ORANG-orang kaya Indonesia yang kini tergila-gila pada marmer impor dari Italia mungkin sekali-sekali perlu melirik ke marmer lokal hasil karya Warsiman. Dibuat di Klaten, Jawa Tengah, marmer ini merupakan hasil adonan telur ayam, batu kalsit, dan kaca. Atas anjuran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, marmer buatan ini diberi nama "marbut" (singkatan dari marmer buatan). Sang penemu marbut, Warsiman, 52 tahun, sudah sejak 10 tahun lalu melakukan berbagai percobaan yang dibiayai oleh koceknya sendiri. Hasilnya, marbut buatan Warsiman tak kalah mutu ketimbang marmer Tulungagung atau bahkan marmer impor. Batu kalsit, yang merupakan bahan asal marmer, didapat Warsiman dari daerah Wonogiri. Sedangkan telur ayam, yang diambil adalah putih telurnya. Kedua bahan ini kemudian dicampur dengan kaca yang sudah dihaluskan, diberi semen dan batu kalsit muda. Dengan memasukkan adonan tadi ke dalam alat cetak terbuat dari silikon ataupun kayu, lalu didiamkan beberapa jam hingga satu hari (tergantung besar dan bentuknya), maka jadilah marbut. Kualitasnya persis marmer asli: mengkilat, halus, dan indah. Selain untuk bahan bangunan, marbut juga bisa diproses menjadi jambangan bunga, daun meja, atau benda lainnya. Daun meja berukuran 30 cm x 30 cm dihargai Rp 20.000, sedangkan yang berukuran 100 cm x 90 cm harganya Rp 700.000. Rata-rata harga itu sepertiga harga marmer eks Italia. Selain diserap oleh pasar lokal, marmer buatan Warsiman sempat diekspor 3.000 potong terdiri atas daun meja dan vas bunga ke Amerika Serikat. Sebelumnya, marbut juga pernah diekspor ke Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini