensitif terhadap perubahan keadaan. Perubahan yang
terjadi pada tingkat bunga, inflasi, kurs, harga saham, dan
situasi politik, dapat mengubah harga emas. Tingkat bunga, yang
terjadi saat ini, bergerak terbalik dengan harga emas: Tingkat
bunga naik, harga emas turun bunga turun, harga emas naik.
Ketika tingkat bunga dollar di AS mencapai puncaknya 20% setahun
pertengahan tahun ini, harga emas mencapai titik paling rendah.
Bunga dollar kini turun menjadi sekitar 13%, dan harga emas
mulai hangat lagi. Ini terjadi karena emas dan deposito selalu
bersaing memperebutkan dana pemilik uang. Mana yang memberi
hasil lebih banyak, ke situlah dana mengalir.
Ada teori mengatakan, harga emas punya korelasi tetap dengan
hatga minyak per bartek Sejak 1950, harga satu troy ounce emas
sama dengan harga 18 sampai 22 barrel minyak. Kalau ini betul,
artinya, harga emas sekarang seharusnya berkisar antara US$ 612
dan US$ 748 pet ounce, atau kalau diterjemahkan dalam rupiah
berkisar antara Rp 11.000 dan 15 .000 per gram. Bahwa hal ini
tak terjadi, menunjukkan masih adanya pengaruh luar biasa dari
tingkat bunga yang belum normal.
Kalau keadaan ekonomi notmal kembali, pengaruh permintaan dan
penawaran akan dominan lagi. Dari segi penawaran, jumlah emas
yang tersedia di pasaran diperkirakan tidak banyak berubah.
Produksi emas di Afrika Selatan relatif tetap, dan Uni Soviet
akan terus membatasi jumlah emas yang dijualnya.
Di lain pihak industri yang menggunakan emas sebagai bahannya,
seperti industri elektromka, toko perhiasan tukang gigi, akan
meningkatkan permintaan emas mereka. Mereka kini mengalami
resesi. Emas untuk keperluan perhiasan misalnya (di luar negara
komunis) anjlok dari 1.008 ton pada 1978 menjadi hanya 120 ton
pada 180. Tapi tahun depan, diperkirakan industri ini akan
pulih kembali, dan permintaan emas diperkirakan bisa naik 10%.
Ini saja, kalau benar akan terjadi sudah bisa menaikkan harga
emas.
Tapi kejadian pada 1980 yang mendorong harga emas sampai US$ 850
per ounce, (Rp 15.000 per gram pada waktu itu di Indonesia),
nampaknya tidak akan terulang lagi. Keadaan waktu itu memang
luar biasa. Inflasi di negara industri merajalela, dollar lemah
terhadap mau uang lain, dan bunga juga-sangat rendah. Pemilik
modal lari ke emas. Negara pengekspor minyak, termasuk
Indonesia, ikut memborong emas untuk cadangannya. Di samping itu
situasi politik juga cukup panas: invasi Uni Soviet ke
Afganistan, munculnya Ayatullah Khomeini, peristiwa berdarah di
Masjidil Haram, Mekah. Penyanderaan Kedutaan Besar AS di
Teheran.
Para ekonom umumnya tidak pernah bersimpati terhadap emas. Bagi
mereka, pengaruh logam ini terhadap ekonomi sering tidak masuk
akal. Mereka akan senang kalau bisa diciptakan satu sistem
moneter yang bebas dari pengaruh emas. Tapi fakta menunjukkan,
emas masih memiliki trifungsi yang misterius: sebagai alat
penyimpan kekayaan, sebagai saluran investasi, dan sebagai
komoditi dagang.
Di sini, harga emas mengikuti pergerakan harga di luar negeri.
Sekarang, kurs rupiah terhadap dollar mulai memainkan peranannya
terhadap harga emas. Ini disebabkan nilai rupiah merosot
dibanding dollar. Dan kalau rupiah merosot, orang cenderung
untuk buru-buru membelanjakannya, membeli barang yang nilainya
tidak ikut merosot.
Sampai awal pekan ini, memang belum terasa adanya suatu "rush"
(orang menyerbu emas) di Jakarta. ank Indonesia juga belum mau
memborong emas seperti dilakukannya tahun 1980, untuk
mengamankan sebagian dari cadangan devisa. Tapi jika awal
Januari 1983 harga emas bisa mencapai di atas Rp 0.000 per
gram, bukan mustahil nasihat Ali Wardhana akan terasa gaungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini